Tuesday, February 28, 2017

Abu Dzar al Ghifari RA

Abu Dzar al Ghifari RA, yang nama aslinya Jundub bin Janadah berasal dari Bani Ghifar yang tinggal jauh dari kota Makkah, tetapi ia merupakan kelompok sahabat yang pertama memeluk Islam (as sabiqunal awwalun). Ia termasuk orang yang menentang pemujaan berhala pada jaman jahiliah, karena itu ia langsung tertarik ketika mendengar kabar tentang seorang nabi yang mencela berhala dan para pemujanya.

Ia merupakan orang dewasa ke lima atau ke enam yang memeluk Islam. Ketika ia menceritakan kepada Nabi SAW bahwa ia berasal dari Ghifar, beliau tersenyum penuh kekaguman. Bani Ghifar terkenal sebagai perampok yang suka mencegat kafilah dagang di belantara padang pasir. Mereka sangat ahli melakukan perjalanan di malam hari, gelap gulita bukan halangan bagi mereka, karena itu kabilah ini sangat ditakuti oleh kafilah dagang. Nabi SAW makin takjub ketika mengetahui bahwa Abu Dzar datang sendirian hanya untuk mendengar dan mengikuti risalah Islam yang beliau bawa, yang sebenarnya baru didakwahkan secara sembunyi-sembunyi. Beliau hanya bisa berkata, "Sungguh Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendakiNya…"

Setelah keislamannya, beliau menyarankan agar ia menyembunyikan keimanannya dan kembali kepada kaumnya sampai waktunya Allah memberikan kemenangan. Karena sebagai perantau yang sendirian, akan sangat berbahaya jika diketahui ia telah memeluk agama baru yang menentang penyembahan berhala. Ia bisa memahami saran beliau tersebut, tetapi jiwa seorang Ghifar yang pantang takut dan menyerah seolah memberontak, ia berkata, "Demi Tuhan yang menguasai nyawaku, aku takkan pulang sebelum meneriakkan keislamanku di Masjid."

Ia berjalan ke Masjidil Haram, dan di sana ia meneriakkan syahadat sekeras-kerasnya. Itulah teriakan dan lantunan keras syahadat yang pertama di masjidil haram, dan mungkin juga yang pertama di bumi ini. Tak ayal lagi orang-orang musyrik merubung dan memukulinya hingga ia jatuh pingsan.

Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW yang mendengar kabar tersebut segera datang ke masjid, tetapi melihat kondisinya, tidak mudah melepaskan Abu Dzar dari kemarahan massa, karena itu ia berkata diplomatis, "Wahai orang Quraisy, dia adalah orang dari Kabilah Bani Ghifar. Dan kalian semua adalah kaum pedagang yang selalu melewati daerah mereka. Apa jadinya jika mereka tahu kalian telah menyiksa anggota keluarganya??"

Merekapun melepaskannya. Tetapi pada hari berikutnya, ketika Abu Dzar melihat dua wanita mengelilingi berhala Usaf dan Na-ilah sambil bermohon, lagi-lagi jiwa tauhidnya terusik. Ia mencegat dua wanita tersebut dan menghina dua berhala itu sejadi-jadinya, sehingga dua wanita itu menjerit ketakutan. Tak pelak orang-orang musyrik berkumpul dan sekali lagi menghajarnya beramai-ramai hingga pingsan. Melihat kejadian tersebut, sekali lagi Rasulullah SAW memerintahkannya untuk segera pulang ke kabilahnya.

Kembali ke daerahnya, Abu Dzar mendakwahkan risalah Islam kepada kaumnya, sehingga sedikit demi sedikit mereka memeluk Islam. Ia juga mendakwahkan kepada kabilah tetangganya, Bani Aslam, sehingga cahaya hidayah menerangi kabilah ini. Beberapa tahun kemudian ketika Nabi SAW sudah tinggal di Madinah, serombongan besar manusia datang dengan suara gemuruh, kalau tidaklah gema takbir yang terdengar, pastilah mereka mengira sedang diserang musuh. Ternyata mereka adalah Kabilah Bani Ghifar dan Bani Aslam, dua kabilah yang terkenal jadi momok perampokan kafilah dagang di belantara padang pasir, berkamuflase menjadi raksasa pembela kebenaran dan penebar kebaikan. Dan hidayah Allah tersebut datang melalui tangan Abu Dzar.

Ketika dua rombongan besar ini menghadap Nabi SAW, beliau berkaca-kaca diliputi keharuan, suka cita dan rasa kasih berlimpah. Beliau bersabda kepada Kabilah Bani Ghifar, "Ghifaarun ghafarallahu laha…." (Suku Ghifar telah diampuni oleh Allah).

Kemudian beliau berpaling kepada Kabilah Bani Aslam sambil bersabda, "Wa Aslamu Saalamahallahu…." (Suku Aslam telah diterima dengan selamat (damai) oleh Allah).

Pada perang Tabuk yang terkenal dengan nama Jaisyul Usrah (Pasukan di masa sulit), beberapa orang tertinggal dari rombongan besar Rasulullah SAW. Dan ketika ini dilaporkan, beliau bersabda, "Biarkanlah! Andaikan ia berguna, tentu akan disusulkan oleh Allah kepada kalian. Dan jika tidak, Allah telah membebaskan kalian dari dirinya."

Salah seorang yang tertinggal tersebut adalah Abu Dzar. Keledai yang ditungganginya sangat lelah sehingga tidak bisa bergerak lagi. Berbagai cara dicoba Abu Dzar agar keledainya berjalan lagi tetapi tidak berhasil, bahkan akhirnya mati.

Sementara itu rombongan Nabi SAW sedang beristirahat ketika pagi tiba. Seorang sahabat melaporkan ada satu sosok terlihat berjalan sendiri di jauh di ufuk. Nabi SAW bersabda, "Mudah-mudahan orang itu Abu Dzar…!!"

Setelah dekat dan sampai di hadapan Nabi SAW, ternyata memang Abu Dzar-lah orangnya. Ia memanggul barang dan perbekalan di punggungnya dan meneruskan perjalanan menyusul rombongan Nabi SAW dengan berjalan kaki. Walau jelas terlihat kelelahannya, tetapi wajahnya bersinar gembira bisa bertemu dengan Nabi SAW dan anggota pasukan lainnya. Beliau menatapnya penuh takjub, kemudian dengan senyum yang santun dan penuh kasih, beliau bersabda, "Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada Abu Dzar, ia berjalan sendirian, ia meninggal sendirian, dan ia akan dibangkitkan sendirian…"

Sebuah bentuk pujian, atau sebuah ramalan, atau sebuah bentuk rasa kasihan, atau apapun itu, hanyalah sebuah gambaran tentang apa yang telah dan akan dijalani oleh Abu Dzar, bahkan pada hari kebangkitan nanti.

Dari sejak pertama memeluk Islam, keberaniannya mengeksplorasi keimanannya di saat dan tempat yang bisa membahayakan dirinya, Nabi SAW langsung mengetahui watak dan karakter Abu Dzar, apalagi dengan kondisi lingkungan Bani Ghifar yang mendidiknya. Suatu ketika Nabi SAW bersabda kepadanya, "Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu jika menjumpai para pembesar yang mengambil upeti untuk keperluan pribadinya."

Dengan tegas Abu Dzar menjawab, "Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, aku akan luruskan mereka dengan pedangku!"

Beliau tersenyum, kemudian bersabda, "Maukah aku beri jalan yang lebih baik dari itu…"

Abu Dzar mengangguk, Nabi SAW bersabda, "Bersabarlah engkau, sampai engkau menemui aku…!!"

Inilah gambaran situasi yang akan dihadapi oleh Abu Dzar sepeninggal Nabi SAW. Tetapi di masa khalifah Abu Bakar dan Umar, tidak ada sesuatu yang mengusik kehidupan Abu Dzar, situasi tidak jauh berbeda seperti masa hidupnya Nabi SAW.

Setelah wafatnya Umar bin Khaththab, yang memang digelari Nabi SAW dengan istilah "Pintunya Fitnah" atau "Gemboknya Fitnah", sedikit demi sedikit fitnah duniawiah menjalari umat Islam. Apalagi wilayah Islam makin luas dan harta kekayaan melimpah ruah. Gaya hidup Romawi dan Persi sedikit demi sedikit diadopsi oleh para penguasa muslim. Jurang pemisah antara kaum fakir miskin dan penguasa atau hartawan mulai terbentuk. Pada keadaan seperti inilah jiwa Abu Dzar terusik. Abu Dzar menerawang jauh ke belakang, teringat akan waktu bersama Nabi SAW dan apa yang beliau sabdakan tentang dirinya. Beliau sudah mewasiatkan dirinya untuk bersabar dan tidak menggunakan pedangnya. Tetapi jiwa perjuangan untuk menegakkan kebenaran seakan tidak bisa terbendung. "Nabi SAW melarang aku untuk meluruskan mereka dengan pedang, tetapi beliau tidak pernah melarang untuk meluruskan dengan lidah dan nasihat," begitu pikirnya.

Maka dimulailah babak baru perjuangannya. Abu Dzar mendatangi pusat-pusat kekuasaan dan kekayaan, para penguasa dan hartawan, khususnya yang tidak lagi meneladani Nabi SAW dalam mengemban amanat harta dan jabatan. Dalam menyampaikan kebenaran, lidahnya tak kalah tajamnya dengan pedangnya. Ia mengutip Surah at Taubah ayat 34-35, dan merangkaikannya menjadi syair singkat yang segera saja menjadi simbol perjuangannya, "Berilah kabar gembira para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak, mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, menyeterika kening dan pinggang mereka di hari kiamat…."

Segera saja Abu Dzar mendapat sambutan hangat di seluruh penjuru negeri yang dikunjunginya. Banyak sekali orang yang bergabung dan berdiri di belakangnya untuk mendukung perjuangannya. Kalau orang Islam biasa yang mengucapkan kalimat tersebut di hadapan penguasa dan para hartawan, tentulah tidak begitu besar pengaruhnya. Tetapi seorang sahabat sekaliber Abu Dzar, yang berdiri kokoh menghadapi penguasa dan hartawan, dengan tegas dan tanpa gentar sedikitpun menasehati mereka, seolah memunculkan kutub baru, kutub kaum tertindas dan teraniaya dalam negeri Islam yang begitu kaya dan melimpah.

