Tuesday, October 25, 2016

Hanzhalah Bin Rabi RA

Abu Rib'i Hanzhalah bin Rabi RA adalah salah satu dari beberapa juru tulis Nabi SAW. Suatu ketika ia bertemu dengan Abu Bakar yang menanyakan keadaannya, ia berkata, "Hanzhalah telah munafik!!"

"Subkhanallah," Kata Abu Bakar, "Apa yang kau katakan, wahai Hanzhalah…!!"

Hanzhalah berkata lagi, "Kalau aku sedang di hadapan Rasulullah SAW, dan beliau menceritakan tentang surga dan neraka maka seakan-akan aku melihat dengan mata kepalaku. Tetapi jika aku keluar dari hadapan beliau dan bergaul dengan istri dan anak-anakserta menghadapi berbagai urusan lainnya, aku jadi lupa…."

"Demi Allah, aku juga seperti itu…" Kata Abu Bakar.

Mereka berdua sepakat pergi kepada Nabi SAW untuk menanyakan masalah tersebut. Tiba di hadapan beliau Hanzhalah berkata, "Wahai Rasulullah, Hanzhalah telah munafik!!"

"Kenapa demikian?" Tanya Nabi SAW.

Hanzhalah menjelaskan apa yang dirasakan dan dialaminya, dan juga dikuatkan dengan Abu Bakar. Dengan tersenyum Nabi SAW bersabda, "Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggamanNya, seandainya kamu sekalian bisa tetap keadaannya seperti ketika di hadapanku, dan selalu mengingat-ingatnya, pastilah para malaikat akan menjabat tanganmu di tempat-tempat tidur kalian dan juga di jalan-jalan. Wahai Hanzhalah, sesaat dan sesaat, sesaat dan sesaat, sesaat dan sesaat…!"

Nabi SAW pernah mengirim Hanzhalah ke Thaif untuk mendakwahi mereka, tetapi mereka menangkap dan mengurungnya. Beliau berkata, "Siapa di antara kalian yang bisa menyelamatkan Hanzhalah, ia akan memperoleh ganjaran sebagaimana yang diperoleh sewaktu keluar ghuzwah (mengikuti pasukan)…"

Ketika tidak ada sahabat yang bangkit, paman beliau, Abbas bin Abdul Muthalib menyanggupinya. Dan ia berhasil membawa kembali Hanzhalah kepada Nabi SAW, walaupun penduduk Thaif berusaha menghalanginya, bahkan melemparinya dengan batu.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Ummul Mukminin, Juwairiyah binti Harits RA
Thulaib bin Umair RA
Nu'man bin Muqarrin RA
Salim Ra, Maula Abu Hudzaifah RA
Hakim bin Hizam RA

Hanzhalah bin Rahib RA

Setiap manusia di dunia ini pada akhirnya akan menghadapi yang namanya kematian. Bagi umat muslim terdapat kewajiban yang harus dilakukan terhadap saudara seiman yang telah meninggal. Salah satunya adalah memandikan jenazah. Lalu apa jadinya jika ternyata yang memandikan jenazah adalah malaikat? Kisah ini benar-benar terjadi dan orang yang beruntung ini adalah sahabat Rasulullah, bagaimanakah kisahnya?

Kisah seorang muslim yang dimandikan malaikat berasal dari zaman Rosulullah SAW, dia merupakan sahabat Nabi yang bernamaHanzhalah bin Rahib. 

Hanzhalah merupakan sahabat Nabi yang dimandikan malaikat dan berasal dari suku Aus serta telah memeluk agama Islam sejak Rasulullah SAW menyebarkan agama Islam di Madinah. Keputusannya untuk memeluk Islam mendapat larangan dari ayahnya yang bernama Abd Amr bin Shaify yang merupakan seorang tokoh suku Aus dan secara terang-terangan memusuhi agama Islam.

Saat kaum muslim memenangkan perang badar, ayah Hanzhalah tetap bersikeras memusuhi dan menentang Islam bahkan dia pindah ke Makkah untuk terus mengobarkan kebencian dan menghasut kaum Quraisy agar membalas kekalahannya di perang Badar. Atas hasutan ini akhirnya terjadilah perang uhud. Dalam perang ini kaum quraisy dipimpin oleh Khalid bin Walid dan didukung penuh oleh ayah Hanzhalah.

Hanzhalah mengetahui akan hal ini bahwa ayahnya masih berpihak kepada kaum Quraisy sehingga dalam perang uhud ini Hanzhalah berusaha untuk menghindar dari ayahnya karena dia tidak ingin bentrok langsung dengan ayahnya sendiri. Meskipun Abd Amr bin Shaify telah bersekongkol dengan kaum Quraisy dan menentang Islam tetapi dia tetaplah ayah Hanzalah sehingga dalam hati dan pikiran Hanzalah masih terdapat rasa hormat kepadanya.

Dalam peperangan ini akhirnya Hanzhalah berhasil berhadapan langsung dengan pimpinan utama pasukan Quraisy, yaitu Abu Sufyan bin Harb. Jika Hanzhalah mampu mengalahkan pimpinan utama pasukan Quraisy ini maka dapat melemahkan kekuatan musuh. Akhirnya dengan semangat Hanzhalah mencoba untuk menyerang Abu Sufyan bin Harb tetapi gagal, kegagalan Hanzhalah disebabkan oleh dirinya telah ditikam oleh Syaddad bin Aus dan akhirnya dirinya meninggal sebagai syuhada.

