Wednesday, May 31, 2017

Abu Mihjan as Tsaqafi RA

Abu Mihjan tertangkap basah sedang minum arak, dan ia dikenai hukuman dera rotan oleh Sa'd bin Abi Waqqash yang adalah amir (komandan) pasukan. Dan ketika itu berulang-ulang, Sa'd memutuskannya untuk mengikat dan memenjarakannya. Dan ia juga ditinggalkan ketika pasukan berangkat menuju perang Qadisiyah. 

Dalam kesendiriannya, Abu Mihjan seolah melihat pasukan muslim terdesak oleh pasukan musyrikin. Ia pun menulis surat kepada istri Sa'd, bahwa jika ia dibebaskan, diberi seekor kuda dan senjata, ia akan bertemput bersama kaum muslimin, dan ia berjanji untuk menjadi orang pertama yang kembali (untuk diikat dan dipenjara lagi), kecuali jika ia terbunuh. Dengan demikian tidak ada orang yang tahu kalau ia dibebaskan.

Surat tersebut ternyata ditanggapi dengan baik, istri Sa'd membawakan kuda Abu Mihjan sendiri yang belang-belang berikut senjatanya. Abu Mihjan segera memacu kudanya ke tempat pertempuran, dan ia langsung menyerbu pasukan kaum musyrikin. Saat itu posisi kaum muslimin memang sedang terdesak, dan dengan pertolongan Allah, kehadiran Abu Mihjan membuka pintu kemenangan. Tidak ada satu kelompok musuh yang diserang oleh Abu Mihjan, kecuali Allah membuatnya porak-poranda.

Pasukan muslimin yang melihat sepak terjangnya, dan mereka tidak mengetahui kalau dia adalah Abu Mihjan, berkata, "Lelaki itu bagaikan seorang malaikat…!!"

Sa'd bin Abi Waqqash sendiri sempat berkata, "Ketangkasan dan lompatan kuda belang, serta sepak terjangnya itu adalah milik Abu Mihjan, tetapi bukannya Abu Mihjan sedang terikat kedua kakinya…"

Ketika posisi telah berbalik menjadi kemenangan bagi kaum muslimin, Abu Mihjan segera berbalik pulang. Ia mengembalikan kuda dan senjata kepada istri Sa'd dan kembali ke penjara, bahkan mengikat sendiri kedua kakinya.

Usai pertempuran dan mereka telah kembali ke markasnya, istri Sa'd bertanya tentang jalannya pertempuran kepada suaminya. Sa'd berkata, "Kami terus bertempur dan hampir terjepit oleh serangan musuh yang bertubi-tubi, sampai Allah menghantar seorang lelaki yang menunggang kuda belang-belang (serta memporak-porandakan musuh). Kalau saja aku tidak meninggalkan Abu Mihjan dalam keadaan terikat, tentu aku menyangka itu dirinya karena ia memiliki beberapa sifat Abu Mihjan."

"Demi Allah, sesungguhnya itu memang Abu Mihjan…" Kata istri Sa'd.

Kemudian ia menceritakan apa yang telah terjadi sebelumnya. Sa'd pun menyahut, "Demi Allah, aku tidak menemui seorang lelaki (seperti itu) pada hari ini, yang membantu kaum muslimin dalam keadaan Allah tengah menguji mereka seperti pada hari Qadisiah tersebut…!"

Kemudian ia memerintahkan untuk membebaskan Abu Mihjan. Setelah dibawa kehadapannya, Sa'd berkata, "Kami tidak akan pernah merotan/menghukum kamu lagi karena minum arak selama-lamanya."

Abu Mihjan berkata, "Aku telah minum arak, dan jika hukuman telah ditetapkan untukku, aku akan membersihkan diri darinya. Dan karena engkau membebaskan aku, maka aku tidak akan pernah meminumnya lagi selama-lamanya."

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Qa'is Bin Sa'd Bin Ubadah RA
Thalhah bin Ubaidillah RA
Kisah Addas dan Syaibah Bin Rabiah
Perjalanan Hidup Utbah bin Rabi’ah Hingga Ajalnya
Zaid bin Tsabit RA

Ummul Mukminin, Juwairiyah binti Harits RA

Juwairiyah binti Harits adalah putri dari pemimpin bani Musthaliq dari Suku Khuza’ah, Harits bin Abu Dhirar. Harits menghimpun kekuatan untuk menyerang Madinah, beberapa kabilah Arab ikut bergabung. Kegiatannya ini diketahui oleh Nabi SAW, dan beliau mengirim Buraidah bin Hushaib al Aslamy untuk mengecek kebenaran berita ini. Setelah memperoleh informasi yang lengkap dan benar, beliau memimpin pasukan untuk meyerang mereka, sehingga terjadilah pertempuran Bani Musthaliq atau al Muraisi’, karena terjadi di mata air al Muraisi milik Bani Musthaliq di Qudaid. 

Juwairiyah binti Harits seorang yang cantik jelita dan wajahnya selalu berseri-seri. Jika berjalan, ia selalu menundukkan pandangannya (ghadul bashar). Sebelumnya ia telah menikah dengan Musafi bin Shafwan. Sekitar tiga hari sebelum terjadinya perang Bani Musthaliq ini, Juwairiyah bermimpi melihat bulan terbit dari arah Yatsrib (Madinah), kemudian jatuh ke pangkuannya. Ia menafsirkan, bahwa kelak ia akan menjadi istri dari pemimpin Madinah, yakni Nabi SAW.

Ketika ia menjadi tawanan pasukan muslim, ia sangat berharap mimpinya itu akan menjadi kenyataan. Tetapi saat pembagian ghanimah, ia jatuh ke tangan Tsabit bin Qais. Ketika Juwairiyah menyampaikan keinginannya untuk dibebaskan, Tsabit bersedia memenuhinya dengan tebusan sembilan uqiyah emas. Maka ia menemui Rasulullah SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya adalah putri pimpinan dari kaum saya Bani Musthaliq, yaitu Harits bin Abu Dhirar, dengan musibah yang menimpa saya ini, tentu engkau mengetahui keadaan saya. Sementara Tsabit menentukan tebusan kebebasan saya yang begitu tinggi, yang di luar kemampuan saya. Karena itu saya menghadap engkau untuk memperoleh jalan keluar dari masalah saya ini…!"

Mendengar keluhan Juwairiyah ini, beliau bersabda,"Aku akan memberikan jalan keluar yang lebih baik dari semua itu, aku akan memberikan harta kepadamu, jadi engkau bisa membayar tebusan kebebasanmu dari Tsabit, setelah itu aku akan menikahimu..!"

Juwairiyahpun sangat gembira mendengar ini, yang secara tidak langsung adalah lamaran Nabi SAW atas dirinya. Ini juga berarti mimpi yang dialaminya sebelum terjadinya pertempuran telah menjadi kenyataan, seperti yang didambakannya. Karena itu segera saja ia menyetujui dan menerima jalan keluar yang diberikan Rasulullah SAW.

Pernikahan Nabi SAW dengan Juwairiyah ini ternyata berdampak besar. Para sahabat yang mempunyai tawanan dari Bani Musthaliq, serta merta membebaskan mereka dari tawanan atau perbudakannya. Hal ini dilakukannya sebagai wujud penghargaan mereka atas Nabi SAW dan kepada Bani Musthaliq, yang putri pimpinannya menjadi salah satu Ummahatul Mukminin. Para sahabat itu berkata, “Mereka adalah besan Rasulullah SAW.”

Diriwayatkan ada 100 keluarga sahabat yang membebaskan sekitar 700 orang tawanan Bani Musthaliq tanpa sepeserpun meminta uang tebusan. Sungguh suatu keberkahan besar dari pernikahan Nabi SAW ini.

Juwairiyah dinikahi Nabi SAW pada bulan Sya'ban tahun 6 hijriah, ketika ia berusia 20 tahun. Ia wafat di Madinah pada bulan Rabi'ul Awwal tahun 50 hijriah, dalam usia 65 tahun. Tetapi riwayat lain menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 56 hijriah pada usia 70 tahun.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Umair bin Saad RA
Zubair bin Awwam RA
Abu Hurairah RA
Ummu Abu Hurairah RA
Abbas bin Abdul Muthalib RA

Ummul Mukminin, Zainab binti Khuzaimah RA

Zainab binti Khuzaimah berasal dari Bani Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah. Ia dinikahi Nabi SAW setelah pernikahannya dengan Hafshah, yakni pada bulan Ramadhan tahun 3 hijriah. Tetapi pernikahan beliau ini hanya berlangsung delapan bulan (riwayat lain menyebutkan dua atau tiga bulan), Zainab meninggal pada bulan Rabi'ul akhir tahun 4 Hijriah. Bersama Khadijah, ia merupakan istri Nabi yang meninggal ketika beliau masih hidup.

Zainab dinikahi Nabi SAW dalam keadaan janda. Sebagian riwayat menyebutkan, suami pertamanya adalah Abdullah bin Jahsyi RA yang mati syahid di perang Uhud, tetapi riwayat lain menyebutkan Thufail bin Harits RA atau saudaranya, Ubaidah bin Harits RA, yang keduanya gugur di medan perang Badar.

Sejak sebelum Islam didakwahkan, Zainab binti Khuzaimah telah terkenal dengan sebutan Ummul Masakin (Ibu bagi orang-orang miskin), karena ia sangat suka mendermakan hartanya untuk orang-orang miskin, dan sikap kasih sayangnya kepada mereka.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Hanzhalah Bin Rabi RA
Hanzhalah bin Rahib RA
Usaid bin Hudhair RA
Utbah bin Ghazwan RA
Seorang Penanya Hisab Amal

Putra-putri Rasulullah SAW

Putra-putra Rasulullah SAW ada tiga orang, dari Khadijah dua orang, yaitu Qasim RA dan Abdullah RA, sedangkan seorang lagi dari istri beliau yang berstatus hamba, yaitu Mariyah al Qibthiyah, yaitu Ibrahim RA. Putri beliau sebanyak empat orang, semuanya dari Khadijah, yaitu Zainab RA, Ruqayyah RA, Ummi Kultsum RA dan Fatimah az Zahrah RA. Sedangkan dari istri-istri lainnya, beliau tidak memperoleh anak keturunan. 