Inilah rahasianya, kenapa Nabi SAW dalam menasehatinya langsung pada titik tertinggi, "Bersabarlah engkau, sampai engkau menemui aku…!!"

Dan beliau tidak menasehatinya untuk berjuang dengan lisannya. Kutub baru yang terjadi karena perjuangannya bisa menimbulkan fitnah baru yang lebih besar daripada fitnah yang telah ada, yakni perpecahan umat. Dan Abu Dzar menyadari satu hal, tidak semua orang tulus dan murni berjuang untuk menegakkan kalimat dan agama Allah. Ada sebagian orang yang memanfaatkan perjuangannya menegakkan kebenaran, untuk memenuhi ambisi dan keinginan nafsunya. Maka ketika Khalifah Utsman memanggilnya untuk kembali ke Madinah, ia segera memenuhinya.

Tiba di Madinah, Khalifah Utsman memintanya dengan halus untuk tinggal bersamanya, segala kebutuhannya akan dipenuhi. Tentu saja tawaran seperti itu ditolaknya, ia hanya meminta izin untuk mengasingkan diri di pedalaman padang pasir di Rabadzah. Ia ingin melaksanakan wasiat Nabi SAW kepadanya untuk bersabar di tempat terpencil, sehingga tidak terganggu dengan fitnah-fitnah yang mulai menyebar. Khalifah Utsman mengijinkannya.

Sebagian riwayat menyebutkan, Khalifah Utsman-lah yang memberikan pilihan kepadanya, tinggal di Madinah dengan segela kebutuhannya dicukupi, atau ia akan diasingkan ke pedalaman Rabadzah. Tujuan jelas, agar ia tidak lagi berkeliling wilayah Islam mendakwahi para penguasa dan hartawan. Dan Abu Dzar sebagai seorang muslim sejati tetap taat kepada Utsman sebagai Amirul Mukminin, dan mengambil pilihan ke dua.

Abu Dzar tinggal di Rabadzah bersama istri, anak dan pembantunya yang sudah tua, dan beberapa ekor unta sebagai sumber kehidupannya. Suatu ketika datang seseorang dari Bani Sulaim menemuinya dan berkata "Saya ingin tinggal bersama engkau, agar aku dapat mendalami pengetahuan tentang perintah Allah, dan juga mengenal sifat-sifat yang dimiliki Rasulullah SAW. Saya bersedia membantu hambamu yang sudah tua itu dalam memelihara onta-ontamu!"

"Aku tidak mau tinggal dengan orang yang tidak menuruti kehendakku," Kata Abu Dzar, "Jika kamu berjanji akan melakukan apa yang suruh, aku akan mengijinkanmu tinggal bersamaku."

"Bagaimana cara menuruti kehendak-kehendakmu?" Tanya orang Bani Sulaim itu.

"Apabila aku menyuruh membelanjakan hartaku, hendaknya engkau membelanjakan yang terbaik dari hartaku itu." Kata Abu Dzar. Orang itu menyetujuinya, dan ia tinggal bersama Abu Dzar sambil menggembalakan unta-untanya.

Suatu ketika ada kabar bahwa ada sekelompok orang-orang miskin yang kehabisan bekal makanan, berkemah di dekat mata air. Abu Dzar memerintahkan pembantunya dari bani Sulaim untuk menyembelih satu ekor unta buat mereka. Ia memilih yang terbaik dari unta yang dimiliki Abu Dzar, dan ternyata ada dua, salah satunya tampak lebih bagus untuk ditunggangi. Karena dimaksudkan untuk bekal makanan dan akan disembelih, ia memilih unta yang satunya kemudian dibawa menghadap Abu Dzar. Ketika melihat unta tersebut, Abu Dzar berkata, "Engkau mengkhianati janjimu dulu?"

Orang tersebut sadar apa yang dimaksudkan Abu Dzar, ia membawa kembali unta tersebut dan menukarnya dengan unta yang lebih bagus untuk ditunggangi. Abu Dzar menyuruh dua pembantunya menyembelih unta tersebut dan membagikan dagingnya. Untuk keluarganya, sama banyaknya dengan keluarga dalam kelompok orang miskin tersebut.

Saat akhir kehidupannya, ketika Abu Dzar mengalami sakaratul maut, istri yang menungguinya menangis. Ia berkata, "Apa yang engkau tangisi, padahal maut itu pasti datang??"

"Bukan itu," Kata istrinya, "Engkau meninggal, padahal tidak ada kain untuk mengkafani jenazahmu!!"

Abu Dzar tersenyum sambil matanya menerawang jauh, seolah mengingat sesuatu. Ia berkata, "Aku ingat, junjunganku, Rasulullah SAW berkata pada sekelompok sahabat termasuk aku, 'Ada salah satu dari kalian yang meninggal di padang pasir yang liar dan terpencil, yang akan disaksikan oleh serombongan orang beriman.' Semua sahabat yang hadir di majelis tersebut telah meninggal syahid atau di hadapan kaum muslimin, kecuali aku. Nah, kalau aku telah meninggal, perhatikanlah jalan (riwayat lain, letakkan aku di sisi jalan), agar rombongan orang beriman itu melihatku. Demi Allah aku tidak bohong, dan tidak pula dibohongi (oleh Nabi SAW)…"

Ternyata benar, tidak lama setelah kewafatannya, sebuah kafilah lewat tak jauh dari tempatnya, dan kemudian membelokkan arah menuju sosok mayat yang sedang ditangisi oleh dua orang, istri dan anak Abu Dzar, berada. Sahabat Abdullah bin Mas'ud yang memimpin rombongan tersebut langsung mengenalinya sebagai Abu Dzar. Ia berurai air mata melihat keadaan sahabatnya tersebut, sambil berkata, "Benarlah Rasulullah SAW, anda berjalan seorang diri, anda meninggal seorang diri, dan anda akan dibangkitkan pula seorang diri…"

Sebagian riwayat menyebutkan, ketika kafilah yang dipimpin Abdullah bin Mas'ud itu sampai di tempatnya, ia masih hidup dalam keadaan sakaratul maut. Ia berkata kepada mereka, "..seandainya aku dan istriku mempunyai kain, tentu aku ingin dikafani dengan kainku atau milik istriku. Tetapi aku minta dengan nama Allah, janganlah seseorang yang pernah menjabat gubernur, walikota, atau penguasa apapun yang mengafani aku!!”

Ternyata hampir semua anggota kafilah tersebut pernah memangku jabatan yang disebutkannya, kecuali satu orang sahabat Anshar. Dia berkata, "Wahai pamanku, akulah yang tidak pernah menjabat seperti yang engkau sebutkan, aku yang akan mengafani jenazahmu dengan sorbanku dan dua bajuku yang ditenun sendiri oleh ibuku!!”

"Hanya engkau yang boleh mengafani jenazahku," Kata Abu Dzar.

Setelah Abu Dzar wafat, mereka merawat jenazahnya dan sahabat Anshar tadi yang mengafaninya. Setelah itu mereka pulang ke Madinah dengan gembira, terutama sahabat Anshar tersebut, karena mereka telah masuk dalam bagian dari realisasi sabda Nabi SAW seperti yang disampaikan Abu Dzar. Dan kegembiraan apalagi yang lebih besar, bahwa Nabi SAW menyebut dan menjamin mereka sebagai "rombongan orang beriman."

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Abdullah bin Salam RA
Tsabit bin Qais bin Syammas RA
Basyir bin Muawiyah (Abu Alqamah) RA
Abdurrahman Bin Auf RA
Rafi’ bin Khadij RA


Abu Thalhah Al Anshari RA

Abu Thalhah berniat melamar Ummu Sulaim sebagai istrinya, ia pun pergi ke rumah wanita Muslimah baik-baik yang telah menjanda itu. Sesampai di rumah Ummu Sulaim, Abu Thalhah diterima dengan baik. Putra Ummu Sulaim, Anas, turut hadir dalam pertemuan tersebut. Abu Thalhah menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu hendak melamar Ummu Sulaim.

Namun Ummu Sulaim menolak lamaran Abu Thalhah. "Sesungguhnya pria seperti anda, hai Abu Thalhah, tidak pantas saya tolak lamarannya. Tetapi saya tidak akan kawin dengan anda, karena anda kafir," ujarnya.

"Demi Allah, apakah yang menghalangimu untuk menerima lamaranku, hai Ummu Sulaim?" tanya Abu Thalhah.

Ummu Sulaim menjawab, "Saksikanlah, hai Abu Thalhah. Aku bersaksi kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya jika kau masuk agama Islam, aku rela menjadi suamimu tanpa emas dan perak. Cukuplah Islam itu menjadi mahar bagiku."

"Siapa yang harus mengislamkanku?" tanya Abu Thalhah.

"Aku bisa."

"Bagaimana caranya?"

"Tidak sulit," kata Ummu Sulaim. "Ucapkan saja dua kalimah syahadat. Tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad Rasulullah. Setelah itu, kau harus pulang ke rumahmu dan menghancurkan berhala sembahanmu lalu kau buang!"

Abu Thalhah tampak gembira. Ia kemudian mengucapkan dua kalimah syahadat. Setelah itu ia menikahi Ummu Sulaim dengan mahar, agama Islam.

Mendengar berita ini, kaum Muslimin berkata, "Belum pernah kami dengar mahar kawin yang lebih mahal daripada mahar Ummu Sulaim. Maharnya masuk Islam."

Sejak hari itu, Abu Thalhah berada di bawah naungan Islam. Segala daya dan upayanya ia korbankan untuk berkhidmat kepada Islam.

Abu Thalhah dan istrinya, Ummu Sulaim, termasuk "Kelompok 70" yang bersumpah setia (baiat) kepada Rasulullah di Aqabah. Ia ditunjuk oleh Rasulullah menjadi kepala salah satu regu dari 12 regu yang dibentuk malam itu untuk mengislamkan Yatsrib.