Setelah peperangan berakhir, akhirnya semua jenazah para syuhada akan dimakamkan lengkap dengan pakaian tempur mereka tanpa dimandikan terlebih dahulu. Ketika para sahabat Nabi SAW hendak memakamkan jenazah Hanzhalah, mereka tidak menemukan jenazahnya dan akhirnya jenazah Hanzhalah ditemukan ditempat lebih tinggi dan dalam keadaan basah. Melihat hal ini semua sahabat Nabi yang melihatnya merasa heran. Akhirnya Rasulullah SAW bersabda bahwa jenazah Hanzhalah telah dimandikan oleh para malaikat, inilah satu-satunya orang yang dimandikan malaikat. Mengapa hal ini dapat terjadi?

Para sahabat Nabi akhirnya bertanya kepada keluarga Hanzhalah seputar keadaannya sebelum pertempuran berlangsung. Untuk mengetahui hal ini maka sahabat Nabi mendatangi Jamilah binti Ubay yaitu istri Hanzhalah seorang muslimah yang sangat baik. Istri Hanzhalah menceritakan bahwa suaminya pergi berperang dalam keadaan junub atau berhadast besar karena mereka merupakan pengantin baru yang masih menjalankan bulan madu.

Setelah mendengar cerita dari istri Hanzhalah, akhirnya sahabat Nabi menceritakan hal ini kepada beliau. Rasulullah SAW bersabda bahwa sebab jenazah yang dimandikan malaikat yaitu jenazah Hanzhalah karena dia meninggal dalam keadaan berhadast besar sehingga para malaikat mensucikannya.

Karena hal inilah akhirnya Hanzhalah bin Rahib mendapat gelar sebagai Ghasilul Malaikat yaitu orang yang dimandikan oleh para malaikat. Atas gelar inilah Hanzhalah menjadi kebanggaan bagi kaum Anshar karena karamah yang telah diperolehnya.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Bujair bin Zuhair dan Ka'ab bin Zuhair RA
Mu'adz bin Amr bin Jamuh RA dan Mu'awidz bin Afra RA
Ubaidah bin Harits RA
Seorang Lelaki Ahli Surga
Ma'n bin Yazid RA

Usaid bin Hudhair RA

Usaid bin Hudhair bin Sammak adalah seorang sahabat Anshar dari suku Aus. Ia salah seorang bangsawan dan pemimpin kaum yang mempunyai keahlian memanah. Ia juga dikenal dengan nama al Kamil (sempurna) karena kecemerlangan otaknya dan keluhuran akhlaknya. Sifat ini diwarisinya dari ayahnya Hudhalir Kata'ib yang merupakan bangsawan dan pemimpin yang disegani di masa jahiliah. Ia memeluk Islam ketika Nabi SAW belum lagi berhijrah ke Madinah. Dalam cahaya dan didikan Islam, makin memuncaklah kemuliaan akhlaknya dan makin meningkat martabatnya karena bimbingan wahyu dari langit.

Ketika Mush'ab bin Umair, sahabat muhajirin yang menjadi duta sekaligus muballigh pertama di Kota Madinah, sedang mendakwahkan Islam kepada penduduk Madinah didampingi oleh As'ad bin Zurarah, beberapa orang pemuka kabilah di Madinah menjadi ‘gerah’ termasuk Sa'd bin Mu'adz. Sa’d tidak senang dengan aktivitas mereka berdua mempengaruhi kaumnya meninggalkan agama nenek moyangnya, tetapi ia merasa tidak enak dengan As’ad yang masih saudara dekatnya itu. As’ad bin Zurarah adalah salah satu dari enam pemuda Yatsrib yang pertama memeluk Islam, dan menjadi pioner penyebaran Islam di kotanya itu.

Suatu ketika Sa’d bertemu dengan Usaid bin Hudhair dan menyampaikan unek-uneknya. Ia meminta tolong Usaid untuk memperingatkan dan menghalangi dua orang itu ‘memurtadkan’ kaumnya. Tampaknya Usaid sependapat, maka ia menyanggupinya. Ia mengambil tombaknya dan mendatangi mereka berdua yang sedang berada di kebun bani Zhafar di dekat telaga yang disebut Maraq. Ketika telah berada di depannya, Usaid berkata setengah mengancam, "Apa yang membawa kalian kemari? Kalian memperbodoh orang-orang yang lemah di antara kami, jauhilah kami jika kalian masih ingin hidup lebih lama lagi!!"

Mush'ab memang dipilih Rasulullah SAW sendiri ketika diberangkatkan ke Madinah, tentunya dengan pertimbangan dan pengamatan yang sangat matang, walau usianya masih cukup muda. Dengan lembut Mush’ab berkata diplomatis, "Maukah kamu duduk mendengarkan? Jika kamu senang akan sesuatu hal, engkau bisa menerima atau mengabaikannya. Dan jika kau tidak menyukai sesuatu hal, tolaklah hal itu, dan aku akan meninggalkan kalian!!”

"Baiklah, kesepakatan yang adil," Kata Usaid.