Qasim adalah putra Nabi SAW yang pertama, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa ia adik Zainab. Ia meninggal ketika berusia sekitar 2 tahun. Sedangkan Abdullah lahir ketika beliau telah diangkat menjadi Rasul. Ia juga disebut sebagai Thayyib, dan juga Thahhir. Abdullah juga meninggal ketika masih kecil. Hal ini sempat membuat orang-orang kafir Quraisy gembira, mereka beranggapan dengan tidak adanya anak keturunan, akan terputuslah nama dan risalah Islam yang beliau sampaikan. Mereka tidak sadar bahwa kenabian tidaklah diturunkan dan risalah keislaman tidaklah berhenti dengan tidak adanya anak keturunan.

Tidak seperti enam putra-putri beliau dari Khadijah yang lahir di Makkah, Ibrahim lahir di Madinah, tepatnya pada bulan Dzulhijjah tahun 8 hijriah. Setelah tujuh hari kelahirannya, beliau melaksanakan aqiqah, menyembelih dua ekor kambing dan mencukur rambutnya dan menanamnya, kemudian bersedekah perak seberat rambut yang dipotong. Yang memotong rambut Ibrahim adalah sahabat Abu Hindi Bayadhi RA. Beliau kemudian bersabda, "Aku beri nama anak saya ini, seperti nama kakeknya, yaitu Ibrahim."

Ibrahim meninggal dunia pada bulan Rabi'ul Awwal tahun 10 hijriah dalam usia 16 bulan. Sebagian riwayat menyatakan usianya 18 bulan ketika meninggal. Beliau sempat mengeluarkan air mata ketika memakamkan jenazah putra beliau ini. 

Zainab RA

Zainab lahir ketika Nabi SAW berusia 30 tahun, sepuluh tahun sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Ia menikah dengan keponakan Nabi SAW sendiri yang bernama Abul Ash bin Rabi. Zainab memeluk Islam ketika ayahnya diangkat sebagai Rasul dan mengemban Risalah Islam, tetapi suaminya tetap dalam kekafiran. Zainab tidak dapat menyertai Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya berhijrah ke Madinah karena ia dalam penguasaan keluarga suaminya.

Ketika terjadi perang Badar, suami Zainab, Abul Ash berperang di pihak kaum kafir Quraisy. Dalam pertempuran ini ia tertawan. Setelah Nabi mengumumkan tawanan perang Badar dapat ditebus oleh keluarganya, Zainab mengirimkan uang dan perhiasan untuk menebus suaminya. Ketika perhiasan ini sampai ke tangan Nabi SAW, beliau mengenali bahwa perhiasan ini adalah pemberian Khadijah kepada Zainab, beliau jadi teringat dengan istri tercintanya ini dan keadaan putrinya, beliau jadi sedih.

Akhirnya Nabi SAW bermusyawarah dengan para sahabatnya, dan diputuskan untuk membebaskan Abul Ash tanpa tebusan. Uang dan perhiasan tersebut dikembalikan kepada Zainab, tetapi disyaratkan kepada Abul Ash untuk membawa istrinya tersebut ke Madinah jika ia telah sampai kembali di Makkah. Abul Ash menyetujui perjanjian ini, maka Nabi SAW mengirimkan dua orang untuk menjemput putrinya tersebut di luar kota Makkah, di suatu perkampungan bernama Ya'juj. Mereka ini adalah Zaid bin Haritsah dan salah seorang sahabat Anshar. Mereka diminta untuk menemani Zainab sampai ke Madinah.

Sesuai janjinya, setelah sampai di Makkah ia mengantarkan Zainab menemui dua utusan Nabi SAW yang menunggu di luar kota Makkah. Adik Abul Ash, Kinanah bin Rabi mengantarkan seekor unta, yang kemudian dinaiki Zainab. Kinanah sendiri ikut rombongan ke Madinah. Ketika kepergian Zainab ini diketahui oleh kaum Quraisy, mereka sangat marah, mereka mengirimkan satu pasukan untuk menggagalkannya.

Ketika pasukan Quraisy itu telah dekat, salah seorang dari mereka, Habar bin Aswad, yang sebenarnya masih keponakan Zainab, melemparkan tombaknya dan mengenai Zainab, sehingga ia jatuh dari untanya. Zainab yang saat itu sedang hamil, mengalami keguguran. Melihat keadaan ini, Kinanah sesumbar akan melakukan perlawanan dengan panah-panah dan pedangnya. Pasukan Quraisy ini jadi keder juga, mereka tahu benar keahlian Kinanah dalam memanah dan kemampuannya memainkan pedang.

Akhirnya salah seorang anggota pasukan lainnya, Abu Sufyan membujuk Kinanah agar kembali dahulu ke Makkah, dan setelah suasana tenang, satu dua hari kemudian hendaknya ia membawa putri Nabi SAW secara sembunyi-sembunyi ke Madinah. Usul ini diterima baik oleh Kinanah.

Zainab akhirnya berhasil hijrah ke Madinah dengan diantar Kinanah, tetapi dalam keadaan sakit parah akibat terkena tombak, jatuh dari unta dan keguguran. Ia terus menderita dengan luka-lukanya ini selama beberapa tahun sampai akhirnya wafat pada tahun 8 Hijriah. Nabi SAW sendiri yang menurunkan dan menguburkan jenazahnya dalam keadaan yang sangat sedih.

Setelah selesai penguburan, tampak wajah Nabi SAW berseri-seri. Para sahabat menjadi keheranan dan menanyakan perubahan wajah beliau tersebut. Nabi SAW berkata, "Saya sangat khawatir atas kelemahan Zainab, dan saya berdoa agar Allah meluaskan kuburnya dan membebaskannya dari siksa kubur, dan Allah mengabulkan doaku."

Suami Zainab, Abul Ash bin Rabi datang ke Madinah pada tahun 6 atau 7 hijriah, kemudian memeluk Islam. Nabi SAW mengembalikan Zainab kepadanya, karena sebelumnya mereka belum bercerai.

Dari pernikahannya ini ia mempunyai dua orang anak, yaitu Ali bin Abul Ash dan Umamah binti Abul Ash.

Ruqayyah RA

Ruqayyah adalah adik Zainab, tiga tahun lebih muda dari kakaknya tersebut. Ia lahir ketika Nabi SAW berusia 33 tahun. Selagi masih kecil, ia telah dinikahkan dengan Utbah bin Abu Lahab, sebagaimana adiknya Ummu Kultsum dinikahkan dengan adik Utbah, Utaibah bin Abu Lahab. Ketika turun Surah Al Lahab, Abu Lahab berkata kepada dua anaknya, "Haram bagiku bertemu dengan kalian sebelum kalian menceraikan putri Muhammad!!"

Karena ancaman ini, keduanya menceraikan putri-putri Rasulullah SAW, walau dengan berat hati. Walaupun demikian, sebenarnya mereka belum pernah berkumpul karena saat itupun mereka masih kecil. Utbah kemudian memeluk Islam pada saat Fathul Makkah, setelah sebelumnya menceraikan istrinya.

Setelah memasuki usia dewasa, Ruqayyah dinikahkan Nabi SAW dengan Utsman bin Affan. Mereka berdua sempat hijrah ke Habasyah, dan kemudian mereka berdua hijrah lagi ke Madinah, setelah ada perintah Nabi SAW untuk melaksanakannya. Ketika terjadi perang Badar, Ruqayyah sedang sakit keras, sehingga Utsman diminta Nabi SAW tinggal di Madinah menunggui istrinya. Saat kabar kemenangan kaum muslimin di perang Badar sampai di Madinah, Utsman sedang memakamkan jenazah istrinya.

Dari pernikahannya ini, Ruqayyah mempunyai seorang anak benama Abdullah bin Utsman, ia lahir ketika mereka masih berhijrah di Habasyah. Abdullah meninggal ketika masih berusia 6 tahun, riwayat lain menyebutkan, ia meninggal satu tahun sebelum kewafatan ibunya. 

Ummu Kultsum RA

Ummu Kultsum adalah adik dari Zainab, lebih tua beberapa tahun daripada Fatimah az Zahrah. Ia dinikahkan dengan Utaibah bin Abu Lahab ketika masih kanak-kanak. Ketika turun Surah Al Lahab, Utaibah dipaksa menceraikan Ummu Kultsum oleh Abu Lahab, karena isi surah yang mencela sikap Abu Lahab ini.

Berbeda dengan saudaranya, Utbah yang menyesali perintah ayahnya, Utaibah justru mendukungnya. Bahkan setelah menceraikan, ia mendatangi majelis Nabi SAW tanpa adab dan sopan santun, kemudian mencaci dan menghina Nabi SAW. Karena sikapnya yang keterlaluan ini, Nabi SAW berdoa, "Ya Allah, hendaknya Engkau siksa dia dengan anjing dari anjing-anjingmu…!"

Abu Thalib yang mendengar peristiwa ini, ia berkata kepada Utaibah, "Kamu tidak akan mati sebelum doa Muhammad itu terlaksana atasmu."

Utaibah sendiri merasa khawatir atas doa Nabi SAW, walau tidak percaya dengan kenabian beliau. Suatu ketika ia melakukan perjalanan dagang ke Syam bersama kafilah ayahnya, Abu Lahab, ia berkata, "Aku sangat khawatir dan cemas dengan doa Muhammad itu, karena itu setiap orang di kafilah ini hendaklah berjaga-jaga!!"

Ketika kafilah dagang ini bermalam di suatu tempat, mereka membentuk lingkaran dengan barang dagangan yang dibawanya, Utaibah tidur di tengahnya, dan anggota lainnya tidur mengelilinginya. Tengah malam ketika mereka tidur nyenyak, datanglah seekor singa, dan setiap orang wajahnya diciumnya. Ketika tiba giliran Utaibah, singa itu menerkamnya dan memisahkan kepalanya dari tubuhnya, setelah itu sang singa berlalu.

Sebagian riwayat menyebutkan, Utaibah ini yang masuk Islam dan Utbah yang mati diterkam singa. Yang jelas salah satu dari putra Abu Lahab ini memang memeluk Islam, dan satunya tewas diterkam singa, sebagai pengabulan doa Nabi SAW. 

Setelah Ruqayyah meninggal dunia pada Rabi'ul Awwal tahun 3 hijriah, Nabi SAW menikahkan Ummu Kultsum ini dengan Utsman bin Affan. Tetapi belum sempat mempunyai anak, Ummu Kultsum meninggal pada bulan Sya'ban tahun 3 hijriah. 