Dia ikut berperang bersama Rasulullah dalam tiap peperangan yang beliau pimpin. Ia mencintai Rasulullah sepenuh hati dan segenap jiwa. Apabila Rasulullah berdua saja dengannya, dia bersimpuh di hadapan beliau sambil berkata, "Inilah diriku, kujadikan tebusan bagi diri anda, dan wajahku menjadi pengganti wajah anda."

Ketika terjadi Perang Uhud, barisan kaum Muslimin terpecah-belah dan lari tunggang-langgang. Oleh sebab itu, pasukan musyrikin sempat menerobos pertahanan mereka sampai ke dekat Rasulullah. Musuh berhasil mencederai beliau, mematahkan gigi, dan melukai bibirnya. Sehingga darah mengalir membahasi wajah Nabi. Lalu kaum musyrikin menyebarkan isu bahwa Rasulullah telah wafat.

Mendengar teriakan kaum musyrikin itu, kaum Muslimin menjadi kecut, lalu lari porak-poranda meninggalkan Rasulullah. Hanya segelintir orang yang saja yang bertahan, mengawal dan melindungi beliau. Di antara mereka adalah Abu Thalhah yang berdiri paling depan.

Abu Thalhah juga sosok Muslim yang pemurah, ia kerap mengorbankan harta bendanya untuk agama Allah. Ia juga sering berpuasa dan berperang sepanjang hidupnya. Bahkan ia meninggal ketika sedang berpuasa dan berperang fi sabilillah. Kurang lebih 30 tahun setelah Rasulullah SAW wafat, dia senantiasa berpuasa, kecuali di hari raya. Umurnya mencapai usia lanjut, namun ketuaan tidak menghalanginya untuk berjihad di jalan Allah.

Pada masa Khalifah Utsman, kaum Muslimin bertekad hendak berperang di lautan. Abu Thalhah pun bersiap-siap hendak turut berjihad dengan kaum Muslimin. Anak-anaknya protes. "Wahai ayah, engkau sudah tua, engkau sudah ikut berperang bersama-sama dengan Rasulullah, bersama Abu Bakar dan Umar bin Al-Khathab. Kini ayah harus beristirahat, biarlah kami yang berperang untuk ayah," kata mereka.

Abu Thalhah menjawab, "Bukankah Allah telah berfirman: "Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (QS At-Taubah: 41). Firman Allah itu memerintahkan kita semua, baik tua maupun muda. Allah tidak membatasi usia kita untuk berperang."

Ia pun ikut berperang. Ketika Abu Thalhah yang sudah lanjut usia itu berada di atas kapal di tengah lautan bersama tentara Muslimin, ia jatuh sakit lalu meninggal dunia. Kaum Muslimin melihat-lihat daratan, mencari tempat pemakaman jenazah Abu Thalhah. Namun setelah enam hari berlayar, barulah mereka menemukan daratan. Selama itu jenazah Abu Thalhah disemayamkan di tengah-tengah mereka di atas kapal, tanpa berubah sedikit pun. Bahkan ia seperti orang yang sedang tidur nyenyak.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Ummu Abu Hurairah RA
Penjamu Tamu Rasulullah Saw
Wanita Pembawa Air
Khalid bin Sa'id bin Ash RA
Thulaib bin Umair RA

Ummu Umarah RA

Bukit Uhud, 7 Syawal 3 H/ 22 Maret 625 M. Sekitar 700 pasukan tentara Muslim yang dipimpin Rasulullah SAW bertempur melawan 3.000 tentara kafir di bawah komando Abu Sufyan. Kemenangan yang hampir diraih umat Islam, berubah menjadi kekalahan, setelah pasukan Muslim mengabaikan perintah Rasulullah SAW.

Pasukan kafir pun memukul balik serangan tentara Muslim. Mereka berniat untuk membunuh Rasulullah SAW. Melihat pasukan Muslim yang terjepit, seorang prajurit Muslimah bernama Ummu Umarah atau Nasibah binti Ka'ab al-Anshariyah justru tampil mengangkat pedang. Dengan penuh keberanian, Ummu Umarah menghadang laju tentara kafir yang berniat membunuh Nabi Muhammad SAW.

''Siang itu, sambil membawa sekendi air, saya keluar menuju Uhud untuk menyaksikan pertempuran kaum Muslimin. Awalnya, tentara Muslim memenangkan pertempuran. Namun, ketika pasukan Islam mulai kalah, saya langsung terjun ke medan laga. Saya halau segala serangan yang datang ke arah Rasulullah dengan pedang saya,'' kisah Ummu Umarah seperti dituturkan Ibnu Sa'ad dalam Thabaqat.

Ummu Umarah adalah sosok Muslimah yang ikut berjihad dan pemberani, dan tidak takut mati di jalan Allah. Keberanian wanita dari Bani Mazim An-Najar itu membuat Rasulullah SAW bangga. ''Siapakah yang sanggup melakukan seperti yang engkau lakukan, wahai Ummu Umarah?” ujar Rasulullah memuji.

Ia salah satu dari wanita Madinah yang bersegera masuk Islam. Mujahidah yang satu ini juga tercatat sebagai satu dari dua Muslimah yang pergi bersama generasi Anshar ke Makkah untuk berbai’at kepada Rasulullah. Keluarga Ummu Umarah dikenal sangat pemberani.

Ketika Rasulullah SAW memimpin pasukannya menuju bukit Uhud, ia bersama suaminya, Ghaziyah bin Amr serta dua buah hatinya, Abdullah dan Hubaib tutur bergabung. Awalnya, Ummu Umarah bertugas sebagai perawat tentara yang terluka serta menyediakan minuman.

Ummu Umarah tak gentar saat menghadapi Ibnu Qumai'ah yang penuh amarah hendak membunuh Rasulullah. Serangan demi serangan, ia halau dengan pedangnya. Hingga, ia mengalami luka pada bagian pundaknya. Ummu Umarah mengisahkan peristiwa heroik yang dialaminya pada Perang Uhud dengan penuh semangat.

“Aku melihat banyak di antara kaum Muslimin yang lari kocar-kacir dan menginggalkan Rasulullah. Hingga tinggal tersissa beberapa orang yang melindungi beliau termasuk aku, kedua anakku, sedangkan suamiku berada di depan beliau untuk melindunginya. Dan Rasulullah melihat aku tidak bersenjata,'' ungkap Ummu Umarah.

Saat melihat seorang tentara Muslim yang mundur, Rasulullah pun berkata,''Berikan senjatamu kepada orang yang sedang berperang.” Ummu Umarah pun lalu mengambil pedang yang dilembaprkan tentara yang lari tersebut dan segera melindungi Nabi SAW dari gempuran musuh.

Ummu Umarah adalah teladan bagi para Muslimah. Ia telah mengorbankan dirinya di jalan jihad membela agama Islam. Ia telah menunaikan kewajibannya sesuai dengan kemampuannya, baik di waktu perperang maupun di waktu aman. Ia telah turut serta bersama Rasulullah SAW dalam Bai’atur Ridwan di Hudaibiyah, yaitu bai’at perjanjian untuk membela agama Allah.

Tak hanya berjuang di Perang Uhud, Ummu Umarah pun tampil mengangkat panji-panji pasukan Muslim Perang Hunain. Tak lama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, sebagian kabilah yang dipimpin Usailamah al-Kadzab murtad. Bahkan, Usailamah mengaku sebagai nabi. Khalifah pertama Abu Bakar ash-Shidiq pun memutuskan untuk memerangi nabi palsu itu.

Mendengar kabar itu, Ummu Umarah pun segera mendatangi Abu Bakar Ash-Shidiq. Ia mohon izin untuk turut berjuang ke medan perang bersama pasukan Muslim yang akan memerangi orang-orang murtad dari Islam. Mendenfar permohonan itu, Abu Bakar pun berkata, ''Sungguh kami telah menyaksikan pengorbananmu di medan jihad, maka keluarlah (untuk berperang) dengan menyebut nama Allah.”

Secara khusus, Rasulullah SAW pun mendoakan Ummu Umarah. Ketika sang mujahidah terluka, Rasulullah SAW berkata kepada putra Ummu Umarah, ''Ibumu! Ibumu! Balutlah lukanya. Ya Allah, jadikanlah mereka teman-temanku di surga.''

Ummu Umarah adalah seorang sahabat Rasul yang senantiasa mengaplikasikan keislamannya dalam amal nyata. Keberaniannya dalam setiap situasi menjadikannya sosok pahlawan sejati. Obsesi hidupnya begitu mulia, yakni mencari kemuliaan dunia dan kebahagiaan akhirat.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Abu Hurairah RA
Anas bin Nadhar RA
Seorang Pecinta Rasulullah Saw
Al Aqamah bin Harits RA
Abdul Rahman al Harits at Taimimi RA

Wahsyi Bin Harb Al Habsyi RA

Wahsyi bin Harb al Habsyi adalah sosok yang cukup terkenal pada perang Uhud, tetapi terkenal dalam sisi jeleknya. Ia adalah pembunuh sahabat dan paman Nabi SAW, Hamzah bin Abdul Muthalib, yang jasadnya kemudian dirusak oleh Hindun binti Utbah, sebagai balas dendam atas kematian bapak, paman, saudara dan putranya yang dibunuh oleh Hamzah dalam perang Badar.

Wahsyi sebenarnya adalah budak milik Jubair bin Muth'am yang pamannya juga tewas di perang Badar dibunuh oleh Hamzah. Ia dijanjikan akan dibebaskan dari perbudakan, jika ia berhasil membalas dendam membunuh Hamzah. Hindun ikut menjanjikan hadiah-hadiah yang berlimpah jika ia berhasil membunuh Hamzah.

Wahsyi memang mempunyai keahlian melempar tombak dengan teknik Habsyi, tempat asalnya Habasyah, Afrika. Ia terus melatih kemampuannya itu. Tibalah saat perang Uhud berlangsung, Wahsyi tidak punya tujuan lain kecuali untuk membunuh Hamzah demi untuk kebebasannya dari perbudakan. Praktis ia tidak melakukan pertempuran dengan orang muslin lainnya kecuali hanya mengendap-endap mendekati Hamzah yang berperang bagai banteng mengamuk Ia mencari kesempatan yang tepat untuk bisa melemparkan tombaknya.