Ia menancapkan tombaknya ke tanah dan duduk bersama mereka. Mush'ab-pun mulai menceritakan tentang Islam dan membacakan beberapa ayat Al Qur'an. Tampak sekali sekali Usaid tertarik, matanya bercahaya dan perkataannya menjadi lembut. Ia memang seorang yang cerdas, dan sebelumnya mendapat pendidikan akhlak yang sangat baik sehingga dengan mudah ia menerima kebenaran yang disampaikan Mush’ab. Ia berkata, "Alangkah indah dan baiknya ajaran ini, apakah yang harus aku lakukan jika aku ingin memasuki agama ini?"

Mush’ab bin Umair "Hendaknya engkau mandi dan bersuci, bersihkanlah kedua pakaianmu, kemudian bersyahadatlah dengan syahadat yang sebenarnya, lalu berdirilah melakukan shalat dua rakaat."

Usaid beranjak pergi melakukan perintah tersebut dengan dibimbing Mush'ab bin Umair dan As'ad bin Zurarah, sehingga jadilah ia seorang muslim. Kehendak Allah ketika melimpahkan hidayah-Nya memang tidak bisa diperkirakan. Niat Usaid semula adalah untuk menghentikan aktivitas Mush'ab dan As'ad dalam mendakwahkan Islam di Madinah, sehingga mungkin sepantasnya jika dia ditimpa musibah atas niat buruknya tersebut. Tetapi yang terjadi adalah kebalikannya, justru Allah menjadikan niatnya tersebut sebagai jalan terbukanya hidayah dan jalan kebaikan bagi dirinya.

Setelah merasakan ‘sejuknya’ menjadi seorang muslim, Usaid berkeinginan menarik Sa'd bin Mu'adz kepada Islam. Bagaimanapun juga Sa'd memiliki andil atas hidayah yang diterimanya ini. Ia sangat mengenal kepribadian Sa’d, kalau saja ada kesempatan ia mendengar tentang Islam, pastilah ia akan memeluknya tanpa ragu-ragu lagi. Tetapi sikap penolakan dan permusuhan yang telah tertanam di hati, membuatnya tidak mudah menyuruh atau merayu Sa'd menemui Mush'ab dan As'ad untuk bisa mendengarkan penjelasan tentang Islam.

Setelah beberapa saat berfikir, ia memperoleh jalan keluarnya. Ia akan bersiasat, yang dengan siasatnya itu pastilah Sa’d akan menemui As’ad. Ia berkata kepada Mush'ab dan As'ad, "Sesungguhnya di belakangku ada seorang lelaki (yaitu Sa'd bin Mu'adz), jika ia mengikuti kalian berdua, maka kaumnya tidak akan ada yang ketinggalan memeluk Islam. Aku akan bersiasat agar ia mau menemui kalian."

Usaid berlalu pergi menemui menemui Sa'd yang berada di antara kaumnya. Melihat kehadiran Usaid, Sa’d berkata, “Sungguh Usaid datang dengan air muka yang sangat berlainan dengan saat dia meninggalkan kita!!”

Setelah tiba, Usaid langsung berkata, "Wahai Sa'd, aku telah berbicara pada mereka berdua, dan aku tidak melihat ancaman apapun dari mereka. Dan telah kusampaikan apa yang kau inginkan, tetapi mereka berkata 'Lalukan saja apa yang kamu suka!!' Tetapi aku mendengar berita selentingan kalau bani Haritsah bermaksud membunuh As'ad karena tahu dia adalah anak bibimu. Saat ini mereka sedang menuju tempatnya, sepertinya mereka meremehkan dirimu!!"

Mendengar kabar ini, Sa'd menjadi marah dan sekaligus khawatir atas keselamatan As'ad. Terlepas bahwa ia tidak suka aktivitasnya, tetapi ikatan kekeluargaan di antara mereka begitu kuat. Ia mengambil tombaknya dan beranjak menemui Mush'ab dan As'ad. Melihat siasatnya berhasil, Usaid menjadi gembira, ia yakin Sa'd akan berubah pikiran setelah mendengar penjelasan Mush'ab tentang Islam seperti dirinya, dan dugaannyamemang benar. Sa'd memeluk Islam di saat itu juga, dan ketika ia mendakwahi kaumnya, sebelum petang di hari itu, seluruh bani Abdul Asyhal telah mengikuti Sa'd memeluk Islam.

Peristiwa tersebut terjadi setelah Bai'atul Aqabah pertama. Ketika datang musim haji berikutnya, dibentuklah rombongan untuk menghadap Nabi SAW di Makkah. Usaid ikut serta di dalamnya, ia ingin mengokohkan bai'atnya di hadapan Nabi SAW. Dalam pertemuan yang dikenal dengan nama Bai'atul Aqabah kedua tersebut, Nabi SAW memilihnya sebagai salah satu dari duabelas pemimpin yang bertanggung jawab atas dakwah dan pelaksanaan ajaran Islam di kaumnya.

Seperti kebanyakan sahabat Anshar lainnya, baik dari kalangan pemuka atau anggota biasa, Usaid selalu membaktikan hidupnya untuk membela Nabi SAW dan panji-panji Islam. Setiap pertempuran bersama Rasulullah SAW diterjuninya. Sifat "kamil"-nya tak pernah terlepas dari kepribadiannya walau dalam situasi yang mengancam jiwa dalam peperangan. Bahkan terkadang bisa menentramkan suasana, seperti yang terjadi pada perang Bani Musthaliq.