Fatimah Az Zahra RA

Fatimah az Zahrah adalah putri Rasulullah SAW yang ke empat. Sebagian riwayat menyatakan ia lahir pada tahun ke satu dari kenabian, tetapi riwayat lain menyebutkan ia lahir lima tahun sebelum kenabian. Nama Fatimah diberikan berdasarkan wahyu atau ilham yang diterima Nabi SAW, artinya 'menahan' atau 'terbebas dari neraka'. Menurut Rasulullah SAW, Fatimah adalah ratunya para bidadari di surga, karenanya ia menjadi putri yang paling dicintai Nabi SAW.

Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib pada tahun 2 hijriah, pernikahan inipun atas perintah Allah melalui wahyu atau ilham yang diterima Nabi SAW. Tujuh setengah bulan setelah pernikahan barulah mereka tinggal bersama dalam satu rumah. Dari penikahannya ini, mereka memiliki beberapa putra dan putri. Putra pertama adalah Hasan, kemudian Husain setahun kemudian, dan disusul Muhasan yang meninggal ketika masih kecil. Putri pertamanya adalah Ruqayyah, yang meninggal ketika masih kecil, disusul Ummu Kultsum dan Zainab.

Fatimah merupakan kerabat Nabi SAW yang paling terdahulu menyusul setelah wafatnya beliau. Diriwayatkan, ketika Nabi SAW sedang sakit keras menjelang sakaratul maut, beliau berbisik kepada Fatimah, dan ia jadi menangis tersedu-sedu. Beberapa saat kemudian beliau membisiki Fatimah lagi, kali ini ia tertawa gembira. Ketika beberapa orang bertanya kepadanya tentang sikapnya yang aneh, dari menangis kemudian tertawa, Fatimah menjelaskan bahwa pada bisikan pertama, beliau memberitahukan kalau beliau akan segera meninggalkan dunia ini, kembali ke hadirat Ilahi SWT, karena itu ia menangis tersedu-sedu. Pada bisikan kedua, beliau memberitahukan bahwa anggota keluarga beliau yang pertama kali menyusul, kembali ke hadirat Ilahi SWT adalah Fatimah sendiri, karenanya ia tertawa gembira karena ia tidak akan terlalu lama berpisah dengan Rasulullah SAW.

Fatimah adalah putri kesayangan Nabi SAW, namun demikian beliau tidak pernah melimpahinya dengan kekayaan dan kesenangan dunia, justru beliau mendorongnya untuk selalu beramal dan berpayah-payah untuk memperoleh keuntungan di akhirat. Pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib tidak membuat kehidupannya lebih ringan, karena karakter Ali adalah didikan Rasulullah SAW, kaya akan ilmu sehingga sangat zuhud terhadap dunia.

Fatimah terbiasa mengerjakan sendiri pekerjaan rumah tangganya. Menggiling gandum, mengangkut air untuk kebutuhan sehari-hari, dan beberapa pekerjaan lainnya, sehingga tangannya kasar dan timbul bintik-bintik hitam yang tebal. Melihat penderitaan istrinya ini, suatu kali Ali berkata kepada Fatimah, "Pergilah engkau menghadap Rasulullah, mintalah seorang pembantu untuk meringankan pekerjaanmu!"

Memang waktu itu baru saja datang beberapa orang hamba sahaya diberikan kepada Rasulullah. Memenuhi perintah suaminya, Fatimah berangkat menemui Nabi SAW, tetapi ternyata banyak orang yang datang di majelis Nabi SAW, Fatimah malu untuk menyampaikan maksudnya, dan ia pulang kembali. Keesokan harinya, Nabi SAW yang datang ke rumah Fatimah, beliau berkata, "Wahai Fatimah, ada apa engkau datang untuk menemuiku kemarin?"

Fatimah hanya diam, malu untuk menyampaikan maksudnya. Ali yang kemudian menjawab, "Wahai Rasulullah, dia mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, menggiling gandum, mengangkat air, membersihkan rumah, dan pekerjaan lainnya, sehingga timbul bintik hitam di tangannya, luka-luka di dadanya dan pakaiannya menjadi kotor. Kemarin engkau mendapat beberapa hamba sahaya, maka kusuruh ia meminta salah seorang dari mereka untuk membantu pekerjaannya."

Nabi SAW tersenyum mendengar penjelasan Ali, kemudian bersabda, "Wahai Fatimah, bertakwalah kepada Allah, tetaplah menyempurnakan kewajibanmu kepada Allah, dan kerjakanlah pekerjaan rumah tanggamu. Kemudian, ketika engkau akan tidur, ucapkanlah Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 34 kali. Ini lebih baik bagimu daripada seorang pembantu."
Putri kesayangan dan didikan Nabi SAW ini berkata dengan tulus, “Saya ridha dengan keputusan Allah dan RasulNya."

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Said Bin Zaid Ra
Sawad bin Ghaziyyah RA
Asma' binti Abu Bakar Ash-Shiddiq Ra
Abdullah Bin Zubair Ra
Qabishah Bin Mukhariq RA

Cucu-Cucu Rasulullah SAW

Ali dan Umamah binti Abul Ash RA

Dari pernikahan Zainab dan Abul Ash bin Rabi, Rasulullah SAW mempunyai dua orang cucu. Yang pertama adalah lelaki yang diberi nama Ali. Diriwayatkan bahwa ketika memasuki kotaMakkah dalam Fathul Makkah, beliau menunggang unta bersama Ali. Yang dimaksudkan adalah Ali tersebut adalah cucu beliau ini. Ali meninggal menjelang usia dewasanya, beberapa waktu setelah kewafatan ibunya, Zainab.

Anak keduanya adalah seorang perempuan yang diberi nama Umamah RA. Sewaktu masih kecil, Nabi SAW sering bermain-main dengan cucunya ini. Diriwayatkan bahwa ketika beliau sedang sujud dalam shalat, Umamah kecil sering menaiki punggung beliau, dan beliau membiarkannya berlama-lama sujud, baru menurunkannya ketika beliau akan bangkit dari sujud. Ia dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib setelah wafatnya Fatimah az Zahrah, bibinya sendiri. Menurut riwayat, sebelum kematiannya, Fatimah berpesan kepada suaminya, agar sepeninggalnya ia menikahi keponakannya sendiri, Umamah. Tetapi dari pernikahannya ini, Umamah tidak mempunyai anak keturunan.

Setelah wafatnya Ali, Umamah menikah dengan Mughirah bin Naufal. Dari pernikahannya ini ia mempunyai seorang anak yang diberi nama Yahya, tetapi tidak banyak penjelasan tentang putra Umamah ini, bahkan terjadi perbedaan dalam riwayatnya.

Umamah wafat pada tahun 50 hijriah.

Abdullah bin Utsman RA

Dari pernikahan Ruqayyah dan Utsman bin Affan, Nabi SAW mempunyai seorang cucu lelaki yang diberi nama Abdullah. Abdullah ini lahir ketika mereka sedang berhijrah di Habasyah, dan ia meninggal ketika masih kecil, yakni berusia 6 tahun di Madinah. Sedangkan pernikahan Ummu Kultsum dan Utsman tidak mempunyai anak, karena pernikahan mereka hanya berlangsung beberapa bulan saja.

Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA

Hasan adalah putra pertama Fatimah dan Ali bin Abi Thalib, ia lahir setelah dua tahun pernikahan mereka, yakni pada tahun 3 hijriah. Ia baru berusia 7 tahun lebih beberapa bulan ketika Rasulullah SAW wafat, tetapi ia telah meriwayatkan beberapa hadits dari Nabi SAW. Setidaknya terdapat 13 hadits yang diriwayatkan dari jalan cucu Raulullah SAW ini.

Suatu ketika ia berjalan-jalan bersama Rasulullah SAW, melewati setumpuk buah kurma hasil sedekah. Hasan mengambil satu kurma dan memakannya, segera saja Nabi SAW berseru, "Akh, akh…!"

Kemudian beliau mengambil kurma tersebut dari mulut Hasan. Kemudian beliau bersabda, "Kita tidak boleh memakan harta sedekah."

Ia belajar shalat limawaktu dan beberapa shalat lainnya dari Nabi SAW, padahal saat itu ia masih anak-anak. Ia juga diajarkan Nabi SAW, doa untuk shalat witir, yaitu doa yang saat ini terkadang dibaca sebagai doa qunut pada shalat subuh. Hasan juga sering melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki, tidak mengendarai untanya. Ketika kebiasaannya ini ditanyakan, ia menjawab, "Setelah mati nanti, saya merasa malu jika bertemu dengan Allah, sedangkan saya belum pernah mengunjungi rumahNya dengan berjalan kaki."

Husein bin Ali bin Abi Thalib RA

Husein bin Ali lahir setahun setelah kakaknya, Hasan. Ia masih berusia 6 tahun beberapa bulan ketika Nabi SAW wafat. Tetapi seperti kakaknya, ia juga meriwayatkan beberapa Hadits, setidaknya ada 8 hadits yang diriwayatkan dari jalan Husein ini.

Diriwayatkan bahwa Husein telah melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki sebanyak 25 kali. Ia juga selalu istiqamah dalam menjalankan ibadah dan rajin bersedekah.

Zainab binti Ali bin Abi Thalib RA

Zainab adalah putri ke tiga Fatimah dan Ali bin Abi Thalib. Ia menikah dengan saudara sepupunya sendiri, Abdullah bin Ja'far, dan mempunyai dua orang anak, Abdullah dan Aun, tetapi keduanya meninggal sebelum masa

dewasanya, ketika kedua orang tuanya masih hidup.

Setelah Zainab meninggal, suaminya menikah dengan saudara kandungnya, Ummu Kultsum. Ummu Kultsum sendiri adalah janda dari saudara Abdullah, Muhammad bin Ja'far.

Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib RA

Ummu Kultsum adalah putri ke empat Fatimah dan Ali bin Abi Thalib, iamenikah dengan Khalifah Umar bin Khaththab. Dari pernikahannya ini ia mempunyai seorang anak yang diberi nama Zaid bin Umar. Setelah Umar meninggal, ia menikah dengan Aun bin Ja'far, dan mempunyai seorang anak perempuan, tetapi meninggal ketika masih kecil. Setelah Aun meninggal, ia menikah lagi dengan Muhammad bin Ja'far, saudara Aun. Setelah Muhammad meninggal, ia menikah lagi dengan Abdullah bin Ja'far, saudara Aun juga.

Saat menjadi istri Abdullah ini, Ummu Kultsum mengalami sakit, yang akhirnya membawa ajalnya. Pada hari wafatnya ini, putranya, Zaid bin Umar meninggal juga sehingga keduanya diberangkatkan ke makam bersama-sama.

Jadi, setelah pernikahannya dengan Umar bin Khaththab, Ummu Kultsum menikah dengan tiga orang putra Ja'far bin Abi Thalib, yang masih sepupunya sendiri, secara berturut-turut. Pertama dengan Aun bin Ja'far, kemudian Muhammad bin Ja'far dan Abdullah bin Ja'far. Sebelumnya, Abdullah bin Ja'far adalah suami saudara kandungnya sendiri, Zainab binti Ali, yang telah meninggal sebelumnya.

Ketika menjadi istri Umar bin Khaththab, suatu malam, suaminya yang menjabat sebagai khalifah itu tergesa-gesa membangunkannya dari tidur dan berkata, "Wahai istriku, sesungguhnya Allah SWT membuka jalan bagimu, jalan yang mulia di sisi Allah, agar engkau memperoleh peluang berbuat kebaikan malam ini."

"Apa maksudmu, wahai Amirul Mukminin," Tanya Ummu Kultsum terkejut, sekaligus penuh harap.

Memang telah menjadi kebiasaan Umar meronda malam untuk melihat keadaan umat Islam. Ia selalu khawatir kalau umat yang dipimpinnya ini mengalami kesusahan tanpa ia bisa membantunya. Dan malam itu ia menemukansuatu keadaan yang memerlukan campur tangan istrinya. Ia berkata, "Dengarlah wahai istriku, di padang sebelah sana terdapat sebuah kemah tua, yang di dalamnya ada seorang wanita yang akan melahirkan tanpa seorangpun yang merawat dan membantunya. Ia sangat kesakitan, tolonglah engkau membantunya dalam proses persalinannya!"

Sebenarnya mudah saja bagi Umar menyuruh dan memerintahkan Ummu Kultsum untuk membantu persalinan wanita itu. karena ia sebagai suami sekaligus khalifah. Tetapi bagaimanapun istrinya ini adalah seorang cucu dari orang yang sangat dikasihinya, Nabi SAW, apalagi Fatimah adalah putri kesayangan beliau. Ia tidak ingin mengatakan sesuatu yang juga akan menyakiti hati Rasulullah SAW. Kemuliaan nasab itu pulalah yang tampak dalam jawaban istrinya, "Wahai suamiku, sudah menjadi kewajibanku untuk menyempurnakan hasrat dan kesucian hatimu, aku bersedia untuk membantu dan merawatnya."

Mereka bergegas menuju padangdimana kemah itu berada sambil membawa peralatan dan bekal makanan yang diperlukan. Sementara Ummu Kultsum membantu persalinan, Umar menyalakan api dan memasak makanan bagi dua pengembara tersebut. Tak lama berselang, terdengar seruan istrinya, "Ya Amirul Mukminin, ucapkanlah tahniah (selamat) kepada saudaramu itu, karena ia memperoleh seorang anak laki-laki."

Mendengar ucapan dari dalam kemah tersebut, si lelaki jadi terkejut. Tidak disangkanya kalau yang bersusah payah membantunya ini ternyata Umar, Amirul Mukminin yang sempat diacuhkannya. Umar meminta istrinya membawa masuk, makanan bagi sang ibu baru tersebut. Dan terhadap si lelaki yang tampak terkejut, ia berkata, "Tidak mengapa wahai Saudara, janganlah kedudukanku ini membebani perasaanmu. Datanglah besok menemuiku, aku akan mencoba menolongmu!"

Setelah semuanya selesai, Umar dan Ummu Kultsum berpamitan.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Amir bin Akwa RA
Ghassan Bin Malik Al Amiri Ra
Thariq al-Shalidalani dan Syihab RA
Abu Sufyan bin Harits RA
Seorang yang Menginginkan Berjihad

Maisarah bin Masruq al Absi RA

Maisarah bin Masruq al-Absi hanyalah orang biasa dalam Bani al-Absi yang sedang melakukan haji. Ketika berkemah di Jamratul Ula dekat Masjid Khaif, kabilah ini didatangi Rasullullah SAW yang berboncengan dengan Zaid bin Haritsah. Beliau menjelaskan Risalah yang dibawanya dan menyeru untuk masuk Islam, saat itu Maisarah berkata pada kaumnya yang hadir, "Aku bersumpah dengan nama Allah, kalau kita membenarkan lelaki ini dan mengajaknya ke tengah-tengah tempat tinggal kita, itu adalah pendapat yang baik. Dan aku bersumpah dengan nama Allah bahwa agamanya akan menang hingga ke segala penjuru." 

Tetapi kaumnya tidak menanggapi pendapatnya tersebut. Melihat sikap dan tanggapan Maisarah itu, Nabi SAW secara khusus mengajaknya untuk memeluk Islam, tetapi karena merasa sendirian dan khawatir dimusuhi kaumnya, ia belum bisa menerima ajakan Nabi SAW tersebut, walau ia tetap memuji dan mengakui kebenaran ajaran yang disampaikan beliau.

Sepulangnya kepada kaumnya dari perjalanan haji tersebut, Maisarah mengajak beberapa orang menemui seorang pendeta Yahudi di Fadak untuk mengetahui lebih banyak tentang Nabi yang dijanjikan. Pendeta Yahudi itu membuka sebuah kitab besar, ia mencari-cari tentang masalah itu. Setelah menemukan halaman yang dimaksudkannya, Sang Pendeta membacanya, "Seorang nabi yang ummi (buta huruf), berbangsa Arab, biasa menunggang unta, merasa cukup dengan makanan yang kasar (roti keras), tubuhnya tidak rendah juga tidak tinggi, rambutnya tidak lurus juga tidak terlalu keriting, pada kedua matanya ada warna putih kemerah-merahan. Jika ia menyeru kalian, terimalah seruannya, dan masuklah ke dalam agamanya."

Pendeta Yahudi itu lalu berkata lebih lanjut, "Kami kaum Yahudi hasad kepadanya, itulah yang menyebabkan kami tidak mengikutinya, sesungguhnya karena dialah tempat kami akan ditimpa bencana besar. Bangsa Arab akan terpecah menjadi dua, yang mengikutinya atau memeranginya, maka jadilah kalian orang-orang yang mengikutinya." 

Maisarah semakin mantap dengan pendapat yang dipilihnya, dan mereka sepakat untuk menemui Nabi SAW pada musim haji berikutnya. Tetapi ketika sampai di antara kaumnya, kesepakatan ini dimentahkan oleh para tetua kabilah Bani Absi, mereka menolak dan menentang keras kesepakatan yang diambil kelompok Maisarah yang menemui Pendeta Yahudi tersebut.

Berlalu beberapa tahun. Maisarah bertemu Nabi SAW saat Haji Wada', dia berkata, "Ya Rasulullah, tak henti-hentinya aku berharap dapat mengikuti ajakanmu sejak pertemuan pertama dahulu, tetapi Allah menghendaki keterlambatanku masuk Islam. Sesungguhnya sebagian besar orang yang bersamaku dulu telah meninggal." 

Rasululah SAW menjelaskan kalau mereka yang meninggal di luar Islam tempatnya di neraka, dan Maisarah mensyukuri keislamannya sebelum meninggal. Ia terus memperbaiki keislamannya dan mempunyai kedudukan yang baik di sisi Abu Bakar

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Zainab ats Tsaqafiyah Ra
Hisyam bin Hakim bin Hizam Ra
Si Badui yang Menghisab Allah SWT
Khansa binti Amr Ra
Khaulah binti Hakim RA

Dhimam bin Tsa’labah RA

Suatu ketika, seorang aktivis dakwah yang dikirim oleh Rasulullah SAW ke pedalaman, sampai ke perkampungan Bani Sa’d bin Bakr. Diantara warga Bani Sa’d yang ikut menghadiri majlis sang da’i itu adalah Dhimam bin Tsa’labah dan ia merasa tenteram (mak nyess) terhadap apa yang disampaikan sang da’i.

Kemudian Bani Sa’d mengutusnya untuk langsung menemui Rasulullah SAW di Madinah. Menurut satu riwayat, Dhimam datang ke Madinah pada tahun 9 H.

Sesampainya di Madinah, Dhimam menambatkan kudanya di salah satu sudut masjid nabawi. Dia pun memasuki masjid nabawi dengan membawa tongkatnya, sambil melangkahi barisan para sahabat yang sedang mengikuti majlis Rasulullah SAW dan saat dia datang, karena rambutnya panjang, ia gelung rambutnya dalam dua gelungan; sebelah kanan dan sebelah kiri.

Saat itu Rasululullah SAW sedang duduk bersandar dengan salah satu tangan beliau SAW.

Dhimam berkata: “Mana dia putra Abdul Muththalib?”. Maksudnya adalah nabi Muhammad SAW bin Abdullah bin Abdul Muththalib. Beliau SAW dipanggil demikian karena nama Abdul Muththalib sangat terkenal sebagai pemimpin Quraisy.

Rasulullah SAW menjawab: “saya”.

Perlu diketahui bahwa Dhimam itu berperangai kasar, makanya gaya kedatangan dan bicaranya seperti itu.

“Wahai putera Abdul Muththalib, aku akan bertanya kepadamu dengan pertanyaan kasar dan berat, aku mohon engkau tidak tersinggung”.

Rasulullah SAW menjawab: “Silahkan bertanya dan aku tidak pernah tersinggung oleh perilaku siapapun”.

Dhimam: “Aku bertanya kepadamu dengan nama Tuhanmu, Tuhan orang-orang sebelummu, dan Tuhan orang-orang setelahmu, BETULKAH Allah SWT mengutusmu sebagai seorang rasul kepada kami?”.

Rasulullah SAW: “Demi Allah, betul”.

Dhimam: “Aku bertanya kepadamu dengan nama Tuhanmu, Tuhan orang-orang sebelummu, dan Tuhan orang-orang setelahmu, BETULKAH Allah SWT memerintahkan kepadamu agar kami hanya menyembah Allah SWT semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun dan agar kami berlepas diri dari segala sembahan selain Allah yang telah menjadi semabahan nenek moyang kami?”.

Rasulullah SAW: “Demi Allah, betul”.

Dhimam: “Aku bertanya kepadamu dengan nama Tuhanmu, Tuhan orang-orang sebelummu, dan Tuhan orang-orang setelahmu, BETULKAH Allah SWT memerintahkan kepadamu agar kami shalat lima waktu dalam sehari semalam?”.

Rasulullah SAW: “Demi Allah, betul”.

Lalu Dhimam menanyakan dengan cara yang sama satu demi satu kewajiban Islam.

Setelah itu Dhimam berkata: “Dengan ini aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasulullah, dan aku akan laksanakan semua kewajiban tadi, dan menjauhi segala larangan, tidak aku tambahi dan tidak aku kurangi”.

Kemudian Dhimam pergi meninggalkan majlis, menaiki kembali untanya dan pulang ke Bani Sa’d.
Rasulullah SAW bersabda: “Jika apa yang disampaikan si pemilik dua gelungan tadi benar, maka ia akan masuk surga”.

Sesampainya di perkampungan Bani Sa’d, semua warga mengerubungi dia, dan kosa kata yang pertama kali dia ucapkan adalah: “Buruk sekali Latta dan Uzza”.

Maka kaumnya berkata: “Hati-hati Dhimam kalau bicara, nanti kamu kena penyakit belang dan lepra lho…”.

Dhimam: “Celaka kalian semua, Latta dan Uzza itu tidak bisa menimpakan madharat atau manfaat apa pun, dan bahwasanya Allah SWT telah mengutus rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya untuk menyelamatkan kalian, dan aku telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, dan aku telah datang darinya kepada kalian dengan membawa hal-hal yang diperintahkannya dan hal-hal yang dilarangnya”.

Belum sampai masuk waktu sore, tidak ada seorang lelaki atau perempuan Bani Sa’d kecuali mereka telah menjadi muslim.

Dan Abdullah bin Abbas RA menilai Dhimam sebagai delegasi terbaik yang pernah datang kepada Rasulullah SAW.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Amr bin Ash RA
Abdullah bin Amr bin Al-Ash RA
Farwah bin Amr al Judzamy RA
Usamah Bin Zaid RA
Kultsum Bin Hikam RA

Abu Khaitsamah RA

Ketika Rasulullah SAW sedang memobilisasi pasukan untuk perang Tabuk, Abu Khaitsamah sedang berada di luar kota Madinah. Beberapa hari setelah Beliau berangkat ke Tabuk barulah ia tiba kembali di Madinah. Cuaca saat itu sangatlah panas, kedua istrinya menyambut kedatangannya dengan gembira. Makanan dan air yang dingin telah disiapkan untuknya di dalam rumahnya yang berada di salah satu bagian kebunnya yang teduh.

Abu Khaitsamah berdiri di pintu rumahnya, ia memandang dua istrinya dan apa yang telah disiapkan untuknya. Matanya tampak menerawang jauh, tiba-tiba ia berkata, "Rasulullah SAW berada di terik matahari, tiupan angin kencang dan cuaca yang sangat panas, sementara Abu Khaitsamah berada di naungan yang sejuk, makanan yang terhidang dan dua istrinya yang cantik di tengah harta bendanya,… Ini sungguh tidak adil."

Sejenak ia tercenung, kemudian berkata kepada istrinya, "Demi Allah, aku tidak akan masuk ke rumah menemui kalian, sehingga aku menyusul Rasulullah SAW. Sediakan perbekalan untukku."

Setelah semua disiapkan dengan cepat oleh kedua istrinya itu, ia segera memacu untanya untuk menyusul Rasulullah SAW. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan Umair bin Wahb al Jumahi yang juga ingin menyertai Rasulullah SAW, merekapun berjalan bersama. Ketika ia telah melihat rombongan pasukan yang sedang beristirahat di Tabuk, Abu Khaitsamah berkata kepada Umair, "Aku mempunyai kesalahan, karena itu tidak masalah jika engkau tertinggal dariku, sampai aku menemui Rasulullah SAW."

Umair memahami keinginannya itu, dan ia membiarkan Abu Khaitsamah memacu untanya lebih cepat untuk lebih dahulu menemui Rasulullah SAW. Parasahabat berkata kepada Nabi SAW, bahwa ada seseorang yang memacu untanya dengan cepat mendekati mereka. Beliau berkata, "Semoga ia adalah Abu Khaitsamah!!"

Ketika penunggang unta itu telah makin dekat, orang-orang membenarkan ucapan Rasulullah SAW tersebut. Setelah menambatkan untanya, Abu Khaitsamah mendekat dan memberi salam kepada Nabi SAW, beliau berkata kepadanya, "Celaka engkau, wahai Abu Khaitsamah!" 

Abu Khaitsamah meminta maaf dan menceritakan apa yang dialaminya, dan juga yang telah dilakukanya kepada keluarganya. Setelah penjelasannya tersebut beliau bersabda, “Itu adalah hal yang baik!"

Beliau juga mendoakan untuk kebaikan bagi Abu Khaitsamah.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Zaid al Khoir RA
Sa’ad bin Ubadah RA
Tsa'labah Bin Abdurrahman RA
Abdullah bin Amr bin Haram al Anshary RA
Habib Bin Zaid RA

Asma binti Yazid al Anshari RA

Asma binti Yazid seorang sahabiyah Anshar dari Suku Aus, kabilah Bani Abdul Asyhal. Ia masih keponakan Muadz bin Jabal, putri dari saudara sepupunya, Yazid bin Sakan. Ketika berba’iat memeluk Islam, ia mengenakan dua gelang emas yang cukup besar. Nabi SAW bersabda kepadanya, “Wahai Asma, lemparkanlah kedua gelang itu! Tidakkah engkau takut jika Allah akan memakaikan dua gelang api neraka di tanganmu?” 

Asma segera melepaskan keduanya, dan diserahkan kepada Nabi SAW untuk digunakan di jalan Allah.

Asma binti Yazid al Anshari RA pernah menghadap Nabi SAW untuk membawa keluhan kaum muslimah berkaitan dengan amaliah mereka. Mereka berpendapat bahwa kesibukan mereka mengurus anak dan suami serta tugas-tugas rumah tangga lainnya, nilai pahalanya begitu kecil dibanding dengan amalan kaum lelaki seperti shalat berjamaah, shalat Jum'at, mengantar jenazah dan lain-lain, terutama dibandingkan dengan jihad fi sabilillah, berjuang menegakkan dan membela agama Allah.

Nabi SAW mendengarkan dengan seksama apa yang disampaikan oleh Asma, kemudian beliau berpaling kepada para sahabat, dan berkata, "Wahai sahabat-sahabatku, pernahkan engkau dengar suatu pertanyaan yang lebih baik daripada pertanyaan wanita ini?"

"Wahai Rasulullah," Kata para sahabat, "Kami tidak menyangka seorang wanita bisa bertanya seperti itu!"

Nabi SAW berpaling lagi pada Asma dan bersabda, "Katakanlah kepada wanita-wanita muslimah yang mengutusmu, bahwa jika mereka berbuat baik kepada suaminya dan selalu menaatinya, melayaninya dengan baik dan selalu berusaha membuat mereka gembira, maka itu sangatlah berharga, dan mereka memperoleh pahala sama besarnya dengan pahala kaum lelaki."

Mendengar penjelasan Nabi SAW, Asma begitu gembira dan ia segera kembali menemui mereka untuk mengabarkan hal yang menggembirakan para wanita tersebut.

Asma dan beberapa wanita muslimah lainnya seringkali ikut terjun ke medan pertempuran, tentunya mereka berada di garis belakang untuk memberikan minuman dan juga mengobati mereka yang terluka, termasuk juga mengobarkan semangat para mujahidin. Tetapi dalam perang Yarmuk di masa Khalifah Umar bin Khaththab, Asma tidak cukup sabar berada di garis belakang. Ia melihat gelombang pasukan Romawi begitu besarnya, sehingga ia terbawa arus untuk ikut menyerang mereka. Ia tidak memperoleh apa-apa sebagai senjata, maka ia mengambil salah satu tiang penyangga tendanya dan mulai menyerang musuh. Dengan senjatanya itu ia berhasil membunuh sembilan orang tentara Romawi, walau tak urung ia juga memperoleh luka-luka yang parah di sekujur tubuhnya. Tetapi akhirnya ia sembuh dari luka-lukanya tersebut.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Shafiyyah Binti Abdul Muthalib RA
Khalid Bin Walid RA
Khadijah binti Khuwailid RA
Istri-Istri Rasulullah Saw
Saad bin Abi Waqqash RA

Ummu Walad RA

Hindun binti Amr bin Haram, atau lebih dikenal dengan nama Ummu Walad adalah istri dari Amr bin Jamuh, seorang sahabat dan pemuka dari bani Salimah yang kakinya pincang. Sahabiyah Rasulullah SAW ini ikut serta ke Perang Uhud bersama tiga orang yang disayanginya, suaminya, Amr bin Jamuh, anaknya Walad bin Amr dan saudaranya Abdullah. Suaminya itu sempat dilarang Nabi SAW ikut serta karena keadaan kakinya yang pincang. Beliau menyatakan ia diberikan rukhshah untuk tidak terjun dalam medan jihad.

Ketika kembali ke rumah, Ummu Walad berkata pada suaminya, "Aku tidak percaya mereka melarangmu mengikuti perjuangan ini. Wahai suamiku, tampaknya engkau takut menyertai pertempuran ini!!"

Mendengar penuturan Ummu Walad ini, Amr menghadap Nabi SAW dan memaksa untuk ikut, sehingga Nabi SAW akhirnya mengijinkan. Dan dalam perang Uhud tersebut, tiga orang kesayangannya itu gugur sebagai syuhada.

Usai peperangan, Ummu Walad membawa tiga jenazah tersebut di atas untanya, dan mengarahkannya menuju Madinah, tetapi unta ini tidak mau bergerak. Segala cara diupayakan walau dipukul-pukul tetap saja tidak bergeming. Nabi SAW berkata, "Sesungguhnya unta ini diperintahkan berlaku demikian. Apakah Amr mengatakan sesuatu ketika meninggalkan rumah?" 

"Benar, ya Rasulullah," Kata Ummu Walad, "Sebelum meninggalkan rumah untuk menyertai pertempuran ini, ia menghadapkan wajah ke kiblat dan berdoa agar tidak dikembalikan kepada keluarganya." 

Mendengar penjelasan ini, akhirnya Rasullullah SAW memakamkan tiga syuhada ini di bukit Uhud. Usai pemakaman mereka, Nabi SAW berkata pada Ummu Walad, "Wahai Hindun, mereka kini tengah berkasih-kasihan di surga."

"Ya Rasullullah, doakan kepada Allah agar aku bersama mereka." Kata Ummu Walad.

Nabi SAW mendoakan seperti yang dimintanya, dan Ummu Walad pulang dengan sukacita, walaupun kehilangan tiga orang yang dicintainya.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Seorang Raja Di Surga
Mu'adz bin Jabal RA
Khubaib bin Adi RA
Zaid bin Datsinah RA
Sa’adz bin Mu’adz RA

Abu Bashir RA

Abu Bashir RA adalah lelaki dari kalangan kaum Quraisy, ia memeluk Islam dan datang ke Madinah untuk tinggal bersama Nabi SAW sebagaimana umat Islam lainnya. Tetapi kehadirannya di Madinah ini setelah disetujuinya Perjanjian Hudaibiyah, maka tak lama berselang datang dua orang utusan dari Kaum Quraisy untuk membawa Abu Bashir kembali ke Makkah. Hal itu memang merupakan salah satu butir Perjanjian Hudaibiyah. Mereka berkata kepada Nabi SAW, "Penuhilah perjanjian yang telah engkau buat di antara kita!" 

Seperti halnya atas Abu Jandal, Rasulullah SAW terpaksa merelakannya dibawa kembali oleh dua utusan tersebut sesuai dengan perjnajian yang beliau sepakati. Abu Bashir pun dibawa keduanya keluar dari Madinah. Ketika sampai di Dzul Khulaifah, mereka berhenti untuk beristirahat dan memakan perbekalannya.

Abu Bashir sadar, apa yang akan dialaminya jika sampai tiba di Makkah dan berada di tangan pembesar-pembesar Quraisy, tentunya siksaan demi siksaan untuk membuatnya kembali ke agama jahiliahnya. Maka ketika ia melihat ada peluang untuk lepas dari dua orang ini, maka ia melakukan suatu muslihat. Abu Bashir berkata sambil memuji salah satu dari mereka, "Demi Allah, wahai Fulan, sungguh amat bagus pedangmu itu…!"

Sepertinya orang ini termakan oleh umpan Abu Bashir, ia mengeluarkan pedangnya tersebut dan menghunusnya dengan bangga seraya berkata, "Tentu saja, bahkan aku telah mencobanya dan terus mencobanya!" 

"Sungguh bagus!! Bolehkan aku melihatnya!" Kata Abu Bashir.

Tanpa sadar apa yang akan dihadapinya, lelaki ini menyerahkan pedangnya kepada Abu Bashir. Begitu pedang berada di tangannya, ia memukul lelaki tersebut dengan pedangnya sendiri hingga tewas. Melihat kiprah Abu Bashir itu, temannya segera berlari balik ke Madinah, ia menuju ke masjid dan meminta perlindungan kepada Nabi SAW, sedang Abu Bashir mengejar di belakangnya. Ketika Nabi SAW melihatnya, beliau bersabda, "Tampaknya lelaki ini telah melihat sesuatu yang amat menakutkannya…!"

Di hadapan Nabi SAW, lelaki Quraisy itu berkata, "Sesungguhnya sahabatku telah dibunuh oleh Abu Bashir dan akupun akan dibunuhnya pula…"

Tak lama berselang Abu Bashir tiba di Masjid, ia berkata kepada Nabi SAW, "Wahai Rasulullah, demi Allah, sesungguhnya Allah telah menyempurnakan perjanjianmu, engkau telah mengembalikan aku kepada mereka, tetapi Allah telah menyelamatkan aku dari mereka."

Tetapi Nabi SAW bersabda, "Celakalah ibu dari orang yang telah menyalakan api peperangan, kalau saja ada seseorang baginya…!" 

Mendengar sabda Nabi SAW ini, tahulah Abu Bashir bahwa tidak bisa tidak, beliau masih akan mengembalikannya kepada orang Quraisy sesuai perjanjian yang berlaku. Tetapi di sisi lain, ia merasa Rasulullah SAW tidak menyalahkannya, justru mengkhawatirkan dirinya karena ia hanya sendirian. Maka ia memutuskan untuk menyembunyikan diri di daerah pesisir pantai. Setelah mengucap salam dan pamit kepada Nabi SAW, ia segera pergi meninggalkan Madinah.

Tak lama berselang Abu Jandal bin Suhail bin Amr pun lepas dari kekangan ayah dan keluarganya. Belajar dari pengalaman Abu Bashir yang ceritanya telah menyebar di Makkah, ia tidak lari ke Madinah, tetapi bergabung dengan Abu Bashir di pesisir pantai. Maka setiap ada orang muslim yang lolos dari Makkah, mereka tidak lagi ke Madinah tetapi bergabung bersama Abu Bashir dan Abu Jandal di pesisir pantai. Jumlah mereka terus bertambah hingga mencapai satu 'isbahah (antara 10 - 40 orang).

Dengan kekuatan kelompok yang dimilikinya dan semangat untuk membela panji-panji keimanan dan keislaman, Abu Bashir dan sahabat-sahabatnya selalu menghadang kafilah dagang Quraisy yang berjalan menuju Syam, karena tempat tersebut memang terletak antara Makkah dan Syam. Dengan keadaan ini, kafilah dagang kaum Quraisy berkali-kali mengalami kegagalan, bahkan merugi karena dirampas oleh kelompok Abu Bashir.

Untuk mengatasi masalah tersebut, orang-orang Quraisy mengirim utusan kepada Nabi SAW di Madinah, meminta beliau, atas nama Allah dan kekerabatan mereka, agar melarang kelompok Abu Bashir mengganggu kafilah dagang mereka, dan memanggilnya kembali ke Madinah. Ini artinya, mereka membatalkan sendiri perjanjian Hudaibiyah. Maka kelompok Abu Bashirpun bergabung bersama Nabi SAW dan orang-orang muslim lainnya di Madinah.

Sebagian riwayat menyebutkan, setelah menerima surat Rasulullah SAW agar kelompoknya itu kembali ke Madinah, Abu Bashir sakit dan akhirnya meninggal sebelum sempat bertemu lagi dengan beliau.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Khubaib bin Adi RA
Zaid bin Datsinah RA
Sa’adz bin Mu’adz RA
Ghitrif & Ghatafan bin Sahl, Urwah bin Abdullah R.Hum
Ibnu Nathur, Uskup Kota Iliya, Romawi

Abu Dujanah RA

Sebelum perang Uhud dimulai, Nabi Muhammad SAW bermaksud menggelorakan semangat pasukannya. Beliau mengangkat pedang tinggi-tinggi, serasa berkata, "Siapakah di antara kalian yang ingin memegang pedang ini, dan memberikan sesuatu yang pantas baginya?"

Selesai Rasulullah SAW bersabda, kontan satu dua orang di antara pasukan segera ke depan. Salah satu di antaranya bernama Abu Dujanah, seorang lelaki pemberani sekaligus taat kepada Allah. Dia bertanya, "Wahai Rasul, apa yang patut bagi pedang ini, dan bagaimana kami dapat memberikannya?"

Nabi Muhammad SAW menjawab, "Anda memanfaatkan untuk bertempur sampai pedang ini melengkung." Mendengar jawaban itu, Abu Dujanah dengan sigap menyambut mantap, "Saya bersedia membayarkan yang patut baginya." Dujanah pun lantas mengikatkan kain "sapu tangan kematian" di kepala. Ia berjalan seperti harimau, bukan karena sombong dan arogan, tapi akibat gembira diberi kehormatan menggenggam pedang "kepercayaan" yang diulurkan Rasulullah SAW.

Dengan berbekal tekad untuk berjuang sampai titik darah penghabisan dan dengan ba'iat untuk bertempur sampai titik akhir kehidupan, selama pertempuran Abu Dujanah akhirnya menempatkan diri tak jauh dari Rasulullah SAW. Pedang berkelebat kiri kanan memangsa nyawa manusia. Dengan gigih ia menjadikan tubuhnya sebagai perisai hidup bagi Rasulullah SAW. Banyak anak panah menancap di punggung. Namun, seolah tiada dirasa atau barangkali tidak terasa, kalah oleh rasa cintanya kepada Rasulullah SAW dan kerinduannya kepada Syahadah.

Suatu kali, akibat pasukan panah melanggar perintah Nabi Muhammad SAW, kekuatan Islam terbalik menjadi tersudutkan. Sebagian malah ada yang mundur, melarikan diri. Sedangkan, Rasulullah SAW bersama Ali telah dikepung rapat oleh pasukan Quraisy. Abu Dujanah juga kewalahan menghadapi musuh yang merangsek kesetanan. Saat itulah, mata Rasulullah SAW jatuh pada Abu Dujanah, yang setengah mati berusaha melindungi Rasulullah SAW. Darah mengucur hampir menutup setiap senti tubuhnya. Melihat kondisi Abu Dujanah yang tampak payah, Rasulullah SAW bicara keras, "Wahai Abu Dujanah! Saya membebaskan anda dari ba'iat. Biarkan Ali saja yang tinggal bersama saya. Sebab Ali adalah dari saya, dan saya dari Ali."

Mendengar pernyataan Rasulullah SAW, Abu Dujanah bukan gembira lega akibat lepas dari belenggu ba'iatnya. Dia malah menangis sedih seraya berkata, "Wahai Rasul, kemana saya harus pergi? Haruskah saya pergi ke rumah yang pada akhirnya pasti akan runtuh? Mestikah saya pergi kepada istri, yang pada akhirnya nanti pasti akan mati? Perlukah saya lari kepada harta dan kekayaan yang pada gilirannya juga akan musnah? Haruskah saya lari dari maut yang suatu saat pasti akan datang?" Ketika melihat air mata bercucuran membasahi pipi Dujanah, Rasulullah SAW mengijinkan bertempur bersamanya. Abu Dujanah dan Ali akhirnya tetap bersama melindungi Rasulullah SAW dari serangan dahsyat pasukan Quraisy.

Hikmah dari Kisah Abu Dujanah
Nabi Muhammad SAW memang seorang panglima yang canggih dalam mengatur strategi, cerdas dalam membangkitkan "emosi", dan lihai dalam membangun militansi. Beliau memang cerdas, sesuai dengan sifat wajib yang ada padanya: fathonah alias pintar. Proses membangun militansi Abu Dujanah hanya melalui simbolitas pedang adalah contoh yang sangat apik (baik), satu dari sekian cara yang pernah diperlihatkan Rasulullah.

Dengan kepercayaan "simbolitas" menerima pedang dari Rasulullah, militansi Abu Dujanah meluao persis bak banteng ketaton (terluka) tak takut mati. Ia telah mendapat kepercayaan apalagi dari utusan Ilahi. Siapapun orangnya yang memperoleh kepercayaan, berarti ia telah diperhitungkan. Siapapun yang diperhitungkan, berarti ia mendapatkan kehormatan. Dan, siapa pun yang mendapat kehormatan, ia akan menjaga kredibilitas dan kualitas sesuai dengan kehormatan yang diberikan.

Penberian kehormatan merupakan stimulus terkuat dalam membangun sebuah sikap dan image apapun alasannya. Penghormatan bernuansa Ilahi, menstimulasi semangat juang yang juga bernuansa Ilahi. Hal inilah yang menyebabkan seseorang menjadi tak takut mati. Itulah yang dialami Abu Dujanah.

Baca Juga Kisah Sahabat nabi :
Ja’far bin Abu Thalib RA
Zaid bin Haritsah RA
Abu Ubaidah bin Jarrah RA
Ubadah bin Shamit RA
Ammar bin Yasir RA

Dhimad al Azdy RA

Dhimad adalah lelaki dari Azd Syanu'ah, salah satu suku dari Yaman, yang mempunyai keahlian mengobati penyakit gila atau gangguan jin. Ketika ia sedang umrah di Makkah, ia sempat duduk di dalam majelis dimana di dalamnya ada Abu Jahal, Utbah bin Rabiah dan Umayyah bin Khallaf. Abu Jahal menyebut nama Muhammad yang dianggapnya sebagai pemecah belah persatuan, menganggap bodoh akal orang-orang kafir Quraisy, menuduh sesat orang-orang terdahulu yang meninggal dan memaki berhala-berhala sembahan mereka. Umayyah menimpali kalau Muhammad telah terkena penyakit gila.

Sebagai orang yang memiliki keahlian mengobati penyakit gila dan gangguan jin, Dhimad merasa terpanggil mendengar informasi tersebut, ia-pun berusaha menemui Rasullullah SAW. Tetapi baru keesokan harinya ia menemukan Nabi SAW duduk di belakang maqam Ibrahim sedang shalat. Seusai shalat, iapun mengemukakan apa yang didengarnya dari orang-orang Quraisy tersebut dan maksudnya untuk mengobati. Dhimad berkata, "Tidak ada seorangpun yang berbuat demikian, kecuali orang yang terkena gangguan jin!"

Mendengar ucapan yang bersifat menuduh tersebut, Rasullullah SAW bersabda, "Segala pujian hanya milik Allah SWT, aku memuji-Nya dan memohon pertolongan-Nya, beriman kepada-Nya dan bertawakkal kepada-Nya. Barang siapa yang diberi petunjuk Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Barang siapa yang disesatkan-Nya, maka tidak ada yang bisa memberinya petunjuk. Dan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya."

Dhimad terpesona mendengar perkataan Rasullullah SAW. Sebagai seorang yang terpelajar, ia mengetahui bahwa perkataan seperti bukanlah perkataan yang biasanya dilontarkan para penyair. Ia meminta beliau mengulangi perkataan itu beberapa kali dan Nabi SAW memenuhi permintaannya dengan sabar. Kemudian ia bertanya, "Kepada apakah engkau menyeru? Dan apa yang kuperoleh bila aku melakukannya?"

Nabi SAW menjawab, “Aku mengajakmu untuk beriman kepada Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, kamu tinggalkan berhala-berhala dari tengkukmu, dan engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah. Dan ganjaran untukmu adalah surga."

Serta merta Dhimad-pun menyambut seruan itu dan masuk Islam. Ia tinggal selama beberapa hari bersama Rasullullah SAW hingga mengetahui cukup banyak surah dari Qur'an, dan kemudian kembali kepada kaumnya.

Beberapa waktu berselang setelah Rasullullah SAW sudah di Madinah, beliau mengirim sepasukan jamaah jihad di daerah Yaman. Di suatu daerah, pasukan tersebut memperoleh ghanimah 20 ekor unta, Ali bin Abi Thalib yang memimpin pasukan, kemudian mengetahui kalau daerah itu adalah daerahnya Dhimad al Azdy, maka ia menyuruh pasukannya untuk mengembalikan ghanimah tersebut, walau tidak bertemu secara langsung dengan Dhimad.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Muawiyah bin Abu Sufyan RA
Seorang Penanya Hari Kiamat
Hudzaifah Ibnul Yaman RA
Najasyi, Raja Habasyah
Abdullah bin Mas'ud RA

Utsman bin Mazh'un RA

Tokoh yang satu ini termasuk kelompok yang pertama masuk Islam, yakni pada urutan yang keempatbelas. Baliau termasuk orang yang pertama juga dari kaum Muhajirin yang hijrah ke Madinah dan sekaligus menjadi orang pertama yang wafat di Medinah, karenanya menjadi yang pertama pula dari ummat Islam yang dikuburkan di Baqi.

Beliau dikenal sebagai orang yang suci dan punya kepribadian dan hati yang suci dalam beribadah kepada Allah SWT. Beliau suci bukan karena mengucilkan diri ('Uzlah) jauh dari kehidupan yang bisa mengantarkan orang kepada kesesatan, tapi suci di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang jahil. Corak kehidupannya sangat berbeda dengan konsep hidup kaum sufi pada umumnya yang sebagian mereka berpendapat atau memiliki prinsip "Uzlah" untuk mengambil sikap mengasingkan diri dari kelompok masyarakatnya yang tidak sejalan dengan prinsip hidup seorang mu'min.

Paling tidak, ada "dua" pola pendekatan yang berbeda yang dilakukan oleh umumnya orang Islam dan kelompok Sufi. Keduanya tentu saja sama-sama hidup di jalan Allah, namun dengan "Manhaj"(Metoda) yang agak berbeda dalam mengartikan "Uzlah". Di mana yang satu mengartikannya dengan mengasingkan diri, atau hijrah dari sebuah kondisi masyarakat yang tidak kondusif untuk berkembangnya keimanan dan kesholehan seseorang. Namun, sementara yang lain tidak sependapat dengan pemaknaan "Uzlah" seperti itu.

Yang paling menonjol dari diri Utsman bin Mazh'un adalah "Mujahadah"nya, yakni upaya yang sungguh-sungguh untuk hidup di jalan Allah dengan melakukan semua yang dicintai Allah dan meninggalkan segala yang dibenci-Nya dan untuk itu beliau tidak pernah mengasingkan diri dari masyarakat, sebaliknya beliau senantiasa siap menghadapi segala resiko yang terjadi termasuk siap menghadapi siksaan yang sudah biasa dihadapi oleh orang-orang yang baru masuk Islam. Kala itu beliau hadapi segala macam siksaan dengan kesabaran dan tidak pernah berniat sedikit pun untuk lari dari kondisi yang dialaminya.

Beliau baru mau berhijrah ke Habsy setelah Rasulullah Saw memerintahkan Utsman dan para sahabat yang lain meninggalkan Mekah yang sangat tidak kondusif bagi orang-orang mu'min saat itu. Mereka pun berhijrah lalu menemukan lingkungan di Habsyi yang membuat mereka merasa aman dan nyaman serta bisa meninggalkan lingkungan para penyembah berhala yang telah membuat mereka "muak" melihatnya. Di Habsyi mereka hidup di lingkungan orang-orang Nasrani. Kedatangan mereka dimanfaatkan oleh orang-orang Nasrani untuk mendakwahi dengan maksud agar orang-orang muslim masuk dalam keyakinan mereka. Para sahabat yang hijrah ke Habsyi di bawah pimpinan Utsman bin Mazh'un, tidak mungkin mengikuti ajakan mereka lari dari satu kekufuran lalu masuk ke dalam kekufuran yang lain, keluar dari kesesatan yang satu lalu masuk ke dalam kesesatan yang lain. Karena mereka yakin, "Hanya Islamlah satu-satunya agama yang benar" (QS. Ali Imran, 3:19;85)

Ketika mereka sedang menikmati kehidupan yang tenang dan nyaman dalam beribadah dan mempelajari Al Qur'an, tiba-tiba muncul berita bahwa di Mekah, orang orang Quraisy dan para tokohnya telah masuk Islam. Berita yang cukup menggembirakan ini menjadikan mereka ingin sekali segera kembali ke Mekah dan mereka pun segera bersiap-siap. Namun, pada saat akan memasuki Mekah, arulah mereka menyadari, bahwa berita tersebut hanya fitnah dan tipu daya belaka sehingga membuat Utsman dan para sahabat betul-betul merasa terpukul atas kecerobohan mereka yang tidak menyelidiki dulu kebenaran berita tersebut. Padahal, mereka saat itu sudah berada di pintu masuk kota Mekah. Sementara itu orang-orang musyirikin yang mendengar akan kehadiran mereka yang dianggap "buronan" menyambut berita tersebut dengan suka cita. Bagi orang-orang musyirikin, Utsman dan para sahabat yang mau menegakkan kebenaran dianggap "buronan".

Di masyarakat Arab Jahilliyyah saat itu berlaku sistim perlindungan, di mana setiap orang bisa mencari pelindung yang tentu saja dari tokoh Quraisy yang disegani. Menyikapi situasi dan kondisi tersebut, Utsman dan para sahabat berupaya mencari perlindungan. Namun tidak semuanya berhasil. Salah satu yang berhasil adalah Utsman bin Mazh'un yang mendapat perlindungan dari Walid bin Mughirah, seorang tokoh musyirikin Quraisy yang disegani. Karena mendapat perlindungan dari Walid, maka Utsman bin Mazh'un bebas masuk ke Mekah dengan tenang, tidak ada yang berani mengganggu karena Walid sudah mengumumkan di depan masjid bahwa Utsman ada dalam perlindungannya.

Mendapat perlindungan dari Walid sebenarnya hati Utsman kemudian menjadi sangat tidak tenang, pada saat beliau melihat saudara-saudaranya yang miskin dan lemah tidak menemukan orang untuk melindungi mereka, sehingga mereka harus menerima siksaan yang tidak tertahankan. Melihat saudara-saudaranya hidup dalam penderitaan, batin Utsman bin Mazh'un tidak rela. Akhirnya beliau memutuskan menemui Walid bin Muqhirah untuk menyatakan keinginannya melepaskan diri. Kisahnya dapat diikuti sebagaimana diriwayatkan oleh seorang sahabat: "Ketika Utsman bin Mazh'un melihat beberapa sahabat Rasul mengalami penderitaan yang sangat luar biasa, sementara ia aman dalam perlindungan Walid bin Mughirah, lalu ia berkata dalam hatinya, Demi Allah, sesungguhnya saat ini aku sedang berlindung kepada musuh Allah, sementara sahabat-sahabatku merasakan berbagai azab dan siksaan, maka ia pun segera menemui Walid bin Mughirah dan berkata: "Wahai Abu Abdi Syams (Walid), bebaskan aku dari perlindunganmu! Berkata Walid: Kenapa wahai anak pamanku? Sementara orang lain susah mencari pelindung kau malah minta dibebaskan dari perlindunganku, jika kulepaskan maka boleh jadi kau akan disiksa oleh kaumku. Jawab Utsman: "Tidak, aku lebih suka ada di dalam perlindungan Allah. Pergilah kau ke depan masjid umumkanlah bahwa kau sudah tidak lagi melindungi aku sebagaimana kau dulu mengumumkan perlindungan terhadapku. Lalumereka berdua pun pergi ke halaman masjid. Walid berkata, ini adalah Utsman, dia datang menemuiku untuk membebaskan dirinya dari perlindunganku. Utsman menanggapi pernyataan Walid dengan menyatakan: "Benar yang diucapkan Walid. Dia betul orang yang selama ini bertanggung jawab melindungiku, tetapi aku lebih suka untuk dilindungi oleh Allah dan aku tidak pernah sudi lagi untuk dilindungi oleh orang-orang yang dibenci oleh Allah SWT.

Dapat kitaambil pelajaran bahwa Utsman sempat mengambil langkah yang kurang tepat, karena sesungguhnya yang tepat sebagai pelindung hanyalah Allah SWT. Karenanya ketika turun ayat 255 surah Al Baqarah, Rasul Saw segera memerintahkan kepada para sahabat yang selama ini menjadi pengawal Rasul: "Wahai saudara-saudaraku, pergilah kalian sekarang jangan lagi kalian mengawalku karena sudah ada yang mengawalku, Allah SWT".

Usai proses pelepasan perlindungan dari Walid, beliau menghadiri sebuah majelis orang-orang Quraisy yang sedang dipimpin oleh Lubaid bin Rabi'ah. Di dalam majelis tersebut, Lubaid bin Rabi'ah berkata: "Bukankah segala sesuatu selain Allah itu adalah hampa tidak ada nilainya sama sekali di sisi Allah?". Kata Utsman:"Benar, apa yang kau katakan wahai Lubaid. Kata Lubaid pula: "Bukankah setiap kenikmatan suatu saat akan sirna". Utsman menimpali pernyataan Lubaid:"Bohong, nikmat syurga tidak akan pernah sirna selama-lamanya, semua kenikmatandunia benar akan sirna tapi ada kenikmatan syurga yang tidak kalian yakini, tidak akan sirna selama-lamanya. Lubaid merasa terpotong dan terhina dengan ungkapan tersebut, padahal ia seorang tokoh Quraisy yang disegani. Lalu ia mengatakan: "Wahai kaum Quraisy, demi tuhan pernahkah kalian meliha seseorang menghinaku dalam majelis seperti ini?". Salah seorang yang hadir di dalam majelis mengatkan:"Orang yang baru bicara ini adalah orang tolol yng baru saja meninggalkan agama nenek moyang kita, maka jangan digubris ucapannya".

Sejarah berulang, setiap orang yang akan kembali menegakkan ajaran Allah disebut tolol, bodoh atau idiot oleh orang-orangsesat. Padahal, yang bodoh menurut Allah adalah mereka yang tersirat dan tersurat dalam ayat 179 surah Al A'raaf, yang diantaranya adalah mereka yang memiliki akal namun tidak dipergunakan untuk berfikir di jalan Allah SWT. Utsman bin Mamh'un, menanggapi pernyataan orang tersebut sehingga terjadilah perang mulut di antara mereka, yang bersangkutan lalu berdiri dan memukul salah satu mata Utsman. Melihat kejadian tersebut, Walid bin Mughirah berkata :"demi tuhan wahai keponakanku, jika matamu itu kebal, kau pantas untuk melepaskan tanggungan dariku, tapi kau sudah melepaskan tanggungan itu maka aku tidak akan membelamu. Utsman berkata: "Demi Allah, sesungguhnya mataku yang satu lagi sangat membutuhkan apa yang dialami oleh mataku yang sebelah karena dianiaya di jalan Allah. Walid berkata: "Jika kau mau, aku masih siap untuk menjadi pelindungmu. Jawab Utsman: "Tidak, tidak untuk selama-lamanya!".

Pergilah Utsman dengan sebelah matanya yang sakit, tetapi ia begitu luar biasa terbebas jiwanya karena ia sekarang sedang berlindung kepada Allah SWT. Suatu ketika, Rasul memerintahkan para sahabat untuk hijrah ke Medinah dan termasuklah diataranya Utsman. Di Medinah mereka bisa merasakan kekhusyuan beribadah dan kembali kesucian pribadi Utsman nampak kembali tergambar dalam hidup kesehariannya. Ia menjadi "Rahib" (orang suci) yang menghabiskan malamnya untuk beribadah dan siangnya bekerja keras, lalu terkadang malam dan siang dipakai untuk beribadah atau malam dan siang untuk berjuang termasuk berperang menghadapi orang-orang musyirikin.

utsman punya keistimewaan tersendiri dalam ber-"Zuhud", hidupnya benar-benar-benar jauh dari kenikmatan dunia, beliau lebih suka memakai pakaian yang kasar dan tidak mengganti pakaian dan beliau tidak makan, kecuali makanan yang sangat sederhana. Pada suatu saat beliau masuk ke dalam masjid yang saat itu Rasul dan para sahabat sedang duduk-duduk, beliau masuk dengan memakai pakaian yang sangat tidak layak dipakai, melihat kondisi beliau, Rasul pun tersentuh hatinya, sementara para sahabat yang menyaksikan malah mengalirkan air mata. Beliau beribadah ternyata bukan hanya dengan meninggalkan kenikmatan dunia dalam arti makan, minum dan berpakaian, tapi pernah juga berniat untuk menjauhi istrinya. Ketika berita ini sampai kepada Rasul, maka Rasul mun menegur beliau dengan mengatakan: "Istrimu punya hak darimu".

Keinginan beliau senantiasa ber-"Mujahadah" inilah yang membuat Rasul sangat mencintai beliau. Karena ketika ruhnya yang suci hendak meninggalkan jasad menuju ke hadirat Allah SWT, Rasul pun berada disampingnya mendampingi sampai akhir hayatnya. Dan ketika utsman bin Mazh'un akhirnya meninggalkan alam dunia ini, Rasul menundukkan kepalanya dan mencium kening memenuhi wajah Utsman dengan air mata. Dengan iringan doa beliau; "Semoga Allah merahmatimu, wahai Utsman, kau tinggalkan alam dunia ini tidak pernah kau ambil sedikitpun keuntungan darinya, dan dunia pun tidak pernah dirugikan oleh sebab kehadiranmu".

Rasul tidak pernah melupakan orang yang sangat dicintainya, sepeninggal Utsman beliau selalu ingat dan memujinya di depan para sahabt, sehingga diriwayatkan saat putri Rasul, Rukayah akan meninggal dunia, Rasul berkata kepada putrinya:"Temuilah segera di alam barzah (Utsman bin Mazh'un) orang yang sangat baik dan mulia di sisi Allah SWT".

Syuja' bin Wahb RA

Syuja' bin Wahb al Asadi diperintahkan Rasullullah SAW untuk menyampaikan surat kepada Kisra, Raja Persia, yang berisi ajakan untuk masuk agama Islam. Ketika sampai di Persia, Kisra 

mengumpulkan para pembesarnya di aula istana yang telah dihias untuk menyambut utusan Nabi SAW. Syuja' diijinkan masuk aula istana Kisra, dan seseorang diminta untuk mengambil surat Nabi SAW tersebut dari tangan Syuja', tetapi Syuja menolaknya, ia berkata tegas, "Aku diperintahkan Rasulullah SAW untuk menyerahkan surat ini langsung ke tanganmu!"

Setelah diijinkan, ia mendekati Kisra dan menyerahkan surat tersebut. Kisra memerintahkan juru tulisnya yang berasal dari kota Hiirah, yang mengerti bahasa Arab untuk membaca surat tersebut, sekaligus menerjemahkannya. Ketika awal surat yang berbunyi, "Dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya, kepada Kisra, Raja Persia…!"

Kisra langsung berteriak marah. Ia tersinggung karena nama Nabi SAW disebutkan terlebih dahulu daripada namanya sebagai Raja Persia. Diambilnya surattersebut dari tangan jurutulisnya dan ia merobek-robeknya. Dengan marah pula ia mengusir Syuja' dari aula istana Kisra.

Melihat situasi yang memanas tersebut, Syuja'-pun bergegas keluar dan menaiki kendaraannya, kemudian memacunya agar secepat-cepatnya pergi dari tempat itu. Ia berkata, "Demi Allah aku tidak perduli akan berada dimana dari dua jalan ini, karena aku telah menyampaikan surat Rasulullah SAW kepada Kisra."

Setelah sampai di hadapan Rasulullah SAW, Syuja' menceritakan apa yang terjadi, dan beliau bersabda, "Sebenarnya Kisra telah mengoyak-koyak kerajaannya sendiri, sebagaimana ia merobek-robek suratku."

Beberapa waktu setelah itu, sebenarnya Kisra memerintahkan orang-orangnya untuk memanggil Syuja' untuk menghadapnya lagi, tetapi Syuja' tidak tersusul. Kisra memerintahkan wakilnya di Yaman, Badzan untuk mengirimkan dua orang menemui Nabi SAW, dan memerintahkan Beliau untuk menghadap Kisra. Ketika dua orang utusan yang bernama Abanauah dan Jadd Jamirah ini sampai di Madinah dan menghadap Nabi SAW, beliau menyuruh mereka beristirahat dahulu dan menemui beliau lagi esok harinya. Dalam pertemuan keesokan harinya itu, Nabi SAW mengabarkan bahwa Allah telah membinasakan Kisra, dan membuat putranya yang bernama Syiruyah mengalahkan dan membunuhnya.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Suwaid bin Shamit RA
Anas bin Abu Martsad al Ghanawi RA
Abdullah bin Atik RA
Dhamrah bin Ibnul Ishaq RA
Amr Bin Tsabit Al Waqsy (Al Ushairim) RA

Said Bin Zaid RA