Ketika kondisi berbalik dari kemenangan kaum muslim menjadi kekalahan, karena sebagian besar pemanah yang ditugaskan Nabi SAW menjaga dari sisi bukit turun untuk mengambil ghanimah, posisi Hamzah jadi terbuka. Seorang kafir Quraisy bernama Siba' bin Abdul Uzza sedang melayani Hamzah bertarung, saat pedang Hamzah mengenai leher Siba', saat itulah Wahsyi melemparkan tombaknya, mengenai pinggangnya hingga tembus ke depan. Hamzah sempat akan berdiri kemudian jatuh lagi dan meninggal. Wahsyi mencabut tombaknya dari tubuh Hamzah dan kembali dan menunggu di kemahnya. Ketika pertempuran usai, ia kembali ke Makkah bersama rombongan kaum kafir Quraisy. Atas keberhasilannya ini, Wahsti memperoleh kebebasannya dari perbudakan.

Saat Fathul Mekkah, seperti kebanyakan orang yang mempunyai kesalahan besar terhadap Islam, Wahsyipun berusaha melarikan diri, ia lari ke Thaif. Ketika utusan dari Thaif akan menghadap Rasullullah SAW untuk menyatakan keislaman, ia berfikir untuk lari ke Syiria, Yaman atau tempat lainnya. Tetapi dalam kebingungannya, seseorang berkata kepadanya, "Hai orang bodoh, Rasulullah tidak akan membunuh seseorang yang memeluk Islam."

Wahsyi datang ke Madinah. Saat terlihat oleh Rasulullah SAW, Wahsyi segera berdiri di depan Beliau dan mengucap syahadat. Nabi Saw mengenali Wahsyi

dan memintanya untuk menceritakan proses ia membunuh Hamzah. Usai ia bercerita, Nabi SAW tampak sangat bersedih mengingat apa yang terjadi pada pamannya di Perang Uhud tersebut. Kemudian beliau bersabda,"Sungguh amat disesalkan!! Engkau telah muslim, tetapi sebaiknya engkau menghindarkan perjumpaan denganku."

Sungguh sangat dimaklumi sikap Nabi SAW ini. Walau sebagai paman, Hamzahsebaya dengan Nabi SAW, bermain dan tumbuh dewasa bersama sebagai sahabat. Ketika kemudian Hamzah masuk Islam, tak lama disusul oleh Umar bin Khaththab, mereka berdua menjadi pilar yang kokoh dalam meredam perlakuan kejam orang-orang kafir Quraisy, bahkan mereka melakukan perlawanan yang tidak mungkin dilakukan sebelumnya, termasuk beribadah dengan terang-terangan di dekat Ka'bah.

Terbunuhnya Hamzah di Perang Uhud, apalagi jasadnya dirusak Hindun untuk mengambil hatinya, adalah kehilangan besar bagi diri pribadi Rasullullah SAW ataupun bagi Islam. Saat melihat jasad paman dan sahabat yang dicintainya tersebut, Rasullullah SAW sempat memberikan ancaman atas kebiadaban orang-orang kafir Quraisy dan melakukan pembalasan terhadap 30 orang dengan cara yang sama. Tetapi kemudian Allah menegaskan bahwa Rasullullah SAW adalah rahmatan lil 'alami, sehingga beliau tidak pernah melaksanakan ancamannya tersebut.

Sejak saat itu Wahsyi berusaha untuk tidak bertemu dengan Rasullullah SAW sampai beliau wafat. Mungkintidak mengenakkan bagi Wahsyi untuk tidak bisa bergaul rapat dengan sosok mulia seperti Rasullullah SAW, tetapi atas apa yang dilakukannya di masa lalu, ia bisa memahaminya. Cukup bisa melihat Nabi SAW dari kejauhan dan menjadi umatnya adalah suatu karunia besar.

Saat Khalifah Abubakar mengirim pasukan ke Yamamah untuk menumpas nabi palsu Musailamah Al Kadzdzab, Wahsyi ikut serta dalam pasukan ini dengan membawa tombak yang dahulu ia pergunakan membunuh Hamzah. Tekadnya bulat untuk menebus kesalahannya di masa lalu dalam peperangan ini. Sambil bertempur ia terus bergerak mendekati posisi nabi palsu itu. Pada saat yang tepat, ia melihat Musailamah berdiri dengan pedang terhunus, dilemparkan tombaknya dengan teknik Habsyi yang dikuasainya, tepat mengenai nabi palsu itu hingga tewas. Wahsyi berkata, "Sungguh dengan tombak ini saya telah membunuh sebaik-baiknya manusia, yaitu Hamzah, saya berharap semoga Allah mengampuniku, karena dengan tombak ini pula saya telah membunuh sejahat-jahatnya manusia, yaitu Musailamah…!"

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Zubair bin Awwam RA
Abdullah Bin Ummi Maktum RA
Hilal bin Umayyah al Waqifi RA
Abu Jandal bin Suhail RA
Abul Haitsam at Tayyihan RA

Urwah bin Zubair RA

Urwah bin Zubair adalah saudara Abdullah bin Zubair, putra dari sahabat Zubair bin Awwam, ibunya adalah Asma binti Abu Bakar. Ia sempat mengikuti beberapa pertempuran bersama Rasulullah SAW walau saat itu ia masih sangat muda, termasuk pada Perang Tabuk.

Suatu ketika di masa tuanya, salah satu kakinya terluka cukup parah, tabib menyarankan Urwah bin Zubair untuk mengamputasi kaki tersebut karena dikhawatirkan akan merusak anggota tubuh lainnya. Karena proses tersebut sangat menyakitkan, sang tabib menawarkan untuk memberinya minuman yang mengandung bius, dan mendatangkan beberapa orang untuk memeganginya agar tidak bergerak. Tetapi dengan jiwa yang dipenuhi keimanan dan kesabaran, Urwah menolak tawaran itu dan berkata, "Cukuplah kalian saja mengerjakan apa yang kalian kerjakan, aku tidak membutuhkan minuman atau orang-orang tersebut."

Begitulah, proses amputasi mulai dikerjakan, tulang

mulai terbuka, minyak dididihkan, gergaji mulai digerakkan memotong tulang, dan obat ditaburkan. Proses demi proses berlangsung, tetapi Urwah tidak bergerak dan bergeming sedikitpun, begitu juga tidak terdengar kata keluhan dari mulutnya, kecuali kata ‘hasbi, Hasbi’ (maksudnya, cukuplah bagiku, cukuplah bagiku rahmat Allah).

Ketika seseorang datang memasuki ruangan saat proses pemotongan kakinya tersebut, ia berkata, "Jika engkau menjengukku untuk kakiku ini, ia telah kuserahkan kepada Allah."

Tetapi orang itu berkata, "Aku tidak datang menjengukmu untuk kakimu itu, aku hanya membawakan kabar, bahwa anakmu jatuh dari tunggangannya hingga terinjak-injak, dan akhirnya meninggal." Mendengar kabar tersebut, tidak ada reaksi kaget sedikitpun, ia hanya berkata lirih, "Ya Allah, jika Engkau menguji, pasti Engkau akan memberi ampunan, namun jika engkau mengambil, pasti Engkau akan mengabadikan."

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Ibnu Nathur, Uskup Kota Iliya, Romawi
Seorang Penanya Hari Kiamat
Najasyi, Raja Habasyah
Kisah Addas dan Syaibah Bin Rabiah
Ammar bin Yasir RA

Wa'il bin Hajar RA

Suatu ketika Wa'il bin Hajar berkunjung kepada Nabi SAW, saat itu rambutnya dalam keadaan terurai panjang. Setelah beberapa saat duduk bersama Rasulullah RA, ia mendengar beliau berkata, "Dzubab, dzubab !!"

Kata itu adalah ungkapan tentang sesuatu yang buruk atau celaka.

Wa'il berfikir, jangan-jangan itu ditujukan pada keadaan rambutnya. Setelah pulang ke rumahnya, ia memotong dan merapikan rambutnya. Esok harinya ia mengunjungi Nabi SAW lagi. Melihat penampilannya yang berbeda dengan hari sebelumnya, beliau bersabda, "Perkataanku kemarin bukan kutujukan kepadamu, tetapi hal ini lebih baik karena engkau telah memotong rambutmu!"

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Badzan, Abanauah dan Jadd Jamira
Ummu Ziyad RA
Aisyah binti Abu Bakar RA, Ummul Mukminin
Lelaki Berkulit Hitam
Ubaidah bin Harits RA

Sunday, February 19, 2017

Seorang Penyapu Masjid

Perempuan hitam yang biasa menyapu masjid itu meninggal dunia. Nabi saw tidak diberi tahu oleh para sahabat akan kematiannya.

Maka, saat Nabi masuk masjid dan tidak melihatnya, beliau bertanya tentang perempuan itu, “Di mana dia dan apa kabarnya?” Para sahabat baru menyampaikan bahwa ia telah meninggal dunia.

Ada kesan para sahabat menganggap kecil urusan tersebut sehingga merasa tak perlu mengabarkannya kepada Nabi.

Nabi (marah seraya) berkata, “Mengapa kalian tidak memberitahukan hal itu kepadaku? Tunjukkan di mana kuburannnya!” Lalu, Nabi pun mendatangi kuburannya dan shalat (jenazah) di atasnya.

Kisah di atas disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan kitab-kitab hadis lainya. Maka, kisah di atas adalah sahih, tak ada keraguan.

Dalam riwayat Baihaqi, perempuan itu bernama Ummu Mihjan. (Lihat: Subulus Salaam). Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kisah tersebut. Pertama, betapa besar kecintaan dan perhatian Nabi terhadap umatnya.

Nabi sangat mencintai dan memperhatikan umatnya, baik laki-laki maupun perempuan, yang kaya maupun yang miskin, yang putih maupun yang hitam, dan yang tua maupun yang muda. (Baca QS at-Taubah: 128).