Pada pertempuran tersebut, kaum munafik yang dipimpin Abdullah bin Ubay ikut serta, dan dalam perjalanan pulang, ia mengatakan sesuatu perkataan yang menyakiti Nabi SAW. Zaid bin Arqam mendengar perkataannya tersebut, melaporkannya kepada Nabi SAW lewat pamannya. Nabi SAW yang sebenarnya sedang beristirahat segera memberangkatkan pasukannya untuk terus kembali ke Madinah. Melihat keputusan Nabi SAW ini, Usaid menemui beliau dan berkata, "Wahai Rasulullah, tidak biasanya engkau berangkat pada saat seperti ini…!!"

Nabi SAW bersabda, "Apa engkau belum mendengar apa yang dikatakan rekanmu (yakni, Abdullah bin Ubay) ?"

"Apa yang dikatakannya, Ya Rasulullah?"

"Ia mengatakan : Jika kita kembali ke Madinah, penduduknya yang mulia (yakni penduduk Madinah), benar-benar akan mengusir penduduknya yang hina (maksudnya Nabi SAW dan kaum muhajirin)…!!"

Jiwa pembelaannya atas Nabi SAW dan Islam muncul, tetapi tanpa makin memanaskan suasana. Usaid berkata, "Wahai Rasulullah, engkau bisa mengusirnya dari Madinah menurut kehendak engkau. Demi Allah, memang dia adalah orang yang hina dan engkau adalah orang yang mulia…!!"

Dengan perkataannya ini seolah Usaid ingin menegaskan bahwa ia dan kaumnya dari Suku Aus berdiri di belakang Nabi SAW, kemudian ia berkata lagi, "Tetapi, wahai Rasulullah, bersikaplah yang lembut terhadap dirinya. Demi Allah, Allah telah mendatangkan engkau kepada kami, padahal penduduk Madinah telah menyiapkan mahkota untuk disematkan di kepalanya. Karena itu ia merasa engkau telah merampas kerajaan dari tangannya….!!"

Nabi SAW memahami apa yang disampaikan oleh Usaid. Beliau menggerakkan pasukan untuk terus berjalan ke Madinah. Bahkan ketika malam tiba-pun beliau tidak menghentikannya, sehingga ketika tiba waktu istirahat, para anggota pasukan tersebut langsung tertidur, tidak ada kesempatan membicarakan perkataan Abdullah bin Ubay.

Salah satu keistimewaan Usaid bin Hudhair adalah suaranya ketika melantunkan Al Qur'an, para sahabat sangat senang mendengarkannya. Menurut mereka, mendengar alunan suaranya membaca Al Qur'an tersebut lebih disenanginya daripada memperoleh ghanimah (harta rampasan perang). Suaranya lembut dan khusyu', mempesona dan dapat menentramkan jiwa.

Suatu malam Usaid bin Hudhair membaca surah Al Baqarah, tiba-tiba kudanya yang diikat tak jauh darinya bergejolak. Ketika ia berhenti membaca, kuda itu menjadi tenang. Ia mencoba membacanya lagi dan kuda itu kembali bergejolak, dan ketika ia berhenti membaca, kuda itu menjadi tenang. Beberapa kali mengulang membaca, peristiwa itu berulang terjadi, sampai ia menyadari bahwa gejolak kudanya itu bisa membahayakan Yahya, anaknya yang tidur tidak jauh darinya. Ia menarik anaknya menjauh dan kepalanya tengadah ke langit, ia melihat ada sekelompok awan yang di dalamnya ada seperti lampu-lampu yang bercahaya bergerak menjauh ke atas sampai hilang dari pandangan.

Pagi harinya ia menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada Nabi SAW, dan beliau bersabda, "Bacalah hai Ibnu Hudhair, bacalah hai Ibnu Hudhair!!"

Usaid bin Hudhair menjelaskan bahwa ia mengkhawatirkan keselamatan anaknya karena gejolak kuda yang tidak terkendali ketika ia membaca surah Al Baqarah. Sambil tersenyum, Nabi SAW bersabda, "Tahukah kamu, yang tampak seperti awan tersebut adalah malaikat yang mendekat karena ingin mendengarkan suaramu melantunkan Al Qur'an. Seandainya kamu terus membacanya, niscaya manusia akan bisa melihat malaikat tersebut, tidak tertutup dari mereka."

Usaid bin Hudhair wafat pada Bulan Sya’ban tahun 20 hijriah, yakni pada masa khalifah Umar bin Khaththab. Jenazahnya di makamkan di Baqi, dan Umar sendiri yang turun ke kuburnya untuk memakamkannya.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Mundzir bin Uqbah bin Amr RA
Saudah binti Zam'ah RA, Ummul Mukminin
Muhayyishah & Huwayyishah R.Huma
Ummu Ammar RA
Anak Perempuan Hitam Bekas Budak

Utbah bin Ghazwan RA

Utbah bin Ghazwan adalah seorang Muhajirin yang termasuk angkatan pertama masuk Islam. Sejak memeluk ajaran Islam, Utbah bertekad untuk tetap berpegang teguh pada agamanya.

Utbah adalah salah seorang muslim yang ikut berhijrah ke Habsyah. Namun, ia tidak tinggal lama di wilayah itu. Ia kembali Ke Mekkah karena ia begitu rindu kepada Rasulullah, setelah beberapa lama, ia hijrah ke Madinah.

Utbah adalah salah seorang pemanah terbaik di antara kaum muslim saat itu. Anak panah yang dilepaskannya selalu tepat mengenai sasaran. Ia juga menggunakan tombak dengan baik. Keahliannya telah berperan besar dalam menumpas musuh Allah. Hal itu, ia lakukan semasa Rasulullah masih hidup dan masa Rasulullah telah wafat.

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, Utbah diperintahkan untuk membebaskan wilayah ubullah dari tentara Persia. Umar melepas pasukan Utbah yang jumlahnya sedikit dengan memintanya untuk selalu tabah menghadapi musuh dan bertakwa kepada Allah swt. Sekalipun jumlahnya sedikit, pasukan Utbah mampu mengalahkan pasukan Persia, wilayah Ubullah pun dikuasai oleh pasukan muslim.

Di wilayah Ubullah, Utbah membangun kota Basrah dan mendirikan masjid besar. Setelah itu, Utbah hendak kembali ke Madinah. Namun keinginannya ia urungkan khalifah Umar meminta Utbah menjadi pemimpin memerintahan di Basrah, Utbah pun berdakwah di Barsah. Ia mengajarkan cara shalat, hukum Islam, dan memberikan teladan dalam menjalani kehidupan menurut ajaran Islam kepada kaum muslim di Basrah. Ia menjalani hidup zuhud (segala sesuatu tentang meninggalkan keduniawian), warak (patuh dan taat kepada Allah), dan sederhana. Ia berharap penduduk Basrah mengikuti cara hidup demikian dan meninggalkan kehidupan yang bermewah-mewahan. Ia menunjukkan bahwa hidup sederhana lebih baik dari pada hidup bermewah-mewahan. Namun, sebagaian penduduk Basrah tidak menyukai tindakan Utbah. Mereka bermaksud mempengaruhi Utbah dengan berbagai macam sanjungan dan kekayaan. Utbah benar-benar khawatir apabila kemewahan dunia merusak kaum muslim. Oleh karena itu, ia tak henti-hentinya menyeru agar umat islam menerapkan hidup sederhana.

Sebagian penduduk Basrah tidak menyukai kehidupan sederhana yang diterapkan oleh pemimpin mereka. Ketika mengetahui keberatan mereka. Utbah berkata, “Besok lusa kalian akan melihat pimpinan pemerintahan yang menggantikan diriku.”

Saat musim haji tiba, Utbah melaksanakan ibadah haji, setelah melaksanakan ibadah haji, Utbah menemui Khalifah Umar. Ia mengutarakan keinginannya untuk mengundurkan diri sebagai pimpinan pemerintahan di Basrah. Tentu saja, keinginan itu ditolak oleh Umar. Umar mengatakan, “Apakah kalian hendak menaruh amanat di atas pundakku? Kemudian, kalian meninggalkan aku untuk memikulnya seorang diri?. Tidak, Demi Allah tidak ku izinkan selama-lamanya!”

Utbah tidak dapat membantah keinginan Khalifah Umar. Ia patuh dengan perintah Umar. Ia pun bersiap untuk kembali ke kota Basrah dan hendak memimpin pemerintahan di sana. Sebelum pergi, Utbah berdoa kepada Allah agar dirinya tidak dikembalikan ke Basrah dan tidak menjadi pemimpin pemerintahan selamanya. Ternyata, Allah mengabulkan doa Utbah. Dalam perjalan menuju Basrah, Utbah mengembuskan napas terakhirnya. Demikianlah, Utbah yang menyukai hidup zuhud.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Istri-Istri Rasulullah Saw
Wahsyi Bin Harb Al Habsyi RA
Abdullah Bin Umar RA
Seorang Raja Di Surga
Abu Dzar al Ghifari RA

Seorang Penanya Hisab Amal

Seorang Penanya Hisab Amal

Seorang lelaki Arab badui (Arab pedalaman/desa) datang menghadap kepada Nabi SAW dan bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah yang mengurus hisabnya seluruh mahluk?"

"Allah," Kata Nabi SAW.

"Dia seorang diri," Tanya si badui lagi.

"Ya," Kata Nabi SAW lagi.

Orang badui tersebut tersenyum, sepertinya ia senang sekali. Melihat senyumannya, Nabi SAW bertanya, "Mengapa engkau tersenyum, hai Orang Badui?"

"Seorang yang pemurah, jika menghisab pasti akan banyak memaafkan…!!"

Nabi SAW ganti tersenyum mendengar jawabannya, dan berkata, "Engkau benar, tidak ada yang lebih pemurah dibanding Allah SWT, Dialah Dzat yang Paling Pemurah dan dan Paling Pemaaf…."

Setelah mengucap terima kasih kepada Nabi SAW, orang badui tersebut berlalu dengan riangnya. Nabi SAW berkata tentang dirinya, "Ia sungguh pandai…!!"

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Abdullah bin Mas'ud RA
Abdullah bin Abdullah bin Ubay RA
Qa’is bin Sala’ RA
Amr bin Salamah RA
Bujair bin Zuhair dan Ka'ab bin Zuhair RA

Habib Bin Zaid RA

Habib bin Zaid dibesarkan dalam sebuah rumah yang penuh keharuman iman di setiap sudutnya, di lingkungan keluarga yang melambangkan pengorbanan.

Ayah Habib, Zaid bin Ashim, adalah salah seorang dari rombongan Yatsrib yang pertama-tama masuk Islam. Zaid termasuk Kelompok 70 orang yang melakukan baiat dengan Rasulullah di Aqabah. Bersama Zaid bin Ashim turut pula di baiat istri dan dua orang putranya.

Ibu Habib, Ummu Amarah Nasibah Al-Maziniyah, merupakan wanita pertama yang memanggul senjata untuk mempertahankan agama Allah dan membela Nabi Muhammad SAW.

Saudaranya, Abdullah bin Zaid, adalah pemuda yang mempertaruhkan lehernya sebagai tebusan dalam Perang Uhud, untuk melindungi Rasul yang mulia. Tak heran jika Rasulullah berdoa bagi keluarga tersebut, "Semoga Allah melimpahkan barakah dan rahmat-Nya bagi kalian sekeluarga."

Cahaya iman telah menyinari hati Habib bin Zaid sejak dia masih muda belia, sehingga melekat kokoh di hatinya. Allah telah menakdirkannya bersama-sama ibu, bapak, bibi, dan saudaranya pergi ke Makkah, turun beserta Kelompok 70 untuk melakukan baiat dengan Rasulullah SAW dan melukis sejarah. 

Habib bin Zaid mengulurkan tangannya yang kecil kepada Rasulullah sambil mengucapkan sumpah setia pada malam gelap gulita di Aqabah. Maka sejak hari itu, dia lebih mencintai Rasulullah daripada ayah bundanya sendiri. Dan Islam lebih mahal baginya daripada dirinya sendiri.

Habib bin Zaid tidak turut berperang dalam Perang Badar, karena ketika itu dia masih kecil. Begitu pula dalam Perang Uhud, dia belum memperoleh kehormatan untuk ikut ambil bagian, karena dia belum kuat memanggul senjata. Tetapi setelah kedua peperangan itu, dia selalu ikut berperang mengikuti Rasulullah SAW, dan bertugas sebagai pemegang bendera perang yang dibanggakan.

Pengalaman-pengalaman perang yang dialami Habib bagaimana pun besar dan mengejutkannya, pada hakikatnya tiada lain ialah merupakan proses mematangkan mental Habib untuk menghadapi peristiwa yang sungguh mengguncangkan hati, seperti terguncangnya miliaran kaum Muslimin sejak masa kenabian hingga masa kita sekarang. 

Pada tahun ke-9 Hijriyah, tiang-tiang Islam telah kuat tertancap dalam di Jazirah Arab. Jamaah dari seluruh pelosok Arab berdatangan ke Yatsrib menemui Rasulullah SAW, masuk Islam di hadapan beliau, dan berjanji (baiat) patuh dan setia.

Di antara mereka terdapat pula rombongan Bani Hanifah dari Najd. Mereka menambatkan unta-untanya di pinggir kota Madinah, dijaga oleh beberapa orang kawannya. Seorang di antara penjaga ini bernama Musailamah bin Habib Al-Hanafy. Para utusan yang tidak bertugas menjaga kendaraan, pergi menghadap Rasulullah SAW. Di hadapan beliau mereka menyatakan masuk Islam beserta kaumnya. Rasulullah menyambut kedatangan mereka dengan hormat dan ramah tamah. Bahkan beliau memerintahkan supaya memberi hadiah bagi mereka dan bagi kawan-kawannya yang tidak turut hadir, karena bertugas menjaga kendaraan.

Tidak berapa lama setelah para utusan Bani Hanifah ini sampai di kampung mereka, Najd, Musailamah bin Habib Al-Hanafy murtad dari Islam. Dia berpidato di hadapan orang banyak menyatakan dirinya Nabi dan Rasul Allah. Dia mengatakan bahwa Allah mengutusnya menjadi Nabi untuk Bani Hanifah, sebagaimana Allah mengutus Muhammad bin Abdullah untuk kaum Quraisy. Bani Hanifah menerima pernyataan Musailamah tersebut dengan berbagai alasan. Tetapi yang terpenting di antaranya ialah karena fanatik kesukuan.

Seorang dari pendukungnya berkata, "Saya mengakui sungguh Muhammad itu benar dan Musailamah sungguh bohong. Tetapi kebohongan orang Rabi’ah (Musailamah) lebih saya sukai dari pada kebenaran orang Mudhar (Muhammad)."

Tatkala pengikut Musailamah bertambah banyak dan kuat, dia mengirim surat kepada Rasulullah: "Teriring salam untuk Anda. Adapun sesudah itu... Sesungguhnya aku telah diangkat menjadi sekutu Anda. Separuh bumi ini adalah untuk kami, dan separuh lagi untuk kaum Quraisy. Tetapi kaum Quraisy berbuat keterlaluan."

Surat tersebut diantar oleh dua orang utusan Musailamah kepada Rasulullah SAW. Selesai membaca surat itu, Rasulullah bertanya kepada keduanya, “Bagaimana pendapat kalian (mengenai pernyataan Musailamah ini)?"

"Kami sependapat dengan Musilamah!" jawab mereka ketus.

Rasulullah bersabda, "Demi Allah, seandainya tidak dilarang membunuh para utusan, sesungguhnya kupenggal leher kalian."

Rasulullah membalas surat Musailamah sebagai berikut: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasulullah, kepada Musailamah pembohong. Keselamatan hanyalah bagi siapa yang mengikuti petunjuk (yang benar). Adapun sesudah itu... Sesungguhnya bumi ini adalah milik Allah, Dialah yang berhak mewariskannya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendakinya.
Kemenangan adalah bagi orang-orang yang takwa."

Surat balasan tersebut dikirimkan melalui kedua utusan Musailamah. Musailamah bertambah jahat, dan kejahatannya semakin meluas. Rasulullah mengirim surat lagi kepada Musailamah, memperingatkan supaya dia menghentikan segala kegiatannya yang menyesatkan itu. Beliau menunjuk Habib bin Zaid, untuk mengantarkan surat tersebut kepada Musailamah. Ketika itu Habib masih muda belia. Tetapi dia pemuda mukmin yang beriman kuat, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

Habib bin Zaid berangkat melaksanakan tugas yang dibebankan Rasulullah kepadanya dengan penuh semangat, tanpa merasa lelah dan membuang-buang waktu. Akhirnya sampailah dia ke perkampungan Najd. Maka diberikannya surat Rasulullah itu langsung kepada Musailamah.

Ketika membaca surat tersebut, dada Musailamah turun naik karena iri dan dengki. Mukanya memerah disaput kemurkaan. Lalu diperintahkannya kepada pengawal supaya mengikat Habib bin Zaid.

Keesokan harinya, Musailamah muncul di majelisnya diiringkan para pembesar dan pengikutnya. Dia menyatakan majelis terbuka untuk orang banyak. Ia kemudian memerintahkan agar Habib bin Zaid diseret ke hadapannya. Habib masuk ke dalam majelis dalam keadaan terbelenggu, dan berjalan tertatih-tatih karena beratnya belenggu yang dibawanya.

Habib bin Zaid berdiri di tengah-tengah orang banyak dengan kepala tegak, kokoh dan kuat. 

Musailamah bertanya kepadanya, "Apakah kamu mengaku Muhammad itu Rasulullah?"

“Ya, benar! Aku mengakui Muhammad sesungguhnya Rasulullah!” jawab Habib tegas.

Musailamah terdiam karena marah. “Apakah kamu mengakui, aku sebagai Rasulullah?" tanya Musailamah lagi.

Habib bin Zaid menjawab dengan nada menghina dan menyakitkan hati. "Agaknya telingaku tuli. Aku tidak pernah mendengar yang begitu."

Wajah Musailamah berubah. Bibirnya gemeretak karena marah. Lalu katanya kepada algojo, "Potong tubuhnya sepotong!"

Algojo menghampiri Habib bin Zaid, lalu dipotongnya bagian tubuh Habib, dan potongan itu menggelinding di tanah.

Musailamah bertanya kembali, "Apakah kamu mengakui Muhammad itu Rasulullah?"

Jawab Habib, "Ya, aku mengakui sesungguhnya Muhammad Rasulullah!”

"Apakah kamu mengakui aku Rasulullah?"

"Telah kukatakan kepadamu, telingaku tuli mendengar ucapanmu itu!"

Musailamah kembali menyuruh algojo memotong bagian lain tubuh Habib, dan potongannya jatuh di dekat potongan yang pertama. Orang banyak terbelalak melihat keteguhan hati Habib yang nekat menentang sang nabi palsu.

Musailamah terus bertanya, dan algojo terus pula memotong-motong tubuh Habib berkali-kali sesuai dengan perintah Musailamah. Walaupun begitu, bibir Habib tetap berujar, "Aku mengakui sesungguhnya Muhammad Rasulullah!"

Separuh tubuh Habib telah terpotong-potong dan potongannya berserakan di tanah. Separuhnya lagi bagaikan onggokan daging yang bicara. Akhirnya, jiwa Habib melayang menemui Tuhannya. Kedua bibirnya senantiasa mengucapkan bahwa ia hanya mengakuai Muhammad SAW—yang telah ia baiat pada malam Aqabah—sebagai Rasulullah.

Setelah berita kematian Habib bin Zaid disampaikan orang kepada ibunya, Nasibah bin Maziniyah, ia hanya berucap, "Seperti itu pulalah aku harus membuat perhitungan dengan Musailamah Al-Kadzdzab. Dan kepada Allah jua aku berserah diri. Anakku Habib bin Zaid telah bersumpah setia dengan Rasulullah SAW sejak kecil. Sumpah itu dipenuhinya ketika dia muda belia. Seandainya Allah memungkinkanku, akan kusuruh anak-anak perempuan Musailamah menampar pipi bapaknya."

Beberapa lama kemudian, setelah kematian Habib bin Zaid, tibalah hari yang dinanti-nantikan Nasibah. Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq mengerahkan kaum Muslimin memerangi nabi-nabi palsu, termasuk Musailamah Al-Kadzdzab. Kaum Muslimin berangkat untuk memerangi Musailamah. Dalam pasukan itu terdapat Nasibah Al-Maziniyah dan putranya, Abdullah bin Zaid.

Ketika perang di Yamamah itu telah berkecamuk, Nasibah membelah barisan demi barisan musuh bagaikan seekor singa, sambil berteriak, "Di mana musuh Allah itu, tunjukkan kepadaku!"

Ketika Nasibah menemukan Musailamah, sang nabi palsu ternyata telah pulang ke akhirat, tewas tersungkur di medan pertempuran tubuh bermandi darahnya sendiri. Tidak lama kemudian, Nasibah pun gugur sebagai syahidah.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Abdurrahman Bin Auf RA
Rafi' Bin Amirah Bin Jabir RA
Khalid bin Sa'id bin Ash RA
Ukasyah bin Mihshan RA
Hathib bin Abi Balta'ah RA


Abdullah bin Amr bin Haram al Anshary RA

Abdullah bin Amr bin Haram atau dikenal dengan nama Abu Jabir, adalah sahabat Anshar yang juga pemuka dari bani Salamah, termasuk suku Khazraj. Ia adalah ayah dari sahabat yang banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW, Jabir bin Abdullah. Ibnu Amr bin Haram ini termasuk sahabat Anshar yang mula-mula memeluk Islam, yakni ketika terjadinya Ba'iatul Aqabah kedua, yang dalam peristiwa tersebut, ia ditunjuk sebagai salah satu dari duabelas pemimpin kaum Anshar Madinah. Ia juga termasuk dari Ahlu Badar, sahabat yang mengikuti perang Badar dan mendapat pujian Allah dalam Al Qur'an dan jaminan masuk surga.

Ketika akan berangkat ke perang Uhud, seakan telah mendapat firasat menemui syahid, ia berkata kepada anaknya, Jabir bin Abdullah, "Wahai anakku, sungguh tidak kulihat diriku kecuali aku akan menemui ajal dalam pertempuran ini. Aku tidak rela ada seseorang yang mencintai Rasulullah SAW, yang cintanya lebih besar daripada cintamu kepada beliau, anakku!! Selain itu, aku mempunyai hutang, maka lunasilah hutang-hutang tersebut. Dan aku wasiatkan agar engkau menjaga saudaramu sebaik-baiknya…..!!"

Dalam perang Uhud, Nabi SAW menempatkan limapuluh orang pemanah ulung di atas bukit, yang menjadi titik pertahanan pasukan muslimin dari serangan pasukan kaum kafir Quraisy. Abu Jabir termasuk dalam pasukan pemanah yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair ini. Nabi SAW berpesan agar mereka tetap tinggal di bukit itu, baik dalam keadaan menang atau kalah, kecuali jika beliau sendiri yang memerintahkan mereka untuk turun.

Pertempuran berlangsung beberapa lama, dan pasukan Quraisy dapat dipukul mundur. Mereka berlari meninggalkan gelanggang sekaligus meninggalkan barang-barangnya terserak di medan pertempuran Uhud. Bagaimanapun nyawa lebih penting daripada barang-barang berharga yang dibawanya dalam pertempuran.Para pemanah di atas bukit tampaknya tergiur dengan barang-barang orang Quraisy, dan mereka turun bukit untuk mengambilnya. Abdullah bin Jubair berteriak mengingatkan pesan Nabi SAW, tetapi mereka mengabaikannya, tinggallah hanya sekitar sepuluh orang, termasuk Abu Jabir yang bertahan di atas bukit.

Sekelompok pasukan berkuda Quraisy di bawah pimpinan Khalid bin Walid, yang sebenarnya telah cukup jauh meninggalkan Uhud melihat keadaan itu. Ia menyadari, kekalahan pasukannya yang lebih besar dan lebih banyak jumlahnya tidak terlepas dari peran para pemanah di atas bukit tersebut. Dengan berkurangnya kekuatan pertahanan di bukit tersebut, Ibnu Walid yakin bahwa ia bisa membalikkan keadaan. Maka ia memerintahkan pasukannya bergerak menaiki bukit tersebut.

Ibnu Jubair, Abu Jabir dan sekitar delapan kawannya menghujani mereka dengan panah untuk menghadang gerakannya, tetapi itu tidak banyak berarti karena panah yang mereka lontarkan tak ubahnya gerimis saja. Dalam sekejab mereka berhadapan dan terjadilah pertempuran tidak seimbang, mereka berjuang mati-matian menghambat laju Khalid dengan tombak dan pedangnya, tetapi akhirnya mereka semua tewas mengenaskan dengan luka-luka yang sangat parah, termasuk Ibnu Amr bin Haram atau Abu Jabir.

Pasukan Khalid bin Walid turun dari bukit dan menyerang pasukan muslim sehingga mereka porak poranda. Melihat manuver Ibnu Walid tersebut, pasukan Quraisy lainnya segera kembali ke arena perempuran dan menyerbu dengan gencarnya sehingga keadaan berbalik jadi kekalahan bagi pasukan muslimin, bahkan keadaan Rasulullah SAW sangat kritis, beliau terluka parah dan terjatuh ke dalam suatu lubang.

Usai perang Uhud, ketika Nabi SAW dan para sahabat memeriksa jenazah para syahid, mereka mendapati wajah Abu Jabir seperti disayat-sayat. Memang, dalam pertempuran Uhud ini kaum kafir Quraisy seakan melampiaskan dendam kekalahannya di perang Badar, salah satunya dengan cara merusak jenazah para syahid, seperti yang juga terjadi pada jenazah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW.

Jabir bin Abdullah, saudara-