Sunday, March 19, 2017

Huwaithib bin Abdul Uzza RA

Huwaithib bin Abdul Uzza adalah salah seorang pembesar Quraisy. Ketika mengikuti perang Badar di pihak kaum musyrikin, sebenarnya ia telah melihat suatu i'tibar bagaimana seribu pasukannya yang bersenjata dan perbekalan lebih lengkap dikalahkan oleh 313 orang muslim dengan persenjataan dan perbekalan seadanya, bahkan hanya dua orang yang menunggang kuda. Saat itu ia melihat gambaran, bagaimana malaikat yang bergerak di antara langit dan bumi berkelebat menyerang, menangkap dan menawan kawan-kawannya, sehingga terbersit dalam hatinya ucapan, "Orang itu (Nabi Muhammad SAW) adalah lelaki yang terpelihara…!" 

Huwaithib tidak menceritakan apa yang dilihatnya ini pada siapapun, tetapi hal itu tidak juga membuka hatinya untuk memeluk Islam. Bahkan sampai selesainya perjanjian Hudaibiyah, dimana makin banyak orang-orang Quraisy yang mengikuti Islam, baik kalangan biasa ataupun tokoh-tokohnya, ia belum tergerak juga untuk mengikuti jejak mereka. 

Pada saat Nabi SAW dan sahabatnya melaksanakan umrah Qadhiyyah (umrah qadha'), umrah pengganti karena saat perjanjian Hudaibiyah itu gagal/terhalang, setahun setelah perjanjian Hudaibiyah, Huwaithib bersama Suhail bin Amr ditugaskan untuk mengusir Nabi SAW dan kaum muslimin dari Makkah jika waktunya telah habis. 

Setelah tiga hari berlalu sesuai dengan waktu yang diberikan kaum Quraisy, Huwaithib dan Suhail menemui Nabi SAW , dan berkata, "Waktu yang menjadi syaratmu telah selesai, maka keluarlah engkau dari negeri kami ini…!" 

Nabi SAW berkata kepada Bilal untuk mengumumkan kepada umat Islam lainnya, "Hai Bilal, hendaknya tidak ada seorangpun yang turut bersama kita ke Makkah, yang masih ada di sini sebelum matahari terbenam." 

Kemenangan Nabi SAW dan kaum muslimin saat Fathul Makkah membuat Huwaithib ketakutan, ia mengungsikan keluarganya ke berbagai tempat yang dianggapnya aman. Ketika berada di kebun bani Auf, ia bertemu dengan Abu Dzar al Ghiffary, ia berusaha lari, tetapi Abu Dzar justru memanggilnya dengan lembut, dan menanyakan keadaannya. Antara mereka berdua memang ada keakraban dan kasih sayang, karena itu ia tidak ragu untuk menghampiri Abu Dzar dan menyatakan ketakutannya akan dibunuh. Ia juga menceritakan kalau keluarganya telah diungsikan untuk keamanan mereka. 

Menanggapi kekhawatirannya itu, Abu Dzar mengatakan kalau sebenarnya dia dan penduduk Makkah lainnya aman dengan jaminan keselamatan dari Allah SWT, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW ketika memasuki kota Makkah. Abu Dzar juga meminta agar ia mengumpulkan lagi keluarganya dan kembali ke rumahnya, dan ia menyetujuinya. Sambil mengawal Huwaithib dan keluarganya, Abu Dzar terus berteriak, "Sesungguhnya Huwaithib telah diberi jaminan keselamatan, maka jangan seorangpun yang menyalakan api kemarahan kepadanya…" 

Setelah sampai di rumah Huwaithib, Abu Dzar segera pergi. Tetapi beberapa saat kemudian ia kembali lagi, dan mengatakan kalau ia menemui Nabi SAW dan menceritakan apa yang dilakukannya, dan Nabi SAW membenarkan tindakannya, Huwaithib jadi merasa tenang. Abu Dzar berkata kepadanya, "Wahai Abu Muhammad, sampai kapan kamu tetap begini? Kamu telah terlewat dari banyak peperangan, karenanya kamu terlewat dari banyak kebaikan. Temuilah Rasulullah SAW dan masuklah Islam, kamu pasti akan selamat. Sesungguhnya beliau adalah sebaik-baiknya manusia, paling lembut hati dan paling banyak menyambung silaturahmi di kalangan mereka. Kemuliaannya adalah kemuliaanmu, ketinggiannya adalah ketinggianmu." 

Huwaithib merenungi perjalanan hidupnya selama memusuhi Rasulullah SAW, dan perlakuan beliau selama ini, terutama setelah memperoleh kemenangan besar di Fathul Makkah itu. Akhirnya hati Huwaithib tergerak dengan saran Abu Dzar itu, ia minta diantarkan untuk menemui Nabi SAW. Mereka berdua mendapati Nabi SAW bersama Abu Bakar di Bathha'. Huwaithib menyampaikan salam seperti diajarkan oleh Abu Dzar, beliau menjawab salamnya, dan ia bersyahadat menyatakan keislamannya. Nabi SAW amat bersyukur dan gembira atas hidayah Allah yang membawanya memeluk Islam.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Sa’ad bin Ubadah RA
Rafi' Bin Amirah Bin Jabir RA
Wanita Pembawa Air
Harits bin Hisyam RA
Thufail Bin Amr Ad Dausi RA

Abbas bin Ubadah RA

Abbas bin Ubadah bin Nadhlah merupakan sahabat Anshar yang mula-mula memeluk Islam (as sabiqunal awwalun). Ia berasal dari Bani Sulaim bin Auf, Suku Khazraj dan termasuk salah satu dari duabelas orang yang berba'iat kepada Rasulullah di Aqabah yang pertama. Ia juga menyertai Ba'iatul Aqabah yang kedua, sebagai tonggak awal pembentukan negeri muslim di Madinah. 

Pada Ba’iatul Aqabah kedua itu, setelah Abul Haitsam berpidato kepada kaumnya, suku Aus, untuk menerima dan membela Nabi SAW, Abbas bin Ubadah juga berpidato kepada kaumnya, Suku Khazraj dengan ajakan yang sama. Antara lain ia berkata,"…jika kalian menyaksikan harta benda kalian musnah, dan orang-orang terhormat di antara kalian terbunuh, apakah kalian akan melemparkan beliau ke dalam kehancuran, dan tidak melindunginya dari musuh? Jika itu terjadi, maka Demi Allah, itu adalah kehinaan kalian di dunia dan di akhirat…. Bawalah beliau, korbankanlah harta kalian dan tidak mengapa orang-orang terhormat kalian terbunuh, karena demi Allah, itu akan menjadi kebaikan dunia dan akhirat." 

Prosesi Ba'iatul Aqabah kedua itu terjadi pada sepertiga malam yang terakhir pada salah satu hari tasyriq. Memang dipilih waktu yang sepi dan gelap untuk tidak diketahui oleh kaum kafir Quraisy. Tetapi setelah seluruh proses ba'iat itu selesai, ada seorang kafir yang memergoki kumpulan tersebut. Ia berteriak di tempat ketinggian, "Wahai orang-orang yang ada di dalam rumahnya, apakah kalian menghendaki Muhammad dan orang yang berkumpul bersamanya, yang telah keluar dari agama nenek moyangnya? Lihatlah, mereka berkumpul di tempat penggembalaan kalian…." 

"Demi Allah, ini krisis Aqabah... " Kata Nabi SAW. 

Mendengar ucapan Nabi SAW ini, Abbas bin Ubadah berkata, "Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, jika engkau berkenan, besok kami akan menghabisi penduduk Mina dengan pedang-pedang kami…." 

Tetapi Nabi SAW bersabda, "Kami tidak diperintahkan untuk itu, kembalilah kalian ke tenda kalian…!!" 

Mereka kembali ke tenda masing-masing dan tidur. Keesokan harinya, beberapa pembesar Quraisy datang ke perkemahan penduduk Yatsrib, dan menanyakan kebenaran peristiwa semalam. Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin rombongan haji dari Yatsrib, dengan tegas berkata, "Itu bohong, kaumku tidak mungkin bertindak secara lancang melangkahiku. Apapun yang dilakukan penduduk Yatsrib, mereka selalu meminta pertimbangan dariku…!!" 

Sementara itu, tujuhpuluh lebih orang yang telah memeluk Islam berbaur dengan yang lainnya, dan sama sekali tidak berkomentar apa-apa. Kaum Quraisy tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada bukti dan saksi yang menguatkan dugaannya tersebut. 

Inilah titik tolak awal bangkitnya Islam, dua suku terkuat di Madinah yang sebelumnya saling berperang bersedia berkorban untuk mendukung Nabi SAW. Dua tokohnya, Abbas bin Ubadah dari Khazraj dan Abul Haitsam at Tayyihan dari Aus, berhasil meyakinkan kaumnya untuk berdiri di belakang Nabi SAW demi menegakkan dan memenangkan Islam.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi:
Kultsum Bin Hikam RA
Amarah bin Hazm RA
Anas bin Nadhar RA
Syaddad Bin Aus RA
Wanita Tua dari Bani Adi bin Najjar

Adi bin Hatim RA

Adi bin Hatim adalah seorang penduduk di sekitar Madinah, tetapi ia tidak termasuk penganut agama jahiliah (penyembah berhala) seperti umumnya penduduk Madinah. Ketika ia mendengar Nabi SAW akan hijrah ke Madinah, ia sangat tidak menyukai hijrah beliau itu dengan kebencian yang amat mendalam. Karena itu ia pergi hingga sampai negeri sang kaisar yakni Romawi. Tetapi ternyata ia merasa lebih tidak senang dengan tempatnya itu, melebihi ketidak-sukaan akan hijrahnya Nabi SAW ke Madinah. 

Sementara di tempat lain, pasukan berkuda Nabi SAW menangkap beberapa orang, yang salah satunya adalah seorang wanita tua, yang masih bibinya Adi bin Hatim, yang hidup sendirian. Ketika dihadapkan kepada Nabi SAW, wanita tua itu berkata, "Wahai Nabi, sang duta berada jauh dari kami dan anak kami juga telah pergi, sedangkan aku wanita tua yang tidak punya pelayan, maka berbuat baiklah kepadaku, semoga Allah berbuat baik kepadamu pula." 

Ketika Nabi bertanya tentang siapa sang duta itu, Wanita itu menjawab, “Adi bin Hatim.” 

Ali bin Abi Thalib yang berada di sebelah Rasulullah SAW menyarankan wanita itu untuk meminta hewan tunggangan kepada Nabi SAW untuk mencari kerabatnya. Ia mengikuti saran Ali tersebut dan beliau memenuhinya. Kemudian wanita tua itu pergi mencari keberadaan keponakannya tersebut, yang ditemukannya di daerah Aqrab, termasuk wilayah Romawi. Ia berkata, "Sesungguhnya aku telah melakukan perbuatan yang belum pernah dilakukan ayahmu. Temuilah Nabi SAW itu, baik dengan berharap atau dengan takut. Sesungguhnya si fulan telah menemui beliau dan telah memperoleh sesuatu darinya, begitu juga dengan si fulan yang lain." 

Adi bin Hatim yang pada dasarnya sangat tidak suka dengan tempatnya di wilayah Romawi, memutuskan untuk kembali ke Madinah. Dipikirnya, kalau lelaki itu (yakni Nabi SAW) memang pendusta, ia tidak akan bisa memberinya mudharat sedikitpun. Tapi kalau lelaki itu benar, ia pasti akan mengenali kebenarannya. 

Adi bin Hatim menemui Nabi SAW di Madinah sesuai dengan saran bibinya. Beliau menyerunya kepada agama Islam, tetapi dijawab Adi menjawab, “Aku telah mempunyai agama!!” 

Mendengar jawabannya itu, Nabi SAW bersabda, “Aku lebih tahu tentang agamamu tersebut dibandingkan engkau sendiri!!” 

Adi bin Hatim keheranan dengan pernyataan beliau tersebut. Tentunya Nabi SAW telah memperoleh pemberitahuan dari Jibril tentang dirinya. Belum sempat Adi berkata apa-apa, beliau bersabda lagi, "Bukankah kamu berasal dari kalangan penganut Ar-Rukuusiyyah? Dan kamu memakan seperempat ghanimah (rampasan perang) dari kaummu, padahal itu haram menurut agamamu! Akupun tahu apa yang menghalangi kamu untuk memeluk Islam, engkau berkata bahwa orang-orang yang mengikutiku hanya orang-orang yang lemah, sedang orang-orang Arab sendiri telah mengusirku?" 

Ar-Rukuusiyyah adalah agama perpaduan antara Nashrani dan agama kaum Shabiin. Adi hanya bisa membenarkan apa yang disabdakan oleh Nabi SAW. 

Kemudian Rasulullah SAW bersabda lagi, "Apakah engkau tahu sebuah tempat bernama Hiirah? Demi Dzat Yang jiwaku di TanganNya, Allah akan menyempurnakan agama ini, hingga seorang wanita di Hiirah akan bepergian seorang diri dengan aman untuk thawaf di Baitullah. Begitupun Allah akan membuka perbendaharaan kekayaan Kisra bin Hurmuz, harta bendanya akan dibagi-bagikan, sehingga tiada seorangpun yang bersedia menerimanya." 

Seperti yang diyakininya, Adi ternyata mengenali kebenaran itu dan membawanya memeluk Islam, walaupun memang ia belum mengerti “ramalan” Nabi SAW tentang wanita dari Hiirah dan Kisra bin Hurmuz. Bisa dimaklumi, karena waktu itu sering terjadi perampokan kafilah-kafilah di perjalanan, dan yang paling sering dan paling ditakuti adalah perampokan yang menimpa wanita-wanita Hiirah. Sedang Kisra bin Hurmuz saat itu sedang berkuasa dengan kuatnya di Persia dan tentaranyapun sangat ditakuti negeri-negeri lainnya. Hanya Kaisar Romawi yang bisa mengimbangi kekuatannya. 