Kedua, pemimpin itu tidak hanya memperhatikan umatnya dari sisi urusan dunia, tapi juga yang lebih penting adalah urusan akhiratnya. (Lihat QS at-Tahrim: 6, al-Hajj: 41).

Ketiga, pentingnya shalat jenazah. Karena itu, boleh shalat jenazah di atas kuburan terkhusus bagi yang belum menshalatinya (Lihat: Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi).

Keempat, Islam tidak mengklasifikasikan manusia atas dasar status sosial, ekonomi, warna kulit, dan keturunan. Meski tukang sapu, hitam warna kulitnya, dan miskin, bila ia termasuk orang-orang yang bertakwa maka mulialah ia (Baca: QS al-Hujurat: 13).

Kelima, tidak boleh meremehkan orang lain karena kondisi keduniaannya. Nabi segera meluruskan sikap para sahabat yang ada kesan meremehkan urusan perempuan tukang sapu itu. Meremehkan seseorang bisa mengakibatkan kesombongan. Keenam, keutamaan tawadhu. Orang yang mulia bukanlah orang tinggi hati dan meremehkan orang lain. Sebaliknya, yaitu orang yang rendah hati dan suka menghormati orang lain.

Cari di dunia ini kalau ada pemimpin yang mau menshalati jenazah seorang perempuan miskin tukang sapu di atas kuburannya selain Nabi Muhammad. Betapa rendah hatinya Nabi Muhammad ini. Semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepadamu ya Rasulallah.

Ketujuh, besarnya keutamaan orang yang memakmurkan masjid, baik laki-laki maupun perempuan. Kalau tukang sapunya saja sedemikian sangat dimuliakan hingga Nabi harus mencari kuburannya dan shalat (jenazah) di atas kuburannya, tentu mulia pula siapa saja yang memiliki peran yang sangat baik terhadap masjid.

Nabi bersabda, “Kalau kamu melihat ada orang yang suka ke masjid-masjid, saksikan bahwa ia benar-benar beriman.” (HR Tirmidzi). Bukan hanya itu, bahkan setiap langkah kaki orang yang menuju masjid semuanya bisa menghapus dosa dan mengangkat derajat.

Isra Mi’raj pun yang kita yakini sebagai mukjizat agung Nabi Muhammad ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan perjalanan dari masjid ke masjid dan kembali lagi ke masjid.

Nabi berangkat dari Masjidil Haram, lalu ke Masjidil Aqsha, dan terus ke langit singgah di Baitul Makmur masjidnya para malaikat, lalu naik dan terus turun kembali ke Masjidil Haram.

Maka, siapa saja yang memakmurkan dan memiliki perhatian yang sangat besar terhadap masjid niscaya dimuliakan oleh Allah SWT. Wallahu waliyuttaufiiq.

Abdullah Bin Umar RA

Perang Khandak berkecamuk. Beredar kabar, siapa saja lelaki berusia 15 tahun ke atas berhak ikut berjihad. Mendengar itu seorang pemuda berseri-seri. Usianya saat itu masuk 15 tahun. Ia segera mendaftarkan diri. Itulah idamannya selama ini: berjihad bersama Rasulullah. Keikutsertaannya dalam berbagai medan jihad tak pernah lepas dalam sejarah hidup pemuda itu. Saat perang membuka kota Mekah (Futuh Makkah), ia berusia 20 tahun dan termasuk pemuda yang menonjol di medan perang. Dialah, Abdullah ibn Umar, atau Ibn Umar.

"Penting sekali mendapatkan pengakuan (baiat) dari penduduk Madinah. Yang paling kukhawatirkan ada tiga orang: Husain ibn Ali, Abdullah ibn Zubair, dan Abdullah ibn Umar," Muawiyah berwasiat kepada anaknya, Yazid, yang telah dia nobatkan sebagai putra mahkota. Tiga orang itu telah menyatakan penentangannya pada pengangkatan Yazid ibn Muawiyah.

"Adapun Husain ibn Ali, aku berharap kamu dapat mengatasinya. Adapun Abdullah ibn Zubair, kalau kamu berhasil mengatasinya, kamu harus menghancurkannya hingga berkeping-keping. Sedangkan Ibn Umar, orang ini sebenarnya terlalu sibuk dengan urusan akhirat. Asal kamu tidak mengusik urusan akhiratnya ini, maka ia akan membiarkan urusan duniamu."

Berkawan Malam. Menurut sebagian penulis riwayat, kaum muslimin masa itu sedang jaya-jayanya. Muncul daya tarik harta dan kedudukan membuat sebagian orang tergoda memperolehnya. Maka para sahabat melakukan perlawanan pengaruh materi itu dengan mempertegas dirinya sebgai contoh gaya hidup zuhud dan salih, menjauhi kedudukan tinggi.

Ibn Umar pun dikenal sebagai pribadi yang berkawan malam untuk beribadah, dan berkawan dengan dinihari untuk menangis memohon ampunan-Nya. Akan halnya soal salat malam ini, ada riwayatnya. Di masa hayat Rasulullah, Ibn Umar mendapat karunia Allah. Setelah selesai salat bersama Rasulullah, ia pulang, dan bermimpi. "Seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja yang kuingini di surga, kain beledru itu akan menerbangkanku ke sana. Dua malaikat telah membawaku ke neraka, memperlihatkan semua bagian yang ada di neraka. Keduanya menjawab apa saja yang kutanyakan mengenai keadaan neraka," begitulah diungkapkan Ibn Umar kepada saudarinya yang juga istri Rasul, Hafshah, keesokan harinya.

Hafshah langsung menanyakan mimpi adiknya kepada Rasulullah. Rasulullah SAW bersabda, ni’marrajulu 'abdullah, lau kaana yushallii minallaili fayuksiru, akan menjadi lelaki paling utamalah Abdullah itu, andainya ia sering salat malam dan banyak melakukannya. Semenjak itulah, sampai meninggalnya, Ibn Umar tak pernah meninggalkan qiyamul lail, baik ketika mukim atau bersafar. Ia demikian tekun menegakkan salat, membaca Al-Quran, dan banyak berzikir menyebut asma Allah. Ia amat menyerupai ayahnya, Umar ibn Khatthab, yang selalu mencucurkan airmata tatkala mendengar ayat-ayat peringatan dari Al-Quran.

Soal ini, 'Ubaid ibn 'Umair bersaksi, "Suatu ketika kubacakan ayat ini kepada Abdullah ibn Umar." 'Ubaid membacakan QS 4:41-42 yang artinya: Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami datangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat, dan Kami mendatangkan kamu (Muhamad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). Di hari itu orang-orang kafir dan yang mendurhakai Rasul berharap kiranya mereka ditelan bumi, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun." Maka Ibn Umar menangis hingga janggutnya basah oleh air mata.

Pada kesempatan lain, Ibn Umar tengah duduk di antara sahabatnya, lalu membaca QS 83:-6 yang maknanya: Maka celakalah orang-orang yang berlaku curang dalam takaran. Yakni orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta dipenuhi, tetapi mengurangkannya bila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain. Tidakkah mereka merasa bahwa mereka akan dibangkitkan nanti menghadapi suatu hari yang dahsyat, yaitu ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam. Lantas Ibn Umar mengulang bagian akhir ayat ke enam, "yauma yaquumun naasu lirabbil 'alamiin", ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam. Sembari air matanya bercucuran, sampai akhirnya ia jatuh karena sekapan rasa duka mendalam dan banyak menangis.

Abdullah ibn Umar adalah salah satu sahabat Nabi yang berhati lembut dan begitu mendalam cintanya kepada Rasulullah. Sepeninggal Rasulullah SAW, apabila ia mendnegar nama Rasulullah disebut di hadapannya, ia menangis. Ketika ia lewat di sebuah tempat yang pernah disinggahi Rasulullah, baik di Mekah maupun di Madinah, ia akan memejamkan matanya, lantas butiran air bening meluncur dari sudut matanya.

Sebagai sahabat Rasul, ahli ibadah dan dikaruniai mimpi yang haq, karena mimpinya dibenarkan Rasulullah, ia menjadi sosok yang tak punya minat lagi kepada dunia. Sebuah kecenderungan yang sudah nampak sejak ia remaja, ketika pertama kali gairahnya bangkit untuk ikut berjihad.

Dermawan. Bagaimana mungkin Ibn Umar dikatakan tak berhasrat pada dunia, sedang ia pedagang yang sukses? Bisa saja. Sebagai pedagang ia berpenghasilan banyak karena kejujurannya berniaga. Selain itu ia menerima gaji dari Baitul Maal. Tunjangan yang diperolehnya tak sedikitpun disimpan untuk dirinya sendiri, tetapi dibagi-bagikannya kepada fakir miskin. Berdagang buat Ibn Umar hanya sebuah jalan memutar rezeki Allah di antara hamba-hambanya.

Suatu ketika Ibn Umar menerima uang sebanyak 4.000 dirham dan sehelai baju dingin. Sehari kemudian, periwayat yang bernama Ayub ibn Wail Ar-Rasibi melihat Ibn Umar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya dengan berutang. Maka Ayub ibn Wail ini mencari tahu kepada keluarganya. Bukankah Abu Abdurrahman (maksudnya Ibn Umar) menerima kiriman empat ribu dirham dan sehelai baju dingin? Mengapa dia berutang untuk membeli pakan hewan tunggangannya? "Tidak sampai malam hari, uang itu telah habis dibagikannya. Mengenai baju dingin itu, mula-mula dipakainya, lalu ia pergi keluar, saat kembali ia sudah tak lagi memakai baju dingin itu. Ketika kami tanya ke mana baju dingin itu, Ibn Umar bilang sudah diberikannya kepada seorang miskin," demikian jawab keluarga Ibn Umar.

Segera saja Ayub ibn Wail bergegas menuju pasar. Ia berdiri di tempat yang agak tinggi dan berteriak. "Hai kaum pedagang, apa yang Tuan-tuan lakukan terhadap dunia. Lihatlah Ibn Umar, datang kiriman kepadanya sebanyak empat ribu dirham, lalu dibagi-bagikannya hingga esok pagi ia membelikan hewan tunggangannya makanan secara berutang."

Kedermawanan Ibn Umar antara lain juga ditunjukkan dengan sikap hanya memberi mereka yang fakir miskin. Ia pun jarang makan sendirian. Anak-anak yatim atau golongan melarat kerap diajaknya makan bersama-sama. Ia pernah menyalahkan anak-anaknya sendiri lantaran mengundang jamuan makan untuk kalangan hartawan. "Kalian mengundang orang-orang yang dalam kekenyangan, dan kalian biarkan orang-orang kelaparan."

Sang dermawan memang bukan mencari nama dengan kedermawanannya. Dalam kesehariannya, kaum dhuafa akrab dengan Ibn Umar. Sifat santunnya, terutama kepada fakir miskin, bukan basa-basi. Orang-orang fakir dan miskin sudah duduk menunggu di tepi jalan yang diduga bakal dilewati Ibn Umar, dengan harapan mereka akan terlihat oleh Ibn Umar dan diajak ke rumahnya.

Hati-hati. Adalah Abdullah ibn Umar orangnya, yang kalau dimintai fatwa enggan berijtihad. Karena takut berbuat kesalahan, meskipun ajaran Islam yang diikutinya sejak berusia 13 tahun memberi satu pahala bagi yang keliru berijtihad, dan dua pahala bagi yang benar ijtihadnya. Karena khawatir keliru berijtihad, ia pun menolak jabatan kadi atau kehakiman. Padahal ini jabatan tertinggi di antara jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan, jabatan yang juga "basah".

Pernah khalifah Utsman r.a. mau memberi jabatan kadi, tapi Ibn Umar menolak. semakin Khalifah mendesak, Abdullah ibn Umar makin tegas menolak.

"Apakah antum tak hendak menaati perintahku?"

"Sama sekali tidak. Hanya, saya dengar para hakim itu ada tiga macam: pertama hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka; kedua, yang mengadili berdasarkan nafsu, ia pun dalam neraka; dan ketiga, yang berijtihad sedang ijtihadnya betul, maka ia dalam keadaan berimbang, tidak berdosa tapi tidak pula beroleh pahala. Dan saya atas nama Allah memohon kepada antum agar dibebaskan dari jabatan itu."

Khalifah menerima keberatan itu dengan syarat, Ibn Umar tak menyamnpaikan alasan penolakannya kepada siapa pun. Sebab, jika seorang yang bertakwa lagi salih mengetahui hal ini, niscaya akan mengikuti jejak Ibn Umar. Kalau sudah demikian, pupuslah harapan khalifah mendapatkan kadi yang takwa dan salih.

Penolakan itu sendiri sebenarnya karena Ibn Umar masih melihat di antara sahabat Rasulullah masih banyak yang salih dan wara’ yang lebih pantas memegang jabatan itu. Ibn Umar sendiri sadar, penolakan itu takkan sampai berakibat jatuhnya posisi kadi ke tangan yang tak pantas memegangnya.

Calon Khalifah Ketiga. Penerus kekhalifahan Islam sepeninggal Abu Bakar Ash-Shiddiq, adalah Umar ibn Khattab. Khalifah Umar ibn Khattab suatu ketika mendapat serangan mematikan dari Abu Lu’lu’ah. Dalam keadaan terluka parah, sejumlah sahabat menemui Khalifah memberi saran. "Wahai Amirul Mu’minin, bukankah sebaiknya engkau segera menunjuk salah seorang wakil yang akan menggantikan engkau?"

"Siapakah orangnya? Andaikata Abu Ubaidah Ibn Jarrah masih hidup, niscaya aku akan tunjuk dia sebagai pengganti." Salah satu sahabat berkata, "Saya akan menunjukkan nama pengganti itu. Tunjuklah Abdullah ibn Umar."

"Demi Allah, engkau keliru. Aku tak bermaksud menunjuk orang yang kau usulkan itu. Apa yang kau harapkan dari keluargaku untuk pekerjaan ini, sudah cukuplah dan dari keluargaku aku seorang diri saja yang akan diperiksa Allah dan yang akan ditanya tentang hal-hal mengenai umat Muhamad saw ini."

Kondisi Umar terus memburuk, belum juga ada nama penggantinya. Sekali lagi para sahabat menemui Khalifah, mendorong menunjuk calon penerusnya. Khalifah pun memberi nama-nama calon itu. "Hendaklah kamu berpegang teguh kepada calon yang terdiri dari beberapa orang, dan orang yang kucalonkan ini ialah beberapa orang yang sewaktu Rasulullah wafat, beliau rela kepada orang-orang ini, dan orang-orang ini termasuk yang dijanjikan Rasulullah masuk surga. Mereka ialah Ali ibn Abi Thalib, Utsman ibn Affan, Saad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn Auf, Thalhah ibn Ubaidillah, dan Abdullah ibn Umar."

Akhirnya masuk juga nama anak Umar ini. Tapi, kata Umar, Ibn Umar hanya berhak memilih, tapi tidak berhak dipilih. Menurut periwayat, Abdullah ibn Umar sampai mendorong terpilihnya Usman ibn Affan dengan pertimbangan, Utsman ibn Affan luas ilmunya, wara’, dan memiliki kelebihan dan keistimewaan. Antara lain, Utsman ibn Affan menjadi suami dari dua anak perempuan Rasulullah SAW.

Tak heran, dalam masa kepemimpinan Utsman ibn Affan, Abdullah ibn Umar kerap dimintai nasihat. Puncaknya, Utsman meminta Ibn Umar memegang jabatan kadi yang kemudian ditolaknya dengan hujjah, alasan yang kuat.

Syahid setelah Mengingatkan Penguasa. Namanya tak kalah terkenal dibanding ayahandanya, Umar ibn Khattab. Ia lahir di Mekah, 10 tahun sebelum Hijrah atau 612 Masehi. Dalam usia 10 tahun, Abdullah cilik ikut ayahnya berhijrah. Abdullah adalah contoh sahabat Nabi yang amat terpelajar di Madinah, di masa kejayaan Islam. Selain Basrah, Madinah memang tumbuh menjadi pusat pemikiran Islam pasca masa Nabi SAW.

Kegairahan Abdullah seolah melengkapi kekurangan yang ada di kalangan penuntut ilmu-ilmu Islam, karena ia mendalami segi ajaran Islam yang saat itu kurang memperoleh perhatian serius. Yakni tradisi atau hadis Rasulullah saw. Menurut para periwayat, Abdullah mendapatkan inspirasi luar biasa karena ia tinggal di Madinah, yakni tumbuhnya kecenderungan mendengarkan, mencatat, dan mengkritisi berbagai hal mengenai Nabi, termasuk anekdot-anekdot yang sepeninggal Nabi banyak diungkapkan penduduk Madinah.

Putra Umar ini perintis awal bersama sahabat yang lainnya yakni Abu Hurairah dalam bidang hadis (tradisi) Nabi SAW. Ia periwayat hadis kedua terbanyak setelah Abu Hurairah, yakni meriwayatkan 2.630 hadis. Ia pun hapal Quran secara sempurna. Selain itu, ia banyak menerima hadis langsung dari Nabi SAW, dari para sahabat Nabi termasuk ayahnya, Umar ibn Khattab ra.

Selama 60 tahun setelah Nabi wafat, ia menjadi salah satu mata air pengetahuan menyangkut hadis yang banyak dihapalnya, baik karena ia mendengar langsung dari Nabi atau bertanya kepada orang-orang yang menghadiri majelis Nabi menyangkut tutur dan perbuatan Nabi. Ia kerap diminta fatwa dan pertimbangan, tetapi ia juga saking berhati-hatinya ia menolak diminta ijtihadnya. Kecintaannya kepada Rasulullah, kemampuannya mengingat tutur dan perbuatan Nabi, menjaga substansi ajaran sebagaimana dulu Nabi menyampaikannya, membuat Abdullah ibn Umar bersama Abdullah ibn Abbas dianggap pemula bagi golongan yang kemudian disebut golongan sunni.

Abdullah ibn Umar memang hidup dalam beberapa masa kekhalifahan, di antaranya ada masa-masa penuh pergolakan antar kelompok Islam. Menghadapi situasi keras, Ibn Umar tak berubah menjadi kasar dan pembalas. Suatu ketika, Gubernur Mu’awiyah, Al-Hajjaj ibn Yusuf, yang berkedudukan di Hijaz tengah berpidato di masjid. Sang gubernur terkenal kejam dan fasik. Kebetulan Abdullah ibn Umar ada di masjid itu.

Saat itulah, orang-orang semasanya mendapat bukti, betapa kelembutan dan kesabaran Ibn Umar, tidak berarti lemah terhadap kezaliman. Dengan tenang, Ibn Umar berdiri masih saat Gubernur Hajjaj masih di mimbar, dan berkata, "Engkau musuh Allah. Engkau menghalalkan barang yang diharamkan Allah. Engkau meruntuhkan rumah Allah, dan engkau membunuh banyak wali Allah." Al Hajjaj menyetop pidatonya. "Siapakah orang bicara tadi?" Seseorang menjawab, itu Abdulah ibn Umar. Lalu Hajjaj meneruskan pidatonya. "Diam, wahai orang yang sudah pikun."

Seteleh Al-Hajjaj kembali ke kantornya, diperintahkannya pembantunya menikam Abdullah ibn Umar dengan pisau beracun. Si pembantu berhasil menorehkan pisau beracun itu ke tubuh Abdullah ibn Umar yang lantas jatuh sakit. Di pembaringan, Ibn Umar dijenguk Al-Hajjaj. Al-Hajjaj beruluk salam, Ibn Umar tak menjawab. Al-Hajjaj menanyakan sesuatu, berbicara dengan Abdullah ibn Umar tetapi Abdullah ibn Umar tak menjawab sepatah katapun.

Ibn Umar wafat tahun 72 Hijriyah dalam usia 84 tahun. Putra Umar ibn Khattab sebagaimana ayahnya, sama-sama penggiat Islam, telah pergi. Kalau Umar ibn Khattab hidup di suatu masa di mana banyak pula sahabat Rasulullah yang wara’ dan ahli ibadah, maka orang-ornag semasa Abdullah ibn Umar mengatakan, zaman ketika Ibn Umar hidup sulit menemukan sosok yang sealim dan seteguh dia.

Menghindari Jabatan, Antikekerasan

Benar, Ibn Umar bergairah kala panggilan jihad berkumandang. Tetapi, sungguh suatu kenyataan, ia anti kekerasaan, terlebih ketika yang bertikai adalah sesama golongan Islam. Kendati ia berulangkali mendapat tawaran berbagai kelompok politik untuk menjadi khalifah.

Hasan r.a. meriwayatkan, tatkala Utsman ibn Affan terbunuh, sekelompok umat Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibn Umar, "Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang berbai’at kepada anda." Tapi Ibn Umar menyahut, "Demi Allah, seandainya bisa janganlah ada walau darah setetas tertumpah disebabkan daku." Massa di luar mengancam. "Anda harus keluar. Atau, kalau tidak kami bunuh di tempat tidurmu." Diancam begitu, Umar tak tergerak. Massa pun bubar.

Sampai suatu ketika datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibn Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih seluruh kaum muslimin tanpa paksaan. Jika bai’at dipaksakan sebagian orang atas sebagian lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak jabatan khalifah yang dicapai dengan cara semacam itu. Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah terpecah menjadi beberapa firqah, saling mengangkat senjata pula. Ada yang kesal lantas menghardik Ibn Umar.

"Tak seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap umat manusia, kecuali engkau."

"Kenapa? Demi Allah tak pernah aku menumpahkan darah mereka, tidak pula aku berpisah dengan jamaah mereka apalagi memecah-mecah persatuan mereka?" saut Ibn Umar heran.

"Seandanya kamu mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang."

"Saya tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain tidak."

Lagi-lagi, Ibn Umar menghindari posisi pemimpin tertinggi umat Islam ini. Meski demikian, saat ia berusia lanjut pun harapan orang dipimpin Ibn Umar tetap ada. Ketika Muawiyah II putera Yazid beberapa kali menduduki jabatan khalifah. Datang Marwan menemui Ibn Umar. "Ulurkan tangan Anda agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya."

"Lantas apa yang kita lakukan terhadap orang-orang masyriq?"

"Kita gempur mereka sampai mau berbaiat."

"Demi Allah, aku tak sudi dalam umurku yang tujuhpuluh tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan olehku."

Mendengar jawaban ini, Marwan pun berlalu, dan melontarkan syair.

"Api fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila, dan kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa." Abu Laila yang dimaksudkannya, ialah Muawiyah ibn Yazid.

Sikap penolakan Ibn Umar ini karena ia ingin netral di tengah kekalutan para pengikut Ali dan Muawiyah. Sikap itu diungkapkannya dengan pernyataan, "Siapa yang berkata 'Marilah salat’, akan kupenuhi. Siapa yang berkata 'Marilah menuju kebahagiaan’, akan kuturuti pula. Tetapi siapa yang mengatakan 'Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya’ aku katakan: tidak!"

Ini bukan karena Ibn Umar lemah, tapi karena ia sangat berhati-hati, dan amat sedih umat Islam berfirkah-firkah. Ia tak suka berpihak pada salah satunya. Pernah, Abul 'Ali Al-Barra berada di belakang Ibn Umar tanpa sepengetahuannya. Didengarnya Ibn Umar bicara pada dirinya sendiri, "Mereka letakkan pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan lalu berkata, hai Abdulah ibn Umar ikutlah dan berikan bantuan. Sungguh menyedihkan." Begitulah, gambaran suasana hati Abdulah ibn Umar.

Meskipun pada akhirnya, pernah Abdulah ibn Umar berkata, "Tiada sesuatu pun yang kusesalkan karena tak kuperoleh, kecuali satu hal, aku amat menyesal tak mendampingi Ali memerangi golongan pendurhaka." Tapi kemudian, Ibn Umar tak mampu menyetop peperangan, sehigga ia menjauhi semuanya. Seseorang menggugatnya. Mengapa ia tak membela Ali dan pengikutnya kalau ia merasa Ali di pihak yang benar, Abdullah ibn Umar menjawab, "Karena Allah telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim." Lalu dibacanya Q.2:193, perangilah mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga orang-orang beragama itu ikhlas semata-mata karena Allah.

Ibn Umar melanjutkan, "Kita telah melakukan itu, memerangi orang-orang musyrik hingga agama itu semata bagi Allah. Tetapi sekarang apa tujuan kita berperang? Aku sudah mulai berperang semenjak berhala-berhala memenuhi Masjidil Haram dari pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua dibasmi Allah dari bumi Arab. Sekarang, apakah aku akan memerangi orang yang mengucapkan "laa ilaaha illallah"?

Selain mendaftar keutamaan sifat-sifat Ibnu Umar, bapak sosiologi Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah mengkritisi Ibnu Umar. Menurutnya Abdullah bin Umar melarikan diri dari urusan kenegaraan karena sifatnya memang senang menghindar dari ikut campur dalam urusan apapun, baik yang boleh maupun yang terlarang. Wallahu’alam

Bilal Bin Rabah Al Habsyi RA

Bilal bin Rabah al Habsyi hanyalah seorang budak biasa sebagaimana budak-budak lainnya, nasibnya sebagai putra seorang budak yang secara otomatis menjadikannya sebagai budak pula. Ia dimiliki oleh seorang tokoh Quraisy dari bani Jumah, Umayyah bin Khalaf, yang sangat membenci Nabi SAW dan kehadiran agama baru di lingkungan mereka. Tetapi justru kebencian tuannya kepada Nabi dan Islam ini yang menjadi jalan hidayah bagi Bilal. Mereka begitu semangat membahas, menghujat dan mencaci-maki, dan sesekali takjub atas munculnya agama baru dan sosok Nabi Muhammad SAW. Dan itu semua menjadi informasi tak terbatas bagi Bilal tentang Islam, yang akhirnya membawa langkahnya menemui Nabi SAW, tentu tanpa sepengetahuan tuannya, untuk memeluk Islam.

Bilal merupakan orang Islam pertama dari golongan budak, dan itu menjadikan Umayyah bin Khalaf merasa begitu terhina dan ternoda kehormatannya. Karena itu ia melakukan berbagai macam cara penyiksaan yang biadab untuk bisa mengembalikan Bilal kepada agama jahiliah. Ia tidak ingin, peristiwa ini menjadi preseden bagi budak-budak lainnya dan ia yang disalahkan oleh tokoh Quraisy lainnya.

Tetapi siksaan seperti apa yang bisa mengubah keyakinan seseorang jika telah begitu lekat di dalam jiwa. Jika tidak ada hal-hal lain yang diinginkan, dan jika kematian tidak lagi ditakuti, bagaimana mungkin bisa mengubah prinsip hidup seseorang. Itulah yang terjadi pada diri Bilal, makin berat siksaan yang dirasakannya, makin mendekatkan dirinya pada al Ahad, Allah SWT…, Ahad, Ahad, Ahad, itulah yang seolah menjadi simbol perjuangannya.

Siang hari yang sangat panas di padang pasir, ia dibaringkan di atas bara. Terkadang dalam keadaan telanjang ia dilemparkan ke atas pasir yang seperti menyala, kemudian ditindih dengan batu besar yang tak kalah panasnya. Sore hari ketika mulai dingin, ia ditegakkan dan lehernya dirantai kemudian diarak keliling melalui bukit-bukit dan jalanan di kota Makkah. Tidak satu hari dua hari, tidak satu minggu dua minggu, tetapi berbilang bulan, bahkan mungkin berbulan-bulan siksaan itu berlangsung.

Seolah karang yang tak hendak lapuk dan hancur diterjang ombak selama bertahun-tahun, begitulah keyakinan yang tertanam di dalam jiwa Bilal. Di dalam kelemahannya, di dalam ketidak-berdayaannya, hanya satu kata yang lekat dan tertanam erat, Ahad, Ahad, Ahad. Sampai-sampai para penyiksanya jatuh kasihan, atau juga menjadi bosan dengan apa yang dilakukannya. Tetapi mereka enggan untuk melepaskan Bilal begitu saja karena gengsi, takut nama baik dan kehormatannya sebagai tokoh kaum Quraisy tercemar, karena mengalah pada seorang budak yang keras kepala. Atau lebih tepatnya, seorang muslim yang begitu kokoh keimanannya.

Bahkan ada riwayat menyatakan, para penyiksa itu meminta Bilal untuk satu kali saja mengatakan "Latta dan Uzza", agar mereka punya alasan untuk melepaskannya, setelah itu terserah apa yang akan dilakukannya, bahkan mereka akan membebaskannya dari perbudakan. Tetapi Bilal tak bergeming, Cuma satu kata yang keluar dari mulutnya secara berulang-ulang, “Ahad, Ahad, Ahad…!!”

Di suatu pagi menjelang siang, seperti biasanya Bilal digiring ke padang pasir, ke tempat penyiksaannya, datanglah Abu Bakar kepada mereka dan berkata, "Apakah kalian hendak membunuh seorang laki-laki yang mengatakan Tuhannya adalah Allah??"

Kemudian Abu Bakar berpaling kepada Umayyah bin Khalaf, sambil menyerahkan uang ia berkata, "Terimalah uang ini sebagai tebusannya, ini lebih tinggi dari harganya, dan bebaskan dia…!!"

Tampak sekali kelegaan pada Umayyah bin Khalaf dan para penyiksa Bilal, mereka sudah sangat jenuh dan hampir putus asa. Mereka hanya butuh alasan kecil untuk bisa melepaskan Bilal, tetapi malah mendapat setumpuk uang, tentu saja mereka amat gembira, apalagi mereka ini pada dasarnya seorang pedagang. Namun demikian Umayyah berkata, "Bawalah dia, demi Latta dan Uzza, andai saja engkau membayar tak lebih dari satu uqiyah, akau akan melepaskannya…"

Abu Bakar mengerti apa yang dimaksudkan Umayyah, yakni ingin merendahkan martabat Bilal. Karena itu ia berkata, "Andai saja kalian tidak melepasnya kecuali dengan harga seratus uqiyah, aku pasti akan membayarnya."

Abu Bakar membawa Bilal ke hadapan Rasulullah SAW, sekaligus mengumumkan pembebasannya dari status budak. Sekelompok kecil sahabat yang hadir saat bergembira seolah sedang merayakan hari besar. Dan hari itu memang hari besar, bukan hanya buat Bilal, tetapi untuk seluruh umat manusia, hari yang sebenarnya lebih tepat untuk dijadikan sebagai "Hari Persamaan Hak Asasi Manusia."

Ketika Nabi SAW hijrah ke Madinah dan umat Islam bisa melaksanakan peribadatan tanpa gangguan dari pihak-pihak yang memusuhi, mulailah dicari cara mengumpulkan umat Islam untuk melaksanakan shalat jama'ah. Berbagai usulan muncul, tetapi akhirnya dipilih cara yang kini dikenal sebagai "adzan". Ada beberapa riwayat, tentang siapa yang pertama kali menyusun redaksi adzan, tetapi yang jelas pilihan pertama Nabi SAW untuk melantunkannya adalah Bilal bin Rabah. Suaranya yang empuk, merdu, lantang dan penuh keharuan merupakan alasan utama. Siapapun yang mendengarnya serasa disiram dengan segelas air dingin, kesejukan dari nilai keimanan.

Bilal adalah Muadzdzin pertama dalam Islam, dan namanya kini sangat dikenal di seluruh dunia karena identik dengan "jabatan" muadzdzin itu sendiri dalam setiap pelaksanaan shalat Jum'at. Selain sebagai muadzdzin, Nabi SAW juga menunjuk Bilal sebagai pengurus keuangan beliau. Namun walau disebut sebagai pengurus keuangan, Bilal tidak pernah memegang uang terlalu lama atau menyimpannya, karena Nabi SAW memang tidak pernah menyimpan sesuatu, baik uang atau barang, sampai malam harinya. Bilal hanya diserahi tugas untuk mengurus dan melayani apabila ada kaum muslimin yang datang meminta bantuan kepada Nabi SAW. Ia akan mencari pinjaman atas nama Nabi SAW, untuk memenuhi kebutuhan orang tersebut.

Suatu hari ada seorang musyrik kaya raya yang mendatangi Bilal dan berkata, "Hai Bilal, aku mempunyai banyak harta benda, jika kamu mempunyai keperluan, janganlah meminjam pada siapapun, berhutanglah pada saya!"

"Apalagi yang lebih baik daripada hal ini," Kata Bilal menyambut baik tawaran si orang musyrik tersebut.

Sebenarnya si orang musyrik ini, dalam riwayat lain adalah seorang Yahudi, merasa hasud (iri) dengan kedudukannya yang begitu dekat dengan Nabi SAW, pemimpin tertinggi kaum muslimin, atau bahkan bisa dikatakan ‘pemimpin tertinggi’ Jazirah Arabia yang paling disegani saat itu. Pikirnya, “Dia hanya seorang bekas budak, berkulit hitam lagi. Bagaimana mungkin ia memperoleh kedudukan begitu mulia di sisi Muhammad (SAW)?? Sungguh aku akan mengembalikannya seperti dahulu lagi!!”

Tentu saja Bilal tidak mengetahui rencana yang tersimpan di kepala si orang musrik itu, yang jelas ia memperoleh kemudahan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan Nabi SAW. Maka ketika ada perintah Rasulullah SAW, iapun meminjam dari orang tersebut, dan menyerahkannya pada orang yang dikehendaki Nabi SAW untuk menerimanya. Hal ini berlangsung berulang-ulang hingga hutangnya menumpuk banyak pada orang musyrik itu. Suatu kali ketika selesai berwudlu dan akan mengumandangkan adzan, orang musyrik ini mendatanginya dengan beberapa orang, ia mencaci maki Bilal dan berkata bengis, "Hai Habsyi, tinggal berapa hari lagi bulan ini?"

"Bulan ini hampir habis!!" Kata Bilal.

"Tinggal empat hari lagi," Kata orang musyrik itu, "Jika sampai akhir bulan engkau belum melunasi pinjamanmu kepadaku, maka aku akan menjadikanmu hamba sahaya dan engkau harus menggembala kambing seperti dulu lagi."

Setelah mengatakan itu, si orang musyrik meninggalkannya. Bilal menjadi sangat bingung dan gelisah. Selepas shalat isya, ia menemui Rasulullah dan menceritakan apa yang terjadi. Ia berkata, "Ya Rasulullah, engkau tidak mempunyai persediaan apapun untuk membayar hutang itu, dan saya juga tidak mempunyai apa-apa. Saya merasa orang ini ingin menghinakan saya lagi, karena itu, kalau diijinkan, saya ingin bersembunyi sambil mencari jalan untuk membayar hutang tersebut. Jika datang kepada engkau sesuatu untuk membayar hutang ini, saya akan datang lagi."

Ternyata Nabi SAW mengijinkannya. Bilal pulang dan mempersiapkan pedang, perisai dan apa yang diperlukan dalam perjalanan. Menjelang waktu shubuh, ia keluar tanpa tujuan. Tetapi belum jauh, datang seseorang diutus Nabi SAW untuk memanggilnya. Ia bergegas menemui Nabi SAW di masjid, dan tampak disana empat ekor unta dengan muatan penuh. Setelah sampai di masjid, Nabi bersabda, "Dengarkanlah kabar gembira ini, wahai Bilal, Allah telah menyiapkan sesuatu untuk membayar hutangmu. Ambillah unta dan muatannya ini, barang-barang ini telah dikirim sebagai hadiah untukku dari ketua bani Fidak."

Bilal bersyukur penuh kegembiraan. Selesai shalat subuh, ia berlalu membawa unta-unta itu menemui si orang musyrik. Setelah melunasi semua hutang-hutangnya, ternyata masih tersisa cukup banyak. Ia kembali ke masjid menemui Nabi SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, aku bersyukur Allah telah membebaskan hutang-hutang kita tanpa sisa sedikitpun!"

Melihat masih ada yang tersisa dari barang tersebut, Nabi SAW bersabda, "Bagikanlah barang-barang ini sampai habis sehingga aku menjadi tenang. Aku tidak akan pulang ke rumah sebelum sisa barang-barang ini habis dibagikan."

Bilal melaksanakan perintah Nabi SAW, ia berkeliling mencari orang-orang miskin yang membutuhkan, dan membagikan sisa barang tersebut. Setelah shalat isya, Nabi SAW menemui Bilal dan bertanya tentang sisa barang tersebut. Bilal menjawab, "Masih ada, ya Rasulullah, karena sudah tidak ada orang yang memerlukannya lagi!"

Mendengar jawaban ini Nabi tidak pulang, tetapi tidur di masjid. Keesokan harinya, setelah shalat isya beliau bertanya lagi seperti sebelumnya. Kali ini Bilal menjawab, "Tidak ada sisa, ya Rasulullah, Allah telah memberkati anda dengan ketentraman jiwa, semua sisa barang itu telah habis saya bagikan pada hari ini."

Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW bersyukur memuji Allah SWT dan pulang ke rumah istrinya.

Pada hari wafatnya Rasulullah SAW dan saat itu beliau belum dimakamkan, Bilal mengumandangkan Adzan seperti biasanya. Ketika sampai pada kalimah syahadah dimana nama Nabi SAW disebutkan, ia menangis dan banyak para sahabat lainnya menangis juga. Setelah Beliau dikebumikan, Abu Bakar meminta Bilal untuk mengumandangkan adzan seperti biasanya, Bilal menolak dan berkata, "Jika engkau dahulu memerdekakan aku agar aku selalu menyertaimu, itu memang seharusnya. Tetapi jika engkau memerdekakan aku karena Allah, maka ijinkanlah aku bersama Dzat Yang demi Dia, engkau memerdekakan aku."
Abu Bakar mengatakan bahwa ia memerdekakannya karena Allah, maka Bilal berkata, "Aku tidak akan menjadi muadzdzin lagi setelah Rasulullah SAW wafat. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, bahwa amalan seorang mukmin yang paling utama adalah jihad di jalan Allah, maka ijinkanlah aku untuk berjuang bersama para mujahid di Syam!"

Dalam satu riwayat dikatakan bahwa Abu Bakar mengijinkannya pergi ke Syam, dan riwayat lainnya menyatakan, Abu Bakar mempertahankannya tetap di Madinah walau tidak sebagai muadzdzin. Dan baru pada masa Umar ia memaksa untuk pergi berjihad di Syam, walau Umar berusaha mempertahankannya tetap tinggal di Madinah.

Ketika Khalifah Umar berkunjung ke Syam, beberapa orang mendatanginya dan memohon agar Bilal mau melantunkan adzan, walau untuk satu shalat saja. Mereka ini mungkin telah mendengar kisah kehidupan Bilal, tetapi sama sekali belum pernah mendengar adzan Bilal. Mereka ingin tahu seperti apa sehingga Nabi SAW memilihnya sebagai muadzdzin pertama. Ketika hal itu disampaikan Umar, sebenarnya Bilal menolak, tetapi karena banyaknya suara yang memintanya, iapun memenuhinya. Bilal naik ke menara dan mulai melantunkan adzan.

Para sahabat yang hadir banyak yang menangis, mereka seolah dibawa kembali ke suasana saat Nabi SAW masih hidup. Dan yang paling keras tangisnya adalah Umar bin Khaththab dan Bilal sendiri, setelah ia selesai adzan. Itulah terakhir kalinya Bilal melantunkan adzan. Setelah itu ia berjuang di medan jihad sampai akhir hayatnya. Jenazahnya dimakamkan di bumi Damsyiq (kini Damaskus).

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Basyir bin Sa'id RA
Abu Sufyan bin Harits RA
Ghassan Bin Malik Al Amiri RA
Qabishah Bin Mukhariq RA
Thariq al-Shalidalani dan Syihab RA

Said Bin Zaid RA