Waktu berlalu bertahun-tahun kemudian, suatu ketika Adi bin Hatim sedang thawaf di Ka'bah, dan ia melihat seorang wanita dari Hiirah, suatu kota tua di daerah Kufah, sedang thawaf sendiri tanpa pengawalan dan perlindungan seorangpun. Begitupun setelah Rasullullah SAW wafat, ia menyertai suatu pasukan yang mengalahkan tentara Persia, dan membuka harta kekayaan Kisra bin Hurmuz. 

Dua peristiwa masa depan yang disampaikan Rasulullah SAW ketika menyerunya memeluk Islam, ternyata ia mengalaminya sendiri, dan itu makin meneguhkan dan mempertebal keimanannya kepada Allah dan Rasulullah SAW.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Zaid al Khoir RA
Asma binti Yazid al Anshari RA
Utsman bin Mazh'un RA
Ka'ab bin Malik al Anshari RA
Auf bin Abu Hayyah al Ahmasi RA

Utsman bin Affan RA

Utsman bin Affan adalah seorang sahabat yang sangat menyayangi Allah SWT dan Rasulullah. Hal ini terlihat dari ketaatannya menjalankan perintah Allah SWT. Ia menggunakan malam hari untuk membaca Al-Quran, berdzikir, dan shalat malam. Tidak hanya dalam beribadah, Ustman juga banyak melakukan amal saleh untuk kemaslahatan umat. Ustman berasal dari keluarga yang kaya raya silsilah Bani Umayyah.

Ustman dikenal sebagai orang yang berakhlak mulia dan berpendidikan tinggi. Kelebihan-kelebihan pada diri Ustman tidak membuatnya sombong dan bersikap merendahkan orang lain. Setelah menginjak dewasa, Ustamn menjadi saudagar yang sukses. Dengan usahanya tersebut, Ustamn memiliki harta yang banyak. Sekalipun demikian, Ustman bukan seorang saudagar yang menumpuk harta tanpa memberikan sedekah. Ia banyak menyedekahkan harta untuk fakir miskin. Ia juga hidup sederhana. Ustman pernah menjamu banyak orang dengan hidangan yang lezat dan terlihat mewah, padahal dirumahnya ia hanya makan roti dengan minyak.

Pada masa Rasulullah masih hidup, pernah terjadi kekeringan yang menyebabkan sumur kaum muslim menjadi kering. Umat islam pun menjadi kekurangan air. Ketika itu, sebuah sumur milik orang Yahudi masih terdapat air. Kemudian, Rasulullah berkata, “Siapakah yang mau membeli sumur milik orang Yahudi itu ? Allah menyediakan surga bagi orang yang melakukannya”. Saat itu pula, Ustman berseru, “Ya Rasulullah, aku bersedia membeli sumur itu”. Dengan demikian, kaum muslim dapat memanfaatkan air yang ada di telaga itu. Kisah kedermawanan Ustman juga terjadi pada masa pemerintahan Abu Bakar ra. Ketika itu, penduduk Madinah pernah mengalami kelaparan karena terjadinya kekeringan yang panjang. Mereka mengadu kepada Khalifah mengenai nasib mereka. Khalifah Abu Bakar meminta mereka bersabar dan berharap Allah segera memberikan kemudahan.

Pada pagi hari, kafilah niaga Ustman bin Affan datang ke Madinah dengan membawa seribu unta. Unta-unta itu memuat bahan-bahan makanan yang dibutuhkan oleh penduduk Madinah. Para pedagang pun menemui Ustman bin Affan. Ustman menanyakan keuntungan yang akan diberikan oleh para pedagang kepadanya. Salah seorang pedagang menjawab bahwa harga barang satu dirham dibeli dengan harga dua dirham. Namun, Ustman menolaknya. Pedagang yang lain menawarkan harga yang lebih tinggi. Ustman tetap menolaknya. Para pedagang terus memberikan tawaran yang tinggi hingga harga menjadi berlipat-lipat. Para pedagang berkata, “Tidak ada pedagang yang memiliki kemampuan membeli seperti kami. Siapakah pedagang yang member keuntungan lebih besar dari pada kami ? Ustman berkata, “Allah mampu mmeberikan keuntungan berpuluh kali lipat”. Ternyata, Ustman bermaksud mmeberikan barang daganganya bagi penduduk miskin di Madinah sebagai sedekah. Pada hari itu, kebutuhan seluruh fakir miskin di Madinah tercukupi. 

Ustman Bin Affan Atau Dzun Nurain
Ustman bin Affan mendapat julukan Dzun Nurain yang artinya memiliki dua cahaya. Hal itu dikarenakan Ustman menikah dengan dua putrid Rasulullah. Keduanya adalah Ruqayah dan Ummu Kultsum. Pada awalnya, Ustman bin Affan menikah dengan Ruqayah. Ketika itu, Ruqayah telah bercerai dengan Utbah yang merupakan anak Abu Lahab. Perceraian antara Ruqayah dan Utbah merupakan desakan dari Abu Lahab dan isterinya.

Hal ini mereka lakukan untuk menghina atau merendahkan keluarga Rasulullah SAW. Setelah perceraian itu, Rasulullah menikahkan Ruqayah dengan Ustman yang berakhlak mulia. Saat di Madinah, Ruqayah sakit parah dan akhirnya meninggal. Ustman pun sangat sedih ditinggalkan oleh isteri yang sangat dicintainya. Selama Ruqayah sakit, Ustman merawat Ruqayah dengan sabar dan penuh kasih sayang. Kebetulan saat itu, Rasulullah menyeru umat Islam untuk berjihad memerangi musuh Allah. Ustman dihadapkan oleh dua pilihan yang sulit. Ia berkeinginan untuk ikut serta berjihad. Namun, ia tidak tega meninggalkan isterinya yang sedang sakit parah. Akhirnya, Rasulullah mengizinkan Ustamn tidak ikut berperang. Ia tetap mengurus Ruqayah dan menemaninya hingga ia wafat. Setelah itu, Rasulullah menikahkan Ustamn dengan adik Ruqayah, Ummu Kultsum. Pernikahan Ustman dan Ummu Kultsum tidak berlangsung lama karena Ummu Kultsum juga meninggal. 

Masa Kekhalifahan Ustman Bin Affan
Pada suatu masa, ketika Utsman bin Affan telah diangkat menjadi Khalifah ketiga menggantikan Umar bin Khattab yang terbunuh. Sebelum wafat, Umar telah menunjuk enam orang sahabat. Hasil musyawarah itu menunjuk Ustman bin Affan sebagai Khalifah. Pada masa kekhalifahannya, ajaran Islam telah tersebar luas. Ketika itu, ajaran Nabi Muhammad telah menyebar ke wilayah Kaukasus, Afrika, Sind (di Asia Selatan dan Pulau-pulau di sekitar Laut Mediterania). Pada saat menjabat sebagai Khalifah, Ustman juga melakukan perluasan Masjid Nabawi. Perluasan itu adalah yang pertama kali dilakukan. Ustman sendiri mengeluarkan dana sebesar 20.000 dirham untuk memperluas Masjid tersebut. Perluasan masjid itu dilakukan karena masjid sudah tidak dapat menampung jamaah yang melaksanakan shalat. Inilah beberapa keutamaan pada masa pemerintahan Khalifah Ustman Bin Affan. 

Pengumpulan Al-Quran Pada Masa Utsman Bin Affan
Pada suatu ketika, Hudzaifah bin Al-Yaman pulang dari perang di Armenia. Saat itu, ia merasa harus secepatnya menemui Ustman. Saat berhadapan dengan Ustman, Hudzaifah menyatakan kekhawatirannya tentang perbedaan cara membaca Al-Quran di kalangan umat di beberapa wilayah. Hudzaifah pernah mendapati umat muslim membaca Al-Quran disesuaikan dengan logat masing-masing wilayahnya. Hal itu menyebabkan perselisihan di antara mereka. Setelah mendapat laporan demikian, Ustman memutuskan untuk melakukan pengumpulan Al-Quran. Kebijakan Ustman itu didukung para sahabat. Ustman memerintahkan untuk menyalin lembaran-lembaran Al-Quran dalam satu mushaf. Selain mengumpulkan dan menyalinnya, susunan surat-surat juga ditertibkan. Bahasa dalam Al-Quran juga diturunkan dengan bahasa Quraisy. Dengan demikian, Al-Quran hanya dibaca dengan satu logat saja. Setelah itu, salinan Al-Quran yang telah diperbanyak disebarkan ke wilayah-wilayah kekuasaan Islam. 

Fitnah Terhadap Ustman Bin Affan
Tokoh utama yang mengakibatkan timbulnya fitnah terhadap Ustman bin Affan adalah Abdullah bin Saba. Abdullah bin Saba adalah orang Yahudi yang berpura-berpura memeluk agama Islam. Abdullah bin Saba dan pengikutnya bermaksud untuk menghancurkan Islam. Oleh karena itu, mereka menyebarkan fitnah keji terhadap Ustman. Ketika itu, penganut agama Islam berkembang pesat. Namun, di antara pemeluk agama Islam itu masih banyak yang belum memahami ajaran Islam dengan baik. Mereka tidak memiliki ilmu yang cukup, fanatic terhadap suatu pendapat, dan berlebih-lebihan dalam menjalankan ajaran islam. Orang-orang seperti ini termakan oleh hasutan Abdullah bin Saba dan pengikutnya. Abdullah bin Saba menyebarkan beberapa fitnah keji terhadap Ustman bin Affan. Melalui fitnah-fitnah itu, Abdullah berhasil mengajak orang-orang muslim untuk melakukan tindakan makar terhadap pemerintahan Ustman bin Affan.

Fitnah itu adalah berupa tuduhan-tuduhan yang tidak benar. Ustman dituduh lebih mengutamakan keluarganya karena ia mengganti sahabat-sahabat dengan saudara-saudaranya yang jelas-jelas kualitasnya lebih rendah. Sebenarnya, pengangkatan saudara-saudaranya itu dilakukan karena pertimbangan keahlian dan pengabdian mereka, bukan karena hubungan saudara. Selain itu, terdapat fakta-fakta yang dapat digunakan sebagai bantahan. Misalnya, Rasulullah SAW pernah mengangkat Usamah bin Zaid, padahal ketika itu ada Abu Bakar dan Umar bin Khattab yang lebih senior. Bahkan sejak dahulu, Rasulullah mengangkat Bani Umayyah sebagai pejabat-pejabat penting dalam pemerintahan. Ali bin Abu Thalib juga mengangkat Abbas dan anaknya sendiri sebagai Gubernur di suatu wilayah. Ustman berkata, “Aku tidak mengangkat seorang pun, kecuali Rasulullah pernah mengangkatnya”.

Ustman juga difitnah telah banyak member harta kepada kerabatnya. Sebenarnya, Ustman sedang melaksanakan perintah Allah dalam Surat Al-Isra ayat 26, “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”. Terhadap fitnah tersebut, Ustman berkata, “Sesungguhnya kedua pendahuluku (Abu Bakar dan Umar bin Khattab) telah bersikap keras kepada dirinya dan keluarganya, padahal Rasulullah SAW selalu memberikan sedekah yang banyak terhadap keluarga dekatnya. Aku berada di tengah-tengah keluarga yang serba kekurangan. Oleh karena itu, mereka adalah tanggung jawabku”. Akibat fitnah-fitnah itu, orang-orang mengepung rumah Ustman. Mereka menuntut agar gubernur-gubernur diganti. Ustman hanya mengganti gubernur Mesir. Sesuai dengan permintaan mereka, gubernur Mesir, Abdullah bin Saad diganti oleh Muhammad bin Abu Bakar.

Setelah itu, mereka kembali ke wilayah tempat tinggal masing-masing. Namun, orang-orang munafik itu tidak tinggal diam. Di tengah perjalanan pulang, mereka bertemu dengan seseorang yang membawa surat dari Ustman bin Affan. Isi surat itu adalah perintah Ustman bin Affan kepada Abdullah bin Saad untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Orang-orang itu menjadi murka dan kembali ke rumah Ustman di Madinah. Beberapa di antara mereka menghadap Ustman bin Affan. Ketika diperlihatkan surat itu, Ustman bersumpah demi Allah bahwa dirinya tidak menulis surat itu. Setelah diperiksa, penulis surat itu adalah Marwan bin Hakam. Kali ini, mereka menuntut dua hal. Pertama, Ustman harus menghukum Marwan bin Hakam dengan hukuman qishas, yaitu hukuman mati bagi orang yang telah membunuh orang lain. Kedua, Ustman harus meletakkan jabatannya sebagai Khalifah. Tuntutan pertama ditolaj oleh Ustman dengan alasan Marwan baru merencanakan membunuh dan belum melaksanakan rencana itu. Tuntutan kedua juga ditolak oleh Ustman. Ia menolaknya sesuai dengan pesan Rasulullah, “Bahsawanya engkau Ustman akan mengenakan baju kebesaran (kekuasaan). Apabila engkau telah mengenakan baju itu, janganlah engkau lepaskan”. Penolakan tuntutan itu membuat orang-orang melanjutkan pengepungan terhadap Ustman bin Affan hingga empat puluh hari. Ketika itu, Ustman dijaga oleh sahabat-sahabatnya, seperti Ali bin Abu Thalib, Zubair bin Awwam, Muhammad bin Thalhah, Hasan dan Husein. Dalam keadaan terkepung, Ustman yang lembut tetap bersabar. Suatu ketika, beberapa pengepungan berhasil masuk ke rumah Ustman. Mereka membunuh Ustman yang sedang membaca Al-Quran. Akhirnya, Ustman yang lemah lembut, dermawan, calon penghuni surga dan pemilik dua cahaya itu mati syahid.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Abdullah bin Amr bin Haram al Anshary RA
Abu Mihjan as Tsaqafi RA
Ummul Mukminin, Zainab binti Khuzaimah RA
Putra-putri Rasulullah SAW
Abu Dujanah RA


Ummu Habibah Ra, Ummul Mukminin

Ummu Habibah RA adalah anak dari tokoh kaum musyrik Makkah Abu Sufyan bin Harb. Pada masa jahiliah ia menikah dengan Ubaidillah bin Jahsy, dan kemudian bersama-sama memeluk Islam. Karena tekanan dan siksaan dari kaum musyrikin, mereka berdua ikut berhijrah ke Habasyah. Sayangnya disana Ubaidillah murtad dan mati dalam keadaan musyrik (beragama Nashrani).

Sebelum suaminya murtad, Ummu Habibah, yang nama aslinya adalah Ramlah binti Abu Sufyan, memimpikan wajah suaminya terlihat sangat buruk dan menakutkan. Keesokan harinya, suaminya memutuskan untuk memeluk agama Nashrani. Tentu saja Ummu Habibah menjadi panik, namun demikian Allah meneguhkan pendiriannya dan tetap bertahan dalam keislamannya.

Ketika Nabi SAW mengirimkan suratkepada Najasyi, lewat sahabat Amr bin Umayyah adh Dhamry, beliau juga menyampaikan lamaran kepada Ummu Habibah RA, dan meminta tolong Najasyi menyampaikan lamarannya ini. Najasyi menyuruh seorang wanita bernama Abraha untuk menyampaikan berita ini sekaligus menjemput Ummu Habibah. Memperoleh kabar ini, Ummu Habibah begitu gembira, sehingga ia melepas perhiasan yang dipakainya dan diberikannya kepada Abraha, beberapa benda berharga yang dimilikinya juga diberikannya kepada utusan Najasyi tersebut.

Najasyi yang saat itu baru saja memeluk Islam, menikahkan Rasulullah SAW dengan Ummu Habibah, dan memberikan mahar sebanyak 400 dinar emas. Orang-orang yang hadir pada majelis Najasyi saat itu juga diberikan hadiah uang dinar dan juga makanan. Ummu Habibah pun berangkat ke Madinah untuk dipertemukan dengan Rasulullah SAW. Najasyi mengirimkan banyak sekali barang-barang hadiah dan minyak wangi ke Madinah, sebagai bingkisan pernikahan beliau itu.

Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Muharram tahun 7 Hijriah. Sebagian

riwayat menyatakan bahwa pernikahan terjadi pada tahun 6 hijriah, dan Ummu Habibah baru pindah ke Madinah untuk tinggal bersama Rasulullah pada tahun 7 hijriah. Mengenai tahun kewafatan Ummu Habibah, banyak perbedaan pendapat, sebagain meriwayatkan tahun 44 hijriah, ada yang tahun 42 hijriah, 55 hijriah atau juga 50 hijriah, wallahu a'lam.

Saat berlangsungnya perjanjian Hudaibiyah, Abu Sufyan yang masih kafir datang ke Madinah, ia menyempatkan diri untuk mengunjungi Ummu Habibah. Saat melihat kasur terhampar, Abu Sufyan akan mendudukinya, tetapi putrinya tersebut bergegas melipat dan menyingkirkannya. Tentu saja Abu Sufyan terkejut, ia bertanya, "Apakah aku tidak boleh duduk di atasnya? Tidak pantaskah aku untuk mendudukinya?"

"Kasur ini hanya untuk Rasulullah SAW," Kata Ummu Habibas dengan tegas, "Ayah masih kafir dan tidak suci, bagaimana mungkin aku akan membiarkan ayah akan mendudukinya?"

"Setelah kita berpisah, ternyata engkau mempunyai perangai yang buruk," Kata Abu Sufyan dengan kecewa.

Tentu saja hal itu bukan perangai buruk Ummul Mukminin, Ummu Habibah RA. Sebaliknya hal ini adalah wujud kecintaan dan penghormatannya kepada Nabi SAW, jauh melebihi kecintaan pada siapapun di dunia ini, termasuk orang tuanya sendiri. Hal sama juga ditunjukkannya ketika ayahnya meninggal dunia. Walau meninggalnya dalam keislaman, Ummu Habibah memakai wewangian pada malam ketiga setelah kewafatan ayahnya. Ia berkata, "Sebenarnya saya tidak terlalu suka memakai wewangian, tetapi Rasulullah SAW bersabda bahwa seorang wanita tidak boleh berkabung lebih dari tiga hari, kecuali untuk suaminya. Ia boleh berkabung selama empat bulan sepuluh hari jika suaminya meninggal. Karena itu saya memakai wewangian agar tidak dianggap masih berkabung atas kematian ayah saya."

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Usamah Bin Zaid RA
Khaulah binti Hakim RA
Thariq al-Shalidalani dan Syihab RA
Abdullah Bin Zubair RA
Zainab ats Tsaqafiyah RA

Maimunah binti Harits RA, Ummul Mukminin

Maimunah binti Harits RA nama aslinya adalah Barrah, nama Maimunah diberikan Rasulullah SAW setelah beliau menikahinya. Dua orang saudaranya menjadi istri paman Nabi SAW, yaitu Ummu Fadhl Lubabah binti Harits menjadi istri Abbas RA, dan Salma binti Harits menjadi istri Hamzah RA. Ayahnya adalah Harits bin Hazn. Ia juga masih termasuk bibi dari Khalid bin Walid dari pihak ibu. Menurut sebagian riwayat, sebelumnya ia telah menikah dua kali, salah satunya dengan Abu Rahn bin Abdul Uzza. Setelah menjadi janda, ia menyerahkan urusannya kepada Abbas, suami saudaranya. 

Nabi SAW melaksanakan Umrah Wadha pada tahun 7 hijriah, sebagai pelaksanaan salah satu klausul perjanjian Hudaibiyah. Beliau tinggal selama tiga hari dan sebagian besar penduduk Makkah tinggal di luar kota, sehingga kaum muslimin bebas melaksanakan aktivitas dan ibadah, seperti ketika di Madinah. Ternyata keadaan ini menarik perhatian orang-orang Makkah, sehingga ada yang kemudian memeluk Islam, salah satunya adalah Barrah. Karena keislamannya ini, Abbas menemui Rasulullah SAW, dan meminta beliau untuk bersedia menikahi Barrah. Ternyata beliau menyetujui permintaan pamannya ini, dan memberikan mas kawin sebesar 400 dirham. 

Saat itu Nabi SAW dan kaum muslimin telah tiga hari berada di Makkah, datanglah Suhail bin Amr dan Huwaithib bin Abdul Uzza dan meminta beliau dan rombongan dari Madinah untuk segera meninggalkan Makkah. Beliau meminta tangguh beberapa hari untuk melaksanakan walimah dan perjamuan pernikahannya dengan Barrah, sekaligus mengundang mereka untuk hadir, tetapi permintaan ini ditolak. Akhirnya rombongan dari Madinah keluar dari kota Makkah, dan menetap di suatu tempat bernama Sarif selama beberapa hari. Beliau meninggalkan pembantunya, Abu Rafi' RA di Makkah, dan diminta membawa Maimunah menyusul rombongan Nabi SAW. Ketika mereka berdua sampai di Sarif, pernikahanpun dilangsungkan, dan beliau mengganti nama Barrah dengan Maimunah. 

Maimunah menikah dengan Nabi SAW pada bulan Dzulqaidah tahun 7 hijriah, ketika itu ia berusia 26 tahun. Ia meninggal pada tahun 51 hijriah ketika berusia 71 tahun di Sarif, tempat ia disusulkan dan dinikahi dengan Nabi SAW, dan dimakamkan disana. Tetapi sebagian riwayat menyebutkan ia wafat pada tahun 61 hijriah pada usia 81 tahun. 

Aisyah RA menyatakan bahwa di antara istri-istri Nabi SAW lainnya, Maimunah adalah wanita yang paling salehah, dan sangat menjaga hubungan silaturahmi. Maimunah juga selalu menyibukkan diri dengan shalat dan pekerjaan rumah tangganya. Para ahli sejarah sepakat, bahwa Maimunah adalah istri yang terakhir dinikahi Nabi SAW. 

Suatu ketika Maimunah memerdekakan budak perempuannya, tetapi ia lupa tidak meminta ijin dahulu kepada Nabi SAW. Saat itu memang bukan sedang gilirannya didatangi beliau, sementara niatnya untuk memerdekakan telah begitu menguat, sehingga begitu saja ia melakukannya. Ketika tiba giliran Nabi SAW mengunjunginya, ia berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, apakah tuan telah merasa bahwa saya telah memerdekakan budak perempuan saya?" 

"Apakah engkau telah melakukannya?" Tanya Nabi SAW. 

Umair bin Wahab al-Jumahi RA

“Sungguh Umair telah menjadi seseorang yang lebih aku cintai dari sebagian anak-anakku.” 
(Umar bin al-Khattab)

Umair bin Wahab al-Jumahi pulang dari Badar dengan selamat, namun dia meninggalkan anaknya di belakangnya sebagai tawanan di tangan kaum muslimin.

Umair khawatir kaum muslimin akan melakukan sesuatu yang buruk terhadap anaknya atas dosa-dosa bapaknya, menyiksanya dengan siksaan terburuk sebagai balasan atas penderitaan yang telah dia timpakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagai hukuman atas siksaan yang telah dia timpakan kepada para sahabatnya.

Di suatu pagi, Umair menuju masjid untuk thawaf di Ka’bah dan memohon keberkahan kepada berhala-berhalanya, dia melihat Shafwan bin Umayyah yang sedang duduk di sisi Hijir, dia berjalan kepadanya dan mengucapkan, “Im habahan. Wahai sayid Quraisy.”

Shafwan berkata, “’Im shabahan wahai Abu Wahab. Duduklah, kita berbicara sebentar, kita menghabiskan waktu dengan berbicara.”

Umair pun duduk di depan Shafwan bin Umayyah, dua laki-laki ini mulai berbicara mengenang Badar, mengenang musibahnya yang besar, menghitung tawanan-tawanan yang jatuh di tangan Muhammad dan para sahabatnya, berduka cita atas kematian para pemuka Quraisy di ujung pedang kaum muslimin dan dilemparkannya jasad mereka ke dasar sumur di Badar. Maka Shafwan menarik nafas sedih seraya berkata, “Demi Allah tidak ada kebaikan dalam hidup ini sesudah mereka.”

Umair berkata, “Kamu benar, demi Allah.” Kemudian Umair diam sesaat lalu dia melanjutkan, “Demi Rabb Ka’bah, kalau aku tidak memikul utang yang saat ini aku tidak memiliki sesuatu yang bisa aku gunakan untuk melunasinya. Dan keluarga, dimana aku khawatir mereka akan terlunta-lunta sesudahku, niscaya aku akan pergi kepada Muhammad dan membunuhnya, aku akan menghabisi perkara dan mengakhiri keburukannya.”

Umair melanjutkan dengan suara pelan, “Keberadaan anakku Wahab di antara mereka membuat kehadiranku ke Yatsrib tidak menimbulkan kecurigaan pada mereka.”

Shafwan bi Umayyah memanfaatkan ucapan Umair bin Wahab, dia tidak ingin melepaskan peluang ini begitu saja, maka dia berkata, “Wahai Umair, biarkan aku yang memikul seluruh utang-utangmu, aku akan melunasinya sebesar apapun. Dan keluargamu, akan aku akan menanggung kehidupan mereka bersama dengan keluargaku, selama aku dengan mereka masih hidup. Hartaku melimpah, cukup untuk membiayai mereka dan membuat mereka hidup makmur.”

Umair berkata, “Kalau begitu simpanlah perbicaraan kita ini, jangan katakan kepada siapa pun.”

Maka Shafwan berkata, “Aku menjaminnya untukmu.”

Umair meninggalkan al-Haram sementara api kebencian bergolak di dadanya terhadap Muhammad, dia langsung menyiapkan segala perlengkapannya untuk melaksanakan tekadnya, dia tidak perlu khawatir dicurigai oleh seseorang dalam perjalanannya karena dia termasuk orang-orang Quraisy yang masih mempunyai urusan dengan kaum muslimin terkait dengan tawanan perang Badar, mereka hilir mudik ke Madinah untuk membebaskan tawanan mereka.

Umair mengasah pedangnya setajam mungkin dan menaburkan racun padanya.

Umair menyiapkan kendaraannya, dan naik ke atas punggungnya.

Dia bergerak menuju Madinah dengan niat buruk dan tekad jahat memenuhi sesuatu di dalam jubahnya.

Umair tiba di Madinah, dia menuju masjid hendak menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , setibanya dia di dekat pintu masjid, dia menderumkan onta dan turun dari punggungnya.

Umar bin al-Khattab pada saat itu sedang duduk bersama sebagian sahabat di dekat pintu masjid, mereka membicarakan Badar dan apa yang dibawa olehnya berupa tawanan perang dari orang-orang Quraisy dan korban mereka, mereka mengenang kepahlawanan-kepahlawanan kaum muslimin dari kalangan orang-orang Muhajirin dan Anshar, mereka membicarakan kemenangan yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada mereka, kekalahan dan kehinaan yang Allah Ta’ala timpakan kepada musuh mereka.

Tiba-tiba Umar menoleh, dia melihat Umair bin Wahab turun dari punggung kendaraannya dan berjalan menuju masjid dengan menenteng pedangnya, maka Umar berdiri dengan perasaan cemas, dia berkata, “Anjing, musuh Allah Umair bin Wahab. Demi Allah, dia tidak datang kecuali bermaksud jahat. Dia telah mempengaruhi orang-orang musyrikin di Mekah untuk memusuhi kami dan dia adalah mata-mata mereka atas kami sebelum terjadi perang Badar.”

Kemudian Umar berkata kepada rekan-rekannya, “Pergilah kalian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetaplah kalian di samping beliau, berhati-hatilah terhadap kelicikan orang busuk itu.”

Kemudian Umar bergegas menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, ini musuh Allah Umair bin Wahab telah datang dengan menghunus pedangnya, menurutku dia tidak datang kecuali dengan maksud jahat.”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bawa dia masuk kepadaku.”

Maka al-Faruq membawa Umair bin Wahab kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mencengkeram kerah bajunya dan mengalungkan tali pedangnya di lehernya.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya dalam kondisi demikian, beliau bersabda, “Lepaskan dia wahai Umar.” Maka Umar melepaskannya. Kemudian beliau bersabda kepada Umar, “Mundurlah dariku.” Maka Umar mundur. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghampiri Umair bin Wahab dan beliau bersabda, “Mendekatlah wahai Umair.” Umair berkata, “An’im shabahan.” Ini adalah ucapan salam jahiliyah.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Allah telah memulaikan kami dengan sebuah penghormatan yang lebih baik dari ucapanmu itu wahai Umair. Allah telah memuliakan kami dengan salam, ia adalah penghormatan untuk penduduk surga.”

Maka Umair berkata, “Demi Allah, engkau sendiri tidak asing dengan penghormatan kami dan engkau belum lama meninggalkannya.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu datang wahai Umair?”

Umair menjawab, “Aku datang dengan harapan engkau berkenan melepaskan tawanan yang ada di tanganmu, berbuat baiklah kepadanya demi aku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Lalu mengapa pedang itu ada di pundakmu?”

Umair menjawab, “Pedang yang buruk dan tidak berguna apapun bagi kami di perang Badar.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencercanya, “Katakan kepadaku dengan jujur, apa yang membuatmu datang kepadaku?”

Umair menjawab, “Aku tidak datang kecuali untuk itu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak demikian, akan tetapi kamu duduk bersama Shafwan bin Umayyah di Hijir, lalu kalian berdua mengenang orang-orang Quraisy yang dilemparkan ke sumur Badar. Kamu berkata, ‘Kalau bukan karena utang yang aku pikul dan keluarga yang aku tanggung niscaya aku akan berangkat menemui Muhammad untuk membunuhnya’. Lalu Shafwan bin Umayyah memikul utangmu dan menjamin kehidupan keluargamu dengan syarat kamu membunuhku. Allah Ta’ala menghalangimu untuk melakukan hal itu.”

Umair terhenyak sesaat, kemudian dia berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”

Kemudian dia buru-buru menambahkan, “Ya Rasulullah, dulu kami mendustakanmu dengan tidak mempercayai berita langit yang engkau bawa dan wahyu yang turun kepadamu, akan tetapi ceritaku dengan Shafwan bin Umayyah hanya diketahui oleh kami berdua. Demi Allah, sungguh aku yakin bahwa yang menyampaikannya kepadamu hanyalah Allah. Segala puji bagi Allah yang telah menggiringku kepadamu sehingga Dia membimbingku kepada Islam.”

Kemudian Umair bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dia masuk Islam.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat, “Jadikanlah saudara kalian ini paham (dengan) agamanya dan ajarilah dia Alquran serta bebaskanlah tawanannya.”

Kaum muslimin berbahagia dengan masuknya Umair bin Wahab ke dalam Islam, sampai-sampai Umar bin al-Khatthab berkata, “Seekor babi lebih aku cintai daripada Umair bin Wahab ketika dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun sekarang dia lebih aku cintai daripada sebagian anakku sendiri.”

Umair terus menyucikan dirinya dengan ajaran-ajaran Islam, mengisi hatinya dengan cahaya Alquran, menghidupkan hari-hari kehidupannya yang paling mengagumkan dan paling sarat kebaikan, hal ini membuatnya melupakan Mekah dan siapa yang tinggal di sana.

Shafwan bin Umayyah menggantungkan harapan kepada Umair, dia melewati sekumpulan orang-orang Quraisy sambil berkata, “Bergembiralah kalian, sebuah berita besar akan datang kepada kalian dalam waktu dekat, berita yang membuat kalian melupakan kekalahan di Badar.”

Shafwan bin Umayyah menunggu dan menunggu, penantiannya berjalan lama, akhirnya kecemasan mulai menggelayuti benaknya sedikit demi sedikit, sampai dia seperti berguling-guling di atas bara api yang paling panas, dia mulai bertanya-tanya kepada para rombongan musafir yang lewat tentang Umair bin Wahab, namun dia tidak menemukan jawaban yang memuaskan.

Sampai datanglah seorang musafir yang berkata kepadanya, “Umair telah masuk Islam.”

Berita yang terdengar di telinga Shafwan bak halilintar yang menyambar di siang hari karena sebelumnya dia yakin bahwa Umair tidak akan masuk Islam sekalipun seluruh penduduk bumi masuk Islam.

Umair bin Wahab terus mendalami agamanya, menghafal kalam Allah yang bisa dia hafal, sehingga dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Ya Rasulullah aku telah melewati suatu zaman, selama itu aku selalu berusaha untuk memadamkan cahaya Allah, kerap menimpakan gangguan kerasa terhadap orang-orang yang masuk ke dalam agama Allah, aku ingin engkau berkenan memberi izin kepadaku untuk pergi ke Mekah untuk mengajak orang Quraisy kepada Allah dan Rasul-Nya, jika mereka menerimanya dariku maka apa yang mereka lakukan adalah sebaik-baik perbuatan, namun jika mereka berpaling maka aku akan melakukan terhadap mereka seperti dulu aku melakukan terhadap orang-orang yang masuk Islam.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan, maka Umair datang ke Mekah, dia datang ke rumah Shafwan dan berkata, “Wahai Shafwan, sesungguhnya kamu adalah salah seorang pembesar Mekah, salah seorang Quraisy yang berakal, apakah menurutmu apa yang kalian yakini selama ini, yaitu menyembah batu dan menyembelih untuknya benar dalam akal sehingga ia patut dijadikan sebagai agama? Aku telah bersaksi bahwa tiada Ilah yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

Kemuian Umair terus berdakwah kepada Allah di Mekah sehingga banyak orang Mekah masuk Islam atas ajakannya.

Semoga Allah memberikan pahala yang besar kepada Umair bin Wahab dan meliputi kuburnya dengan cahaya.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Ummu Sulaim
Amr bin Jamuh RA
Abdullah Bin Rawahah RA
Mu'adz bin Amr bin Jamuh RA dan Mu'awidz bin Afra RA
Zaid bin Su'nah al Israili RA

Bujair bin Zuhair dan Ka'ab bin Zuhair RA

Bujair bin Zuhair dan Ka'ab bin Zuhair bin Abi Sulma al Muzanni adalah dua bersaudara, mereka berangkat ke Madinah untuk menemui Nabi SAW. Ketika sampai di al Azzaf, sumber air Bani Asad, Bujair menyuruh Ka'ab menunggu di suatu peternakan di tempat itu sementara ia akan menemui Nabi SAW. Setelah bertemu dengan Nabi SAW dan mendengar risalah yang beliau bawa, Bujair langsung memeluk Islam.

Berita keislaman Bujair ternyata telah sampai kepada Ka'ab sebelum Bujair sendiri menyampaikannya. Ka'abmarah sekali karena saudaranya itu berpindah agama. Ia adalah seorang penyair, karena itu ia menyusun suatu syair sebagai ekspresi kemarahannya, dan menganggap Rasulullah SAW sebagai penyebabnya. Isi syair tersebut cukup melukai perasaan Nabi SAW, sehingga ketika mendengarnya, beliaupun menghalalkan darah Ka'ab. Artinya, para sahabat yang bertemu dengannya, diijinkan untuk membunuhnya.

Bujair yang masih tinggal bersama Rasulullah SAW untuk memperdalam keislamannya, segera saja menulis suratkepada Ka'ab tentang perintah beliau itu, akhirnya ia berkata dalam suratnya, "Selamatkanlah dirimu, tetapi aku tidak menganjurkan engkau untuk melarikan diri…"

Beberapa waktu kemudian Bujair menulis suratlagi kepada Ka'ab. Kali ini ia menceritakan tentang Islam, kemudian di akhir suratnya ia berkata, "Tidak seorangpun menemui Nabi SAW kemudian ia bersyahadat memeluk Islam,

melainkan persaksiannya itu akan diterima oleh beliau. Karena itu, setelah menerima suratini, terimalah Islam dan masuklah ke dalam Islam."

Ka'abpun memenuhi saran saudaranya. Ia menunggangi kendaraannya menuju Madinah, menambatkannya di luar masjid dan masuk ke dalam mendekati Nabi SAW. Ketika itu Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya dalam suatu kumpulan dengan hidangan yang tersedia. Setelah berhadapan, Ka'ab mengucap salam dan menyatakan keislaman dengan bersyahadat, kemudian memohon perlindungan keselamatan atas dirinya, tanpa memperkenalkan dirinya terlebih dahulu.

Nabi SAW menerima persaksian keislamannya dan memenuhi permintaannya, kemudian beliau bersabda, “Siapakah dirimu ini?”.

"Saya adalah Ka'ab bin Zuhair." Kata Ka'ab.

Nabi SAW tersenyum melihat ‘siasat’ yang dilakukannya, dan beliau berkata, "Engkau yang mengatakan dalam syair…..." Kemudian Nabi SAW meminta Abu Bakar untuk membaca syair tersebut.

Ka'ab membenarkan, tetapi juga meralat adanya bagian yang dirubah sehingga terkesan sangat meremehkan Nabi SAW. Sekali lagi Ka'ab meminta maaf kepada Nabi SAW, kemudian melantunkan syair lain yang isi memuji dan menyanjung Nabi SAW dan agama Islam, sehingga Nabi SAW menjadi senang. Dua orang bersaudara ini bersama kembali, kali ini untuk memperdalam dan memperbaiki keislamannya, di sisi manusia terbaik, Rasulullah SAW.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Perjalanan Hidup Utbah bin Rabi’ah Hingga Ajalnya
Abdullah bin Mas'ud RA
Najasyi, Raja Habasyah
Hudzaifah Ibnul Yaman RA
Seorang Penanya Hari Kiamat

Qa’is bin Sala’ RA

Qa’is bin Sala’ adalah seorang sahabat Anshar. Saudara-saudaranya pernah mengadukan kepada Rasulullah SAW bahwa ia telah memubazirkan hartanya dan bermewah-mewah dengannya. Waktu Nabi SAW mempertanyakan masalah itu, Qa'is bin Sala'berkata, "Wahai Rasulullah SAW, aku mengambil bagianku dari buah kurma dan menafkahkannya di jalan Allah, dan kepada orang yang menemaniku."

Mungkin karena setelah menafkahkannya itu, harta

bagiannya dari kurma itu menjadi habis, saudara-saudaranya mengadukan sikapnya itu kepada Rasulullah SAW. Tetapi justru beliau menepuk dadanya, dan berkata kepadanya sampai tiga kali, "Nafkahkanlah, maka Allah akan menafkahimu." Pada suatu kesempatan Qa’is berjuang di jalan Allah, ia menunggangi unta yang kuat dengan perbekalan yang sangat banyak. Dan hari itu, ia yang paling banyak dan paling mudah berinfak daripada anggota keluarganya yang lain.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Muawiyah bin Abu Sufyan RA
Ammar bin Yasir RA
Ubadah bin Shamit RA
Abu Ubaidah bin Jarrah RA
Zaid bin Haritsah RA

Samurah bin Jundub RA

Samurah bin Jundub RA masih belum dewasa ketika terjadi perang Uhud. Ia bersama beberapa anak lainnya yang mempunyai semangat juang tinggi untuk membela panji keislaman, dikeluarkan dari barisan pasukan perang Uhud oleh Nabi SAW karena belum cukup umur. Tetapi salah seorang di antaranya, Rafi bin Khadij, karena permintaan ayahnya dibolehkan oleh Nabi SAW ikut karena ia mempunyai keahlian memanah, dan menunjukkan kemampuannya di hadapan beliau. 

Melihat dibolehkannya Rafi ikut bertempur, Samurah berkata kepada ayah tirinya, Murrah bin Sinan RA, "Wahai ayah, Rafi dibolehkan ikut berperang sementara saya tidak. Padahal saya lebih kuat daripada Rafi. Kalau diadu tanding, pasti saya dapat mengalahkan Rafi.." Melihat semangat yang begitu menggebu dari anaknya ini, Murrah menyampaikan hal ini pada Nabi SAW, beliaupun mengadakan adu kekuatan antara Rafi dan Samurah, dan ternyata Samurah memenangkannya, sehingga iapun dbolehkan ikut serta dalam pertempuran di Uhud itu. Ketika itu Samurah berusia 15 tahun, sama seperti Rafi.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Asma' binti Abu Bakar Ash-Shiddiq Ra
Ja’far bin Abu Thalib RA
Qa'is Bin Sa'd Bin Ubadah RA
Thalhah bin Ubaidillah RA
Kisah Addas dan Syaibah Bin Rabiah

Abdullah bin Abdullah bin Ubay RA

Abdullah bin Abdullah bin Ubay adalah anak dari tokoh munafik, Abdullah bin Ubay, yang memeluk Islam dan menjadi salah satu sahabat pilihan yang shalih. Sebelum kedatangan Nabi SAW ke Madinah, ayahnya, Abdullah bin Ubay hampir diangkat jadi raja Madinah, kemudian gagal karena kebanyakan penduduknya memeluk Islam dan menjadikan Nabi SAW sebagai tokoh sentralnya, karena itulah ia begitu membenci Nabi SAW walau pada lahirnya ia beragama Islam juga. 

Ketika Rasulullah SAW mendengar pimpinan Banu Musthaliq, Al Harits bin Abu Dhirar menghimpun pasukan untuk memerangi kaum muslimin, Beliau menyusun pasukan dan segera berangkat ke tempat Banu Musthaliq. Dalam pasukan yang dipimpin sendiri oleh Nabi ini ikut juga sekelompok kaum munafik, termasuk pimpinannya, Abdullah bin Ubay. 

Setelah pertempuran usai dan dalam perjalanan kembali ke Madinah, Abdullah bin Ubay berkata pada kelompoknya, "Jika kita kembali ke Madinah, orang-orang yang terhormat akan mengusir orang-orang yang terhina." 

Ucapan "terhina" ini dimaksudkan pada Nabi SAW dan sahabat Muhajirin yang terusir dari Makkah. Ketika kabar ini sampai kepada Nabi SAW lewat sahabat Zaid bin Arqam, Umar bin Khaththab meminta Nabi menyuruh Abbad bin Bisyr untuk membunuh tokoh munafik tersebut. Tetapi Abdullah bin Ubay mengingkari kalau telah mengatakan itu, sehingga terjadi suasana yang tegang dan penuh prasangka, sampai akhirnya turun ayat yang membenarkan Zaid bin Arqam. 

Melihat perkembangan situasi tersebut, Abdullah bin Abdullah bin Ubay mendatangi Nabi SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, jika engkau menginginkan ayahku dibunuh, perintahkanlah aku untuk membunuhnya! Karena kalau orang lain yang engkau perintahkan membunuh, aku khawatir aku tidak bisa bersabar untuk tidak menuntut balas atas kematiannya, yang karenanya aku akan masuk neraka. Semua orang Anshar tahu, aku adalah orang yang berbakti pada orang tuaku." 

Rasulullah SAW menjawab, "Baiklah, berbaktilah kepada orang tuamu, ia tidak melihat darimu kecuali kebaikan." 

Tahulah Abdullah bahwa Rasulullah memaafkan ayahnya. Namun demikian, sebagai wujud kecintaan yang lebih besar kepada Allah dan Rasul-Nya daripada orang tuanya, Abdullah menghadang dengan pedang terhunus, dan melarang ayahnya masuk kota Madinah, kecuali jika Nabi SAW telah mengijinkannya. Ketika mencoba memaksa, Abdullah menyerangnya dengan pedangnya itu sehingga ia mundur kembali. Dengan terpaksa ia mengirim utusan untuk meminta ijin Rasulullah SAW bagi tokoh munafik tersebut memasuki kota Madinah. Bagaimanapun juga, Abdullah adalah seorang anak yang sangat berbakti kepada ayahnya, dan itu telah lama terbentuk sebelum Islam memasuki kota Madinah. Anak tetaplah anak, dan ketika ayahnya tersebut meninggal, kesedihan merasuki hatinya. Ia tahu bahwa orang tuanya itu mungkin hanya pantas berada di neraka, namun demikian ia ingin menunjukkan bakti terakhirnya. Ia datang kepada Nabi SAW meminta baju gamis beliau untuk mengkafani jenazahnya, dan beliau mengabulkannya. Sekali lagi ia datang kepada beliau untuk menyalatkan jenazahnya, dan beliau mengabulkannya, walau Umar sempat memprotes keras. Tetapi setelah itu turun ayat 84 dari surat at Taubah, yang melarang beliau untuk menyalati jenazah orang munafik dan berdiri di atas kuburan mereka.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Bilal Bin Rabah Al Habsyi RA
Abdullah Bin Umar RA
Seorang Penyapu Masjid
Wa'il bin Hajar RA
Urwah bin Zubair RA

Basyir bin Sa'id RA

Basyir bin Sa'id atau Abu Athiyah adalah salah seorang sahabat Anshar. Suatu ketika ia sedang bekerja menggali parit beserta sahabat-sahabat lainnya, sebagai benteng pertahanan kota Madinah, karena adanya rencana serangan besar-besaran dari pasukan Quraisy yang bersekutu dengan pasukan suku Ghathafan. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh umat Islam dalam keprihatinan, karena secara umum sebenarnya mereka dalam keadaan kekurangan bahan makanan. Tetapi itu memang satu-satunya cara yang mungkin untuk mempertahankan Madinah dari serangan musuh yang jumlahnya sangat besar. 

Saat istirahat di siang harinya, istri Basyir, Amrah binti Rawahah memanggil anak perempuannya untuk mengantarkan segenggam kurma pada bapaknya tersebut. Kurma itu dibungkusnya dengan ujung kain bajunya, dan ia mulai berjalan berkeliling mencari ayahnya. Ketika ia melewati Rasulullah SAW, beliau memanggilnya dan bertanya, "Kemarilah Nak, apa yang kau bawa itu?" 

Anak perempuan itu menjawab, "Aku diutus oleh ibuku mengantarkan segenggam kurma ini untuk ayahku, Basyir bin Sa'id." 

Nabi SAW memanggilnya, dan meminta ia untuk meletakkan kurma itu pada telapak tangan Nabi SAW. Putri Basyir ini melaksanakan perintah beliau itu, dan ternyata tidak memenuhi tangan beliau. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan seorang sahabat untuk membentangkan kain, dan beliau meletakkan segenggam kurma di atasnya. Kemudian beliau berkata kepada sahabat tadi, "Panggillah para pekerja khandaq untuk menyantap makan siang kiriman istri Basyir bin Sa’id." 

Putri Basyir yang masih berdiri tak jauh dari situ tampak tidak mengerti, tetapi sahabat tersebut kemudian berteriak keras, “Wahai pekerja khandaq, berkumpullah di sini untuk menyantap makan siang kiriman istri Basyir bin Sa’id!!” Berkumpullah para pekerja khandaq di sekeliling kain tersebut, termasuk Basyir sendiri, dan mulai menyantap kurma dengan lahap. Yang sungguh ajaib, kurma terus bertambah banyak ketika orang-orang mengambilnya. Ketika semua orang telah merasa kenyang, kurma itu masih tersisa cukup banyak di pinggir kain.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Zainab ats Tsaqafiyah Ra
Al Aqamah bin Harits RA
Amr bin Uqaisy RA
Amr bin Anbasah RA
Abdullah bin Mughaffal al Muzanni RA

Abdullah bin Unais RA

Prajurit Rahasia Rasulullah Saw

Kadang-kadang tak perlu mengorbankan banyak orang untuk memenangkan perang. Cara-cara untuk mencapai kemenangan dengan korban sekecil mungkin sudah lama disadari para ahli strategi. Rasulullah Saw pun sudah sangat memahami hal ini. Maka beliau Saw pun mengutus Abdullah bin Unais, si agen rahasia, untuk menyelidiki keadaan. Abdullah bin Unais sangat mengerti strategi menghindari korban besar untuk meraih kemenangan. Maka ia pun menyerang pemimpin musuh. Bila ia tak melakukan itu, mungkin akan terjadi peperangan dahsyat dengan banyak korban berjatuhan.

Setelah Kaum Muslimin dikalahkan dalam Perang Uhud, banyak suku yang mulai berani terang-terangan menentang Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Salah satunya adalah Bani Lihyan. Rasulullah Saw mendengar berita bahwa pemimpin Bani Lihyan bernama Khalid bin Sufyan, sedang mnegumpulkan pasukan untuk menyerang Kaum Muslimin. Berita ini sangat penting sebab Bani Lihyan termasuk keluarga Bani Hudhail. Bani Hudhail adalah suku yang besar. Bila Bani Hudhail sampai terpengaruh untuk ikut menyerang, kedudukan Kaum Muslimin menjadi sangat kritis. Apalagi bila mereka sampai bergabung dengan orang Quraisy. Untuk mengatasi hal itu, Rasulullah Saw tidak langsung mengirim pasukan, melainkan satu orang saja. Satu orang lihai dan amat cocok untuk tugas itu. Sahabat yang terpilih itu adalah Abdullah bin Unais.

Abdullah bin Unais berjalan menuju rumah Khalid bin Sufyan. Dengan sangat cerdik, ia memilih waktu ketika tak banyak pengikut Khalid bin Sufyan berada di sekitar rumah.

“Siapa kamu?” tegur Khalid bin Sufyan curiga.

“Saya dari golongan Arab juga,” jawab Abdullah bin Unais tanpa berbohong, “Saya mendengar Tuan mengumpulkan orang hendak menyerang Muhammad, karena itulah saya datang kemari.”

Khalid yang memang sedang membutuhkan banyak orang menyangka Abdullah bin Unais datang untuk bergabung. Maka ia pun berterus – terang bahwa ia memang benar sedang menyusun pasukan untuk membunuh Muhammad Saw.

Maka bukti pun sudah di tangan Abdullah bin Unais. Dengan cerdas dia bersandiwara terus sampai Khalid benar-benar percaya bahwa Abdullah akan bergabung. Abdullah bin Unais kemudian mengajak Khalid berjalan bersama sambil terus berunding. Ketika di luar rumah, secepat kilat Abdullah bin Unais mencabut pedang dan menghantam Khalid bin Sufyan sampai meninggal. Setelah itu Abdullah melaporjan keberhasilan tugasnya kepada Rasulullah Saw.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Farwah bin Amr al Judzamy RA
Asma' binti Abu Bakar Ash-Shiddiq RA
Ghassan Bin Malik Al Amiri RA
Qabishah Bin Mukhariq RA
Said Bin Zaid RA


Amr bin Salamah RA

Amr bin Salamah RA tinggal di suatu daerah yang sering dilalui orang-orang yang akan ke Madinah atau kembali dari kota itu. Ia masih anak-anak ketika orang-orang menceritakan tentang Nabi SAW dan wahyu-wahyu yang beliau terima. Ternyata Allah memberikan kelebihan kepada Amr kemampuan untuk menghafal, sehingga dari pembicaraan tersebut ia bisa menghafal beberapa ayat-ayat Al Qur'an, walaupun ia belum memeluk Islam. 

Setelah Fathul Makkah, Amr dan ayahnya serta beberapa orang dari kaumnya segera memeluk Islam, mereka belajar tentang syariat dan peribadatan dalam Islam. Ketika tiba masalah shalat jamaah, dicarilah imam, yakni yang paling banyak dan baik hafalan Al Qur'annya. Dan ternyata Amr bin Salamah yang terpilih, karena ia telah banyak mengetahui dan menghafal Al Qur'an sebelumnya. Padahal ia yang paling muda saat itu.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Amir bin Akwa RA
Abu Khaitsamah RA
Abu Dujanah RA
Maisarah bin Masruq al Absi RA
Dhimam bin Tsa’labah RA

Dzil Jausyan adh Dhibabi RA

Dzil Jausyan Adh Dhibabi adalah seorang penunggang kuda terbaik dari kalangan Bani Amir. Ia mempunyai seekor kuda terbaik bernama Al Qarha yang cukup terkenal. Ia belum masuk Islam, tetapi ia menghargai keberadaan Nabi SAW di Madinah. Setelah selesai Perang Badr, ia menunggangi kuda keturunan Al Qarha, untuk diberikan kepada Nabi SAW sebagai hadiah dan penghargaannya. 

Tetapi Nabi SAW tidak mau menerimanya begitu saja, kecuali jika menukarnya dengan baju-baju besi pilihan yang berasal dari ghanimah Perang Badr. Dzil Jausyan tidak mau dengan tukar-menukar itu, karena niatnya sejak awal memang untuk dihadiahkan tanpa pengganti, bahkan seandainya ditukar dengan yang lebih berharga seperti budak, ia tetap tidak bersedia. Sebaliknya Rasulullah SAW pun tidak bersedia karena memang tidak memerlukannya. 

Nabi SAW menyerunya masuk Islam sehingga ia akan menjadi orang-orang yang pertama dalam Islam (As Sabiqunal Awwalun). Tetapi seruan Nabi SAW belum diterimanya, dengan alasan kaum beliau sendiri masih menyakiti dan menghasut untuk tidak mengikuti agama Islam. Bahkan kekalahan kaum Qureisy di Badr belum bisa meyakinkannya, ia berkata, "Aku akan masuk Islam jika engkau dapat menaklukan Ka'bah dan mendudukinya." 

Maka Nabi SAW bersabda, "Semoga engkau masih hidup saat itu, dan engkau bisa menyaksikan peristiwa itu." 

Rasulullah SAW memerintahkan Bilal untuk mengambilkan sekarung kurma terbaik sebagai perbekalan, saat Dzul Jausyan akan kembali ke kabilahnya. Beliau juga memujinya sebagai penunggang kuda terbaik dari kalangan Bani Amir. 

Waktupun berlalu, seseorang membawa kabar ke kabilah Bani Amir kalau Nabi SAW telah menaklukan Mekkah dan mendudukinya, Dzul Jausyan berseru, "Celaka, ibuku kehilangan diriku (ungkapan penyesalan orang-orang Arab), seandainya aku memeluk Islam saat itu, dan meminta darinya sepetak tanah dari Hiirah, pasti beliau akan memberikannya." Begitulah, sesuai janjinya kepada Rasullullah SAW, Dzul Jausyan akhirnya memeluk Islam.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Said Bin Zaid Ra
Muhayyishah & Huwayyishah R.Huma
Anak Perempuan Hitam Bekas Budak
Hushain bin Ubaid al Khuzai RA
Lelaki Berkulit Hitam

Sunday, March 12, 2017

Dzakwan bin Abdul Qais RA

Dzakwan bin Abdul Qais RA berasal dari Bani Zuraiq dari suku Khazraj. Ia merupakan salah satu dari 12 sahabat Anshar yang mengikuti Ba'iatul Aqabah yang pertama.Malam sebelum terjadinya perang Uhud, Rasulullah SAW mengatur penjagaan, untuk menghindari kemungkinan penyerangan di waktu malam. Setelah menunjuk 50 orang sahabat untuk menjaga keseluruhan pasukan, beliau bersabda, "Siapakah di antara kalian yang bersedia menjagaku?"

Salah seorang sahabat berdiri, dan beliau bersabda, “Siapakah engkau?”

"Nama saya Dzakwan." Kata lelaki yang berdiri itu.

Nabi SAW menyuruhnya duduk kembali, kemudian beliau bertanya lagi, "Siapa lagi yang bersedia menjagaku?"

Salah seorang sahabat berdiri, dan beliaupun bersabda, “Siapakah engkau?

Nama saya Abu Saba!" Kata lelaki itu.

Nabi SAW menyuruhnya duduk kembali, kemudian beliau lagi bertanya seperti itu. Kali inipun seseorang berdiri, dan beliau bertanya lagi seperti tadi, “Siapakah engkau?”

"Nama saya Ibnu Abdul Qais."

Nabi SAW memerintahkan tiga orang itu untuk menghadap di tenda beliau. Tetapi ternyata hanya satu orang saja yang hadir, beliaupun bertanya, "Dimana dua orang temanmu tadi?"

"Wahai Rasulullah SAW," Kata orang itu, "Saya-lah orangnya yang berdiri sampai tiga kali itu. Saya ini Abu Saba’, Dzakwan bin Abdul Qais" Rasulullah SAW pun tersenyum dan mendoakannya dengan kebaikan, dan memerintahkan dirinya untuk menjaga beliau. Jadilah dia begadang semalaman untuk menjaga tenda Rasulullah SAW sendirian.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Qabishah Bin Mukhariq RA
Abdullah bin Ja'far RA
Putra-putri Rasulullah SAW
Abu Salamah RA
Abu Bashir RA

Ibnu Abil Auja' as Sulami RA

Ibnu Abil Auja' as Sulami diutus Nabi SAW untuk mendakwahi kaumnya, Bani Sulaim, bersama 50 orang sahabat lainnya. Ternyata keberangkatannya ini diketahui oleh seorang mata-mata yang melaporkan kepada Bani Sulaim, dan menyatakannya sebagai ancaman. Karena itu merekapun mempersiapkan diri dengan pasukan yang cukup besar. 

Ketika sampai di perkampungannya dan melihat pasukan besar yang menyambut kedatangannya, Ibnu Abil Auja menghampiri mereka, dan menyeru untuk masuk Islam, tetapi mereka berkata, "Kami tidak mempunyai keperluan apapun dengan apa yang kamu serukan itu…!" 

Setelah itu mereka mengepung dan menyerang pasukan muslimin dengan anak panah. Tidak ada pilihan lain bagi Ibnu Abil Auja' dan pasukannya, kecuali melakukan perlawanan. Mereka bertempur dengan dahsyatnya, tetapi karena pasukan musuh memang jauh lebih banyak, sebagian besar sahabat gugur sebagai syahid. Ibnu Abil Auja' dengan beberapa orang sahabat berhasil lolos dalam keadaan luka parah, dan dengan susah payah kembali ke Madinah dan tiba pada bulan Safar tahun 8 hijriah. Peristiwa ini sendiri terjadi sekembalinya Rasulullah SAW dari Umrah Qadha pada bulan Dzulhijjah tahun 7 hijrah.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Syurahbil bin Hasanah RA
Perjalanan Hidup Utbah bin Rabi’ah Hingga Ajalnya
Zaid bin Tsabit RA
Umair bin Saad RA
Zubair bin Awwam RA

Syurahbil bin Hasanah RA

Di waktu ashar, Syurahbil bin Hasanah sedang duduk di rumahnya. Tiba-tiba datang mertuanya, Syifa binti Abdullah yang langsung saja mencela sikapnya, karena masih saja di rumah tidak bergegas ke masjid untuk shalat bersama Rasulullah SAW. 

Syurahbil berkata, "Wahai bibi, jangan memarahiku. Aku hanya mempunyai sehelai pakaian (untuk shalat), dan itu sedang dipinjam Rasulullah SAW." 

Syifa jadi menyesal, karena ia baru saja ia datang pada Nabi SAW untuk meminta sesuatu, tetapi tidak memperoleh apa-apa dan ia sempat menggerutu. Ketika hal ini disampaikan kepada menantunya, Syurahbil berkata, "Wahai bibi, Itu hanya pakaian panjang yang baru saja kami tambal." 

Syifapun makin menyesali sikapnya kepada Rasulullah SAW. 

Pada masa khalifah Abu Bakar, sebuah pasukan besar dikirm ke Syiria atau Syam untuk memerangi pasukan Romawi. Komandan utama adalah Abu Ubaidah bin Jarrah, dan Abu Bakar menunjuk beberapa pimpinan pasukan di bawahnya seperti Amr bin Ash, Khalid bin Sa’id bin Ash, dan termasuk Syurahbil bin Hasanah.
Setelah pasukan siap diberangkatkan, ternyata ada usulan agar Khalid bin Sa’id diganti, dan Abu Bakar datang sendiri menemui Khalid untuk meminta maaf, dan memintanya bergabung sebagai prajurit biasa pada kelompok pasukan yang disukainya. Maka dengan lapang dada Khalid bin Sa'id bin al Ash berkata, "Demi Allah, tidaklah saya gembira dengan pengangkatan anda, dan tidak juga bersedih dengan pemberhentian Anda. Anak pamanku (yakni Amr bin Ash) aku sukai karena ia masih kerabatku, tetapi Syurahbil lebih kucintai karena agamanya!" 

Akhirnya Khalid bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh Syurahbil bin Hasanah.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Ibnu Abil Auja' as Sulami RA
Abu Hurairah RA
Ummu Abu Hurairah RA
Hanzhalah Bin Rabi RA
Usaid bin Hudhair RA

Asma binti Umais RA

Asma binti Umais dipanggil juga dengan nama Ummu Abdullah. Ia adalah salah seorang wanita mukmin yang telah mendapat pengesahan dari Rasulullah. Ketika itu, Rasulullah bersabda, “Ada empat wanita mukmin, yaitu Maimunah, Ummu Fadhal, Salma, dan Asma, Asma binti Umais adalah istri salah seorang sahabat Rasulullah, yaitu Ja’far bin Abu Thalib.

Pada suatu masa Rasulullah memerintahkan kaum muslim berhijrah ke Habsyah, Asma dan Ja’far bin Abu Thalib termasuk kaum muslim yang berhijrah ke daratan Afrika itu. Mereka menempuh perjalan panjang yang sangat melelakan.

Sekali pun mendapat kebebasan untuk beribadah, Asma dan suaminya sangat merindukan Rasulullah. Di Habsyah, Asma dan Ja’far dikaruniai tiga orang anak yang bernama Abdullah, Muhammad dan Aunan. Ketika memperolah kabar bahwa Rasulullah memerintahkan untuk berhijrah ke Madinah, mereka sangat bahagia. Dengan demikian, kerinduan mereka terhadap Rasulullah akan terobati.

Ketika Asma dan Ja’far sampai di Madinah, kaum muslim baru saja memenangkan peperangan Khaibar. Kedatangan Ja’far dan Asma disambut oleh Rasulullah dengan gembira. Saat itu Rasulullah berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu mana yang lebih menggembirakanku, kemenangan Khaibar ataukah kedatangan Ja’far.”
Pada suatu hari, Asma masuk ke rumah Hafsah binti Umar. Saat itu, Rasulullah baru saja menikahi Hafsah binti Umar. Ketika Asma berada di dekat, Umar masuk ke rumah tersebut. Setelah itu Umar bertanya, “Siapakah wanita ini.?” Hafsah menjawab, “Dia adalah Asma binti Umais.” Umar berkata, “Inikah wanita yang datang dari Habsyah?” Asma berkata, “Benar.” Selanjutnya, Umar berkata, “Kami telah berhijrah terlebih dahulu bersama Rasulullah dibandingkan kalian. Oleh karena itu, kami lebih berhak terhadap diri Rasulullah daripada kalian.” Mendengar perkataan Umar, Asma sangat marah. Ia berkata, “Tidak, demi Allah. Kalian bersama Rasulullah dan Rasulullah memberi makanan diantara kalian yang lapar, mengajari di antara kalian yang bodoh. Sementara itu, kami berada di negeri yang jauh dan tidak kami sukai. Kami melakukannya karena ketaatan kami kepada Allah dan Rasul-Nya.

Setelah itu, Asma mengadukan perkataan Umar kepada Rasulullah. Terhadap permasalahan tersebut, Rasulullah bersabda, “Tidak ada seorangpun yang berhak atas diriku melebihi kalian. Adapun dia (Umar dan para sahabat yang lain) berhijrah satu kali, tetapi kalian ahlus safinah ( yang menumpang kapal ) telah berhijrah dua kali.” Mendengar sabda Rasulullah tersebut, Asma pun menjadi sangat senang.

Asma binti Umais Yang Tabah Pada suatu masa, Ja’far bin Abu Thalib ditunjuk oleh Rasulullah sebagai panglima pasukan. Ketika itu, Ja’far adalah salah seorang dari tiga panglima yang memimpin pasukan muslim dalam Perang Muktah.

Dalam peperangan tersebut, Ja’far mati syahid. Rasulullah sendiri yang langsung menyampaikan berita gugurnya kepada istri Ja’far, Asma binti Umais. Ketika itu, Rasulullah mendatangi Asma di rumahnya. Rasulullah mencium ketiga anak Ja’far dengan berlinang air mata. Asma yang melihat kejadian itu dapat menebak sesuatu yang terjadi. “Apakah ada kabar tentang Ja’far?” tanya Asma dengan nada sedih. Rasulullah menjawab, “Ya. Dia telah gugur.” Air mata Asma pun berderai. Namun tidak lama kemudian, ia mengusap air matanya. Ia tampak sangat tabah menerima keadaan tersebut.
Asma mengasuh ketiga anaknya dengan penuh kasih sayang. Ia mengajarkan anak-anaknya nilai-nilai Islam. Ia berharap ketiga anaknya mengikuti jejak ayah mereka, yaitu berjuang menegakkan agama Allah.

Setelah beberapa waktu menjanda, Asma dipinang oleh Abu Bakar, Asma menerima pinangan Abu Bakar. Sejak saat itu, Asma dan ketiga anaknya tinggal bersama Abu Bakar. Pernikahan mereka dikaruniai seorang anak lelaki. Asma juga mendampingi AbuBakar saat menjabat sebagai khalifah. Setelah beberapa tahun menjadi khalifah, Abu Bakar sakit parah dan meninggal dunia. Asma sangat sedih kehilangan suami yang sangat mempercayainya.

Beberapa waktu kemudian, seorang lelaki melamar Asma, Lelaki itu adalah saudara Ja’far bin Abu Thalib, yaitu Ali bin Abu Thalib. Asma tidak langsung menerimanya. Ia berpikir beberapa waktu. Setelah mempertimbangkan segala hal, Asma menerima lamaran Ali bin Abu Thalib. Asma menikah dengan Ali bin Abu Thalib. Ketika itu, Fatimah Az-Zahra, istri Ali telah meninggal.

Asma binti Umais Yang Bijaksana Pernikahan Ali dan Asma dianugerahi dua anak lelaki. Asma binti Umais mendidik anak-anaknya sesuai dengan ajaran agama Islam, baik anak dari Ja’far, Abu Bakar, maupun anak dari Ali.

Suatu ketika, Ali melihat anak dari Ja’far berselisih dengan anak dari Abu Bakar. Mereka saling membanggakan diri mereka dan ayah mereka. Salah seorang dari mereka berkata, “Aku lebih baik dari kamu dan ayahku lebih baik dari ayahmu.” Melihat kejadian itu, Ali tidak dapat berbuat apa-apa.

Kemudian, Ali memanggil Asma untuk menyelesaikan permasalahan di antara kedua anak tersebut. Saat itu, Asma berkata, “Aku tidak melihat seorang pemuda di Arab yang lebih baik dari pada Ja’far dan aku tidak pernah melihat orang tua yang lebih baik dari pada Abu Bakar.” Setelah mendengar perkataan Asma, keduanya saling berangkulan. Mereka pun bermain bersama-sama.

Ali mengagumi tindakan Asma. Perkataan Asma yang bijaksana telah menyelesaikan perselisihan di antara kedua anaknya.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Habib Bin Zaid RA
Abdullah bin Amr bin Haram al Anshary RA
Tsa'labah Bin Abdurrahman RA
Sa’ad bin Ubadah RA
Zaid al Khoir RA

Ummu Syarik RA (Ghazyah binti Jabir)

Ghazyah binti Jabir bin Hakim bin Hakim Al Quraisyiyah Al Amiriyah, lebih dikenal dengan nama Ummu Syarik merupakan salah satu wanita yang masuk Islam pada masa awal, ketika masih berada di Makkah. Ketika keislamannya diketahui oleh keluarganya, iapun mengalami penyiksaan sebagaimana orang-orang muslim pada masa awal. Mereka membawa Ummu Syarik dengan unta yang paling buruk ke tengah padang pasir. 

Pada saat itu panas sedang memuncak, semua keluarganya masuk ke dalam tenda, sedang ia dibiarkan di tengah terik dalam keadaan berdiri dan terikat, ia diberi roti dan madu tetapi tanpa air minum. Ia diperlakukan begitu buruk dan keji selama tiga hari berturut-turut sehingga pikiran, pendengaran dan penglihatannya terganggu. 

Dalam keadaan seperti itu, mereka berkata, "Tinggalkan agama Muhammad dan apa yang engkau yakini itu!"
Tetapi keadaannya yang begitu lemah dan payah menyebabkan Ummu Syarik tidak bisa memahami perkataan mereka, hanya saja, untuk mengekspresikan keimanannya, jarinya menunjuk ke atas, yang ia maksudkan dengan ketauhidan yang tak bisa diganggu gugat. Merekapun membiarkannya seperti semula, dalam terik membakar dan rasa haus yang tak tertahankan. 

Dalam keadaan yang makin lemah dan setengah sadar, tiba-tiba dirasakan Ummu Syarik dinginnya air dalam ember yang melekat di dadanya, spontan ia meraih dan meminumnya. tetapi baru seteguk ember itu terlepas, ketika membuka matanya, ember itu tampak tergantung tanpa tali beberapa meter di atas bumi, yang tak mungkin ia meraihnya. Tetapi ember itu turun lagi, ia meraih dan meminumnya dan kemudian terangkat lagi. Untuk ketiga kalinya turun, Ummu Syarik meminumnya sampai puas dan menyiramkannya ke kepala dan tubuhnya. 

Mendengar suara air tersebut, keluarganya berhamburan keluar dari tenda dan berseru, "Darimana semua ini, wahai musuh Allah?" 

Ummu Syarik yang telah memperoleh kekuatannya kembali berkat air yang telah diminumnya itu, menjawab, "Bukan aku yang musuh Allah, tetapi orang-orang yang menentang agamaNya. Apa yang kalian pertanyakan ini dari sisi Allah, rezeki yang dianugerahkan Allah kepadaku." 

Anehnya, wadah air yang tadinya kering, penuh berisi air. Mereka memeriksa wadah air lainnya, dan semua berisi air dingin segar yang tidak diketahui darimana asalnya. Mereka kembali ke tempat Ummu Syarik, melepaskannya dan berkata, "Kami bersaksi bahwa Tuhanmu adalah Tuhan kami juga, yang memberikan rezeki kepadamu setelah apa yang kami lakukan padamu di tempat ini. Dialah yang mensyariatkan Islam."
Setelah itu mereka semua masuk Islam. Ummu Syarik tetap tinggal di Makkah bersama suaminya, Abul Askar Ad Dausi hingga dakwah Nabi SAW tersebar luas dan mencapai kemasyhurannya

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Ahnaf bin Qais RA
Abdullah bin Mughaffal al Muzanni RA
Abu Umamah, Shudday bin Ajlan RA
Umair bin Hammam al Anshari RA
Amr bin Anbasah RA

Jenazah Ahli Surga

Seorang lelaki meninggal dunia, Rasullullah SAW ikut serta dalam pengurusan jenazah orang tersebut. Ketika akan dishalatkan, Umar bin Khaththab yang memang terkenal kritis, berseru kepada Nabi SAW, "Wahai Rasullullah, janganlah engkau shalati dia, dia seorang penjahat."

Mendengar ucapan dan sikap Umar ini, Rasulullah SAW menghadapkan diri pada khalayak, dan menanyakan kalau ada seseorang yang melihat jenazah ini pernah melakukan suatu amalan Islam selama hidupnya. Seseorang berkata, "Benar Rasulullah, saya pernah meronda malam bersamanya di medanjihad."

Nabi SAW menyalatkan jenazahnya dan menaburkan debu (pasir) kepadanya, kemudian beliau bersabda, "Sahabat-sahabatmu mengira engkau adalah ahli neraka, dan aku bersaksi bahwa engkau adalah ahli surga."

Lalu beliau berpaling kepada Umar dan bersabda, "Janganlah kamu bertanya mengenai amalan manusia, tetapi bertanyalah tentang fitrahnya."

Maksud Rasulullah SAW adalah mencegah agar Umar, dan kita umat Islam semuanya, untuk tidak terlalu mengungkit amal kejelekan seseorang, sementara ia telah meninggal, tetapi lebih dikedepankan bagaimana fitrah keislamannya, termasuk amal kebaikannya walau terlihat hanya simple dan sedikit.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Ummu Syarik RA (Ghazyah binti Jabir)
Jarir bin Abdullah al Bajali RA
Suraqah bin Malik bin Ju'syum RA
Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy RA
Sa'd bin Khaitsamah RA dan Khaitsamah bin Harits RA

Dua Tawanan Musailamah al Kadzdzab

Dua orang muslim tertawan oleh orang-orang Musailamah al Kadzdzab, sang nabi palsu. Musailamah bertanya kepada salah satunya, "Engkau mengakui bahwa aku adalah rasulullah?" 

"Tidak, tetapi Muhammad yang Rasulullah, sedang engkau seorang pendusta" Jawab salah satu prajurit muslim tersebut. 

Musailamah sangat marah mendengar jawaban tersebut dan membunuhnya. Kemudian dihadapkan tawanan lainnya, Musailamah memberikan pertanyaan yang sama, "Engkau mengakui bahwa aku adalah rasulullah?"
Tawanan muslim ini menjawab, "Engkau, dan Muhammad adalah utusan Allah." 

Suatu jawaban yang diplomatis, dan tawanan muslim itu dibebaskan oleh Musailamah. Ketika kabar ini sampai kepada Nabi SAW, dengan tersenyum beliau bersabda, "Yang pertama, ia berlalu dengan tekad dan keyakinannya, surgalah balasannya. Yang kedua, ia mengambil ruqshah (keringanan/dispensasi) Allah, tidak ada dosa baginya."

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Basyir bin Khashashiyyah RA
Tsabit bin Qais bin Syammas RA
Ashim bin Tsabit al Anshari RA
Abdurrahman Bin Auf RA
Anas bin Abu Martsad al Ghanawi RA

Abdullah bin Zaid al Anshari RA

Pada masa Khalifah Umar, ketika sekelompok pasukan kembali dari medan pertempuran, Abdullah bin Zaid masuk ke masjid, kemudian Umar memanggilnya dan bertanya tentang kabar yang dibawanya, ia berkata, "Sesungguhnya aku membawa berita, ya Amirul Mukmimin…"

Abdullah bin Zaid menceritakan bahwa dalam suatu pertempuran tengah berlangsung, ada sekelompok sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang sempat melarikan diri dari perang, dan mereka jadi sedih ketika melihat Umar. Mendengar ceritanya itu, Umar berkata, "Janganlah kalian bersedih hati, wahai kaum muslimin. Sesungguhnya kalian adalah dalam kumpulanku."

Umar menghibur mereka yang bersedih, antara lain adalah Mu'az al Qary. Umar juga menjelaskan kepada sahabat Sa'ad bin Ubaid, bahwa pada jaman Nabi SAW pernah terjadi seorang sahabat mundur dari pertempuran dan beliau memakluminya. Dan setelah berlalu beberapa waktu lamanya, Nabi SAW menggelari sahabat tersebut al Qari, karena prestasi dan kemampuannya dalam hal Al Qur’an.

Abdullah bin Zaid adalah salah satu sahabat yang mengikuti perang Badar (Ahlu Badar). Ketika terjadi penyerbuan kota Madinah oleh pasukan Yazid bin Muawiyah pada Bulan Dzulhijjah tahun 36 hijriah, Amir para sahabat Anshar, yaitu Abdullah bin Hanzhalah memba'iat orang-orang Madinah atas maut. Ketika hal ini dilaporkan kepada Abdullah bin Zaid, ia berkata, "Aku tidak berba'iat kepada siapapun untuk mati, sepeninggal Rasulullah SAW."

Walau penyerangan kota Madinah sangatlah dilaknat, tetapi bagi Abdullah bin Zaid, ia tidak ingin ‘berjuang’ mati-matian karena yang mereka hadapi adalah masih sesama saudara muslim. Ia lebih mengedepankan ishlah, perbaikan hubungan dengan mereka itu. Hanya saja, ternyata kemudian pasukan Yazid bin Muawiyah tersebut sangatlah dzalim dan kejamnya. Banyak sekali penduduk Madinah, bahkan termasuk ratusan atau mungkin ribuan sahabat Nabi SAW ikut dibantai oleh pasukan dari Syam tersebut.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Dua Tawanan Musailamah al Kadzdzab
Said Bin Zaid RA
Sawad bin Ghaziyyah RA
Asma' binti Abu Bakar Ash-Shiddiq RA
Qabishah Bin Mukhariq RA

Ahnaf bin Qais RA

Ahnaf bin Qais RA adalah seorang lelaki dari Bani Sa'd. Ketika Nabi SAW mengirimkan seorang lelaki dari Bani Laits untuk mengajak kabilah Bani Sa'd untuk memeluk Islam, ia tidak memperoleh sambutan yang diharapkan, tetapi saat itu Ahnaf bin Qais berkata kepada utusan Nabi SAW tersebut, "Sesungguhnya engkau menyeru kami kepada kebaikan, dan memerintahkan kami untuk melakukan hal itu. Apakah beliau juga menyeru kepada kebaikan?"

Utusan Nabi SAW tersebut membenarkannya, dan Ahnaf-pun akhirnya memeluk Islam, walau mungkin ia hanya sendirian saat itu.

Berlalulah waktu, sampai pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Saat itu Ahnaf sedang thawaf di Baitullah, ketika seorang lelaki memegang tangannya, yang ternyata lelaki Bani Laits yang pernah berdakwah di kaumnya. Ia berkata kalau punya kabar gembira buat Ahnaf. Sepulangnya dari mengajak Bani Sa'd untuk memeluk Islam, ia menceritakan pada Nabi SAW apa yang dialaminya, termasuk ucapan Ahnaf. Nabi SAW kemudian mendoakan Ahnaf, agar Allah memberikan ampunan kepadanya.

Mendengar cerita lelaki tersebut, Ahnaf langsung berseru gembira, "Tiada aku berharap kepada sesuatu, yang lebih besar daripada harapanku atas doa Rasullullah tersebut."

Seorang keponakan Ahnaf pernah datang kepadanya dan mengeluhkan musibah yang dialaminya, tetapi Ahnaf tidak memperdulikannya. Tetapi sang keponakan masih saja datang lagi sampai beberapa kali dengan keluhan yang sama.

Melihat perilakunya itu, Ahnaf berkata, "Wahai keponakanku, jika musibah menimpamu, keluhkanlah kepada Dzat yang memiliki jalan pemecahan masalahmu itu, jangan engkau keluhkan kepada mahlukNya. Manusia di hadapanmu ada dua macam, yaitu sahabat yang harus kau santuni, dan musuh yang harus kau caci maki. Wahai keponakanku, lihatlah salah satu mataku ini, demi Allah, aku tidak bisa melihat dengannya benda-benda yang kecil ataupun gunung semenjak empat puluh tahun lalu. Dengan keadaan itu, aku tidak bisa melihat istriku dan juga anggota keluargaku."

Baca Juga :
Abu Sufyan bin Harb RA
Nu'man bin Muqarrin RA
Amr Bin Tsabit Al Waqsy (Al Ushairim) RA
Abbad bin Bisyr al Anshari RA
Shuhaib bin Sinan RA

Abu Sufyan bin Harb RA

Pada zamannya, Abu Sufyan adalah seorang saudagar yang terkemuka di wilayah Arab, ia telah berdagang hingga ke negeri Syam dan negeri-negeri di wilayah Arab. Selain sebagai seorang saudagar, Abu Sufyan bin Harb adalah juga salah seorang tokoh Quraisy. Ia adalah seorang yang senang dipuji dan dibanggakan oleh orang. Apabila ia melakukan perjalanan, ia sering kali membawa panji para pemimpin Quraisy yang dikenal dengan nama ‘Al-Uqab’. Panji itu hanya dipegang oleh pemimpin Quraisy, pada masa peperangan panji itu dibawa oleh Abu Sufyan bin Harb.

Pada suatu masa, Rasulullah mulai menyebarkan ajarannya, saat itu, Abu Sufyan adalah salah seorang yang sangat menentang dan memusuhi Rasulullah. Peran Abu Sufyab dalam memerangi Islam terlihat pada beberapa peristiwa. Abu Sufyan ikut serta dalam rombongan kaum Quraisy yang mendatangi Abu Thalib, paman Rasulullah. Ketika itu, kaum Quraisy meminta Abu Thalib untuk menyerahkan Nabi Muhammad untuk dipenggal kepalanya. Abu Sufyan juga berperan serta dalam pembuatan surat pernyataan pengasingan Bani Hasyim. Ketika itu, Rasulullah dan pengikutnya menderita karena tidak mendapatkan pasokan makanan.

Pada suatu ketika, ajaran agama Islam telah menyebar hingga ke Madinah. Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan kaum muslim di Mekkah untuk berhijrah ke Madinah. Di Madinah, kaum muslim Mekkah diterima dengan baik oleh penduduk Madinah. Mereka dapat hidup dengan tenteram dan damai. Beberapa lama kemudian, terjadi peperangan di Badar antara tentara Muslim dan tentara Quraisy. Peperangan itu berakhir dengan kemenangan oleh tentara kaum muslim. Kaum Quraisy merasa terhina dan menyimpan rasa dendam kepada kaum muslim.

Kurang dari setahun, kaum Quraisy telah berhasil mempersatukan kabilah-kabilah di Mekkah dan sekitarnya untuk menyerang Rasulullah dan kaum muslim di Madinah. Mereka mengumpulkan dana untuk membiayai peperangan tersebut. Sumber dana diambil dari sebagian keuntungan penjualan barang dagangan mereka.

Angkatan perang Quraisy yang berjumlah lebih dari 3.000 orang tentara yang dipimpin oleh Abu Sufyan. Mereka berangkat ke Madinah dengan membawa tuhan mereka yang paling besar, yaitu berhala Hubal. Dalam iringan pasukan Quraisy, terdapat perempuan-perempuan yang bernyanyi, dan Minuman mereka minuman keras dan berbagai macam alat musik dibawa turut serta. Istri Abu Sufyan, Hindun binti Uqbah, juga ikut serta dalam rombongan itu. Sehingga peperangan tejadi di gunung Uhud. Kali ini, peperangan berakhir dengan kemenangan tentara Quraisy. Tentara muslim kalah setelah parah pemanah tidak mematuhi perintah Rasulullah. Para pemanah telah meninggalkan pos-pos mereka. Hal itu memudahkan tentara Quraisy untuk menyerang pertahanan tentara muslim.

Setelah perang usai, Abu Sufyan yang berada di puncak Gunung Uhud berteriak meminta kaum muslim untuk menyembah berhala Hubal. Kemudian, Rasulullah memerintahkan kepada Umar untuk menjawab ajakan Abu Sufyan. Umar pun menjawab, “Allah Maha Agung”, mayat orang-orang kami berada di surga, sementara mayat orang-orang kalian berada di neraka.”

Kemudian, Abu Sufyan meminta Umar untuk mendekat kepadanya. Rasulullah pun memerintahkan Umar untuk mendekatinya. Setelah Umar mendekat. Abu Sufyan bertanya, “Wahai Umar, katakan kepadaku apakah pasukan kami berhasil membunuh Muhammad?”. Pada Perang Uhud telah tersebar berita bohong yang mengatakan bahwa Rasulullah telah terbunuh. Umar menjawab, “Demi Allah, tidak, ia masih mampu mendengar perkataanmu.” Kemudian, Abu Sufyan berkata, “Aku lebih percaya kepadamu dari pada Ibnu Qamiah yang mengatakan ia telah berhasil membunuh Muhammad !”

Sebelum kembali ke Mekkah, Abu Sufyan juga berkata, “Kita akan bertemu lagi di tahun mendatang di Badar,” Rasulullah memerintahkan seorang sahabat untuk menjawab tantangan Abu Sufyan. Sesuai perintah Rasulullah, sahabat itu menjawab, “Kami akan sambut tantanganmu.” Demikianlah, Abu Sufyan adalah seorang yang sangat memusuhi agama Islam pada awalnya. Kelak, ia tidak dapat menyangkal sedikit pun tentang kebenaran ajaran agama Islam. 

Abu Sufyan bin Harb Yang Ketakutan
Perang Uhud telah berakhir. Abu Sufyan dan pasukannya hendak kembali ke Mekkah. Dalam perjalanan tersebut ada seorang yang mengusulkan untuk menyerbu kaum muslim di Madinah. Ternayata Abu Sufyan menyetujui usul tersebut. Sementara itu, Rasulullah yang berada di Madinah merasa tidak tenang. Ia khawatir pasukan Quraisy akan melakukan penyerangan ke Madinah. Ternyata benar, Rasulullah mendengar kabar bahwa pasukan Quraisy hendak menyerang kota Madinah dan dalam perjalan ke Ar-Rauha. Oleh karena itu, Rasulullah menyeru kaum muslim bersiap untuk perang. Mereka harus berangkat ke medan perang, padahal saat itu banyak kaum muslim yang terluka sepulang dari Perang Uhud. Namun kaum muslim mematuhi perintah Rasulullah. Pasukan muslim tiba di Hamra’ul Asad.

Saat di Hamra’ul Asad, datang seorang yang bernama Mabad menemui Rasulullah. Mabad adalah seorang dari suku Khuzab. Ia menyatakan keinginannya untuk memeluk agama Islam. Rasulullah pun mengislamakannya. Setelah itu Rasulullah memerintahkan Mabad untuk menemui Abu Sufyan di Ar-Rauha. Sesampai di Ar-Rauha. Mabad menemui Abu Sufyan. Saat itu, Abu Sufyan tidak mengetahui bahwa Mabad telah memeluk agama Islam. Mabad berkata, “Aku melihat tentara Muhammad dalam jumlah besar dan persenjataan yang lengkap. Mereka hendak mengejarmu dan menuntut balas atas kekalahan mereka.”

Abu Sufyan, “Ah, kamu berbohong.” Mabad berkata, “Jika engkau tidak percaya kepadaku, tunggulah kedatangan pasukan Muhammad. Pasti, engkau akan hancur nanti.” Abu Sufyan berkata dengan sombongnya, “Kalau demikian, aku akan mengumpulkan kekuatan. Setelah itu, kami akan membinasakan mereka,” Mabad berkata, “Jangan engkau lakukan itu. Jumlah tentaramu lebih sedikit dibandingkan mereka. Aku khawatir engkau dan pasukanmu akan dihancurkan oleh tentara Muhammad.” Raut wajah Abu Sufyan berubah setelah mendengar perkataan Mabad. Akhirnya, Abu Sufyan kembali ke Mekkah. Ia benar-benar ketakutan membayangkan Rasulullah dan tentaranya menyerang pasukannya. Berita dari Mabad mempengaruhi dirinya. 

Abu Sufyan Dalam Perang Khandak
Pada suatu masa, Abu Sufyan kembali berhasil mengerahkan pasukan Quraisy. Mereka hendak menyerang Madinah. Tentara Quraisy merupakan gabungan dari kabilah Arab dan Yahudi. Oleh karena itu, mereka disebut tentara sekutu. Tentara sekutu dipimpin oleh Abu Sufyan dan jumlahnya mencapai 10.000 orang. Mereka yakin mampu memusnahkan seluruh penduduk Madinah. Berita kedatangan pasukan Quraisy telah sampai di telinga Rasulullah. Oleh karena itu, Rasulullah pun bersiap diri dengan membuat parit di sekitar Kota Madinah. Saat itu, Rasulullah hanya berhasil mengumpulkan tentara muslim sebanyak 3.000 orang.

Alangkah terkejutnya Abu Sufyan dan tentaranya, ketika mereka sampai di pinggir Kota Madinah. Kota Madinah di kelilingi oleh parit yang besar dan benteng pertahanan yang kokoh. Akibatnya, tentara Quraisy hanya dapat berkemah dipinggir parit. Mereka ingin mencoba mencari cela atau jalan yang dapat ditembus. Namun, mereka tidak menemukannya.

Pada waktu itu, kaum muslim di kota Madinah sangat ketakutan. Hal ini dikarenakan mereka menghadapi musuh dari luar, yaitu tentara Quraisy dan Bani Ghathafan serta musuh dari dalam, yaitu Bani Quraizhah. Ketakutan kaum muslim digambarkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 10-11. “Ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam prasangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan guncangan yang sangat hebat.”

Pada masa itu, Nuaim bin Mas’ud yang berasal dari Bani Ghathafan menemui Rasulullah . Ia menyatakan bahwa dirinya telah memeluk agama Islam dan menawarkan bantuan. Rasulullah memerintahkan kepada Nuaim untuk menyusup ke tempat musuh.

Kemudian, Nuaim bin Mas’ud pergi mendatangi Bani Quraizhah. Bani Quraizhah adalah kaum Yahudi di Kota Madinah. Mereka tidak mengetahui bahwa Nuaim telah menjadi anggota muslim. Nuaim menyatakan bahwa sesungguhnya kaum Quraisy dan kaum Ghathafan hanya merasa sebagai pendatang. Apabila ada kesempatan, mereka akan meninggalkan Bani Quraizhah, sehingga ia akan berperang sendirian untuk mengahadapi tentara muslim. Kepada mereka, Nuaim menyarankan agar Bani Quraizhah tidak mau berperang bersama kaum ghathafan dan kaum Quraisy, kecuali kaum Quraisy dan Ghathafan menyerahkan tokoh-tokoh mereka sebagai jaminan.

Setelah itu, Nuaim mendatangi tempat kaum Quraisy, Nuaim memberikan beberapa nasihat kepada kaum Quraisy. Mereka menganggap Nuaim ada di pihak mereka. Mereka tidak mengetahui bahwa Nuaim telah menjadi muslim. Mereka pun menerima nasihat Nuaim. Ketika itu, Nuaim berkata, ”Apabila orang-orang dari Bani Quraizhah meminta jaminan tokoh-tokoh kalian, janganlah kalian menyerahkannya. Tokoh- tokoh kalian hanya akan mereka serahkan kepada Muhammad. Dengan demikian, Muhammad dan Bani Quraizhah akan bersatu untuk mengusir kalian dari Madinah.”

Kemudian, Nuaim menemui kaum Ghathafan seperti halnya yang ia katakan kepada kaum Quraisy. Pada pagi harinya, Abu Sufyan yang memimpin kaum Quraisy mengirim utusan kepada Bani Quraizhah. Abu Sufyan meminta Bani Quraizhah untuk membantu melawan tentara muslim. Namun, pemimpin Bani Quraizhah tidak mau membantu jika kaum Quraisy tidak menyerahkan tokoh-tokohnya sebagai jaminan. Saat itulah terjadi perdebatan antara kaum Quraisy dan Bani Quraizhah.

Sementara itu, Allah memberikan pertolongan dengan mengirimkan angin topan. Perkemahan tentara Quraisy menjadi porak poranda. Peristiwa ini dikisahkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Azhab ayat 9, “Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan Allah maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan.”

Abu Sufyan dan pasukannya merasa putus asa. Kemudian mereka memutuskan untuk kembali ke Kota Mekkah. 

Abu Sufyan Memeluk Agama Islam
Pada tahun keenam Hijrah, Rasulullah dan kaum Quraisy menyepakati suatu perjanjian damai. Perjanjian itu dikenal dengan nama Perjanjian Hudaibah, mereka pun dapat hidup damai. Sudah sejak lama, Bani Khuza’ah dan Bani Khuza’ah bermusuhan. Permusuhan mereka berakhir setelah disepakati perjanjian Hudaibah. Ketika itu, Bani Khuza’ah bersekutu dengan Rasulullah, sedangkan Bani Bakar bersekutu dengan kaum Quraisy.

Pada bulan Sya’ban tahun kedelapan Hijrah, Bani Bakar menyerang Bani Khuza’ah. Banyak orang dari Bani Khuza’ah yang terbunuh. Di antara Bani Khuza’ah yang selamat meminta pertolongan kepada Rasulullah. Rasulullah segera mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Kota Mekkah. Sejak itu, orang-orang Quraisy merasa telah melakukan kesalahan yang fatal, seperti halnya orang Quraisy lainnya, Abu Sufyan bin Harb juga merasa gelisih. Kemudian, orang-orang Quraisy meminta Abu Sufyan untuk pergi menemui Rasulullah. Tujuannya adalah untuk membujuk Rasulullah untuk mengadakan perjanjian damai yang kedua. Lalu ia pergi ke Madinah tanpa pasukan dan tanpa senjata.

Sejak beberapa waktu sebelumnya, Abu Sufyan telah menyadari kebenaran ajaran agama Islam. Namun nafsunya terhadap kekuasaan menghalangi dirinya untuk memeluk agama Islam. Ia takut kehilangan kekuasaannya sebagai pemimpin kaum Quraisy. Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Ternyata, Abu Sufyan tidak lama memimpin kaum Quraisy karena Rasulullah akan segera menaklukan Kota Mekkah.

Ketika ia sampai di Madinah, Abu Sufyan mendatangi rumah Ummu Habibah, putrinya yang menjadi istri Rasiulullah, setelah masuk rumah, Abu Sufyan hendak duduk ditikar. Akan tetapi, Ummu Habibah segera melipatnya tikar tersebut, sehingga Abu Sufyan terkejut melihat tindakan anaknya (Ummu Habibah). Ummu habibah berkata, “Ini adalah tikar Rasulullah saw, sedang engkau adalah seorang musyrik yang najis. Aku tidak ingin engkau duduk di atas tikar Rasulullah. Abu Sufyan marah dan berkata, “Demi Allah, engkau akan mengalami hal yang buruk sepeninggal aku.” Ummu Habibah menjawab dengan tenang, “Semoga Allah memberi hidayah kepadaku.” Kemudian, Abu Sufyan pergi dengan hati penuh amarah.

Abu Sufyan menemui Abu Bakar untuk membujuk Rasulullah agar mengadakan perjanjian damai lagi. Namun, Abu Bakar menyatakan bahwa dirinya tidak dapat melakukan hal itu. Setelah itu, Abu Sufyan mendatangi Umar bin Khattab, saat melihat Abu Sufyan, Umar langsung berlari ke tempat Rasulullah. Umar berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya.” Abbas yang kebetulan ada di sana juga berkata, “Ya Rasulullah, Aku telah menjamin dan melindunginya”.

Pada siang harinya, Abu Sufyan di bawah menghadap Rasulullah, ketika Rasulullah berkata, “Celaka engkau Abu Sufyan, apakah engkau belum juga menyadari bahwa tiada Tuhan selain Allah?”. Abu Sufyan menjawab, “Hal itu tidak dapat aku sangkal sedikit pun”. Kemudian Rasulullah berkata lagi. “Celaka engkau Abu Sufyan, apakah engkau juga belum mengakui bahwa aku adalah Rasul Allah?”. Abu Sufyan menjawab, “Untuk hal itu, jiwaku masih sedikit keberatan untuk mengakuinya.” Mendengar perkataan itu, Abbas membentak Abu Sufyan dan memintanya mengucapkan kalimat syahadat dengan yang benar. Akhirnya Abu Sufyan sang pemimpin Quraisy, memeluk agama Islam.

Setelah itu, Rasulullah mengutus Abu Sufyan ke Mekkah, Abu Sufyan diminta memberitakan kepada penduduk Mekkah tentang kedatangan Rasulullah dan pasukannya. Ketika itu Rasulullah berpesan, ”Barangsiapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, Masjidil Haram, atau berada di rumah masing-masing maka ia akan aman”.

Kemudian Abu Sufyan kembali ke Mekkah. Sesampai di sana.Abu Sufyan segera memberitakan akan datangnya pasukan Rasulullah dalam jumlah yang besar. Tidak lupa, ia juga menyampaikan pesan Rasulullah dan mengajak orang-orang Quraisy memeluk agama Islam.
Semenjak memeluk agama Islam, Abu Sufyan bin Harb, ikut serta dalam menyebarkan ajaran agama Islam. Ia juga ikut berjuang di medan Perang Yarmuk. Dalam peperangan itu, ia tampak sangat bersemangat menyerang musuh yang seolah-olah hendak menebus dosanya selama ini. Semoga Allah mengampuni segala dosa-dosanya.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Huwaithib bin Abdul Uzza RA
Abdullah Bin Rawahah RA
Ummu Sulaim
Abu Lubabah RA
Ubaidah bin Harits RA

Said Bin Zaid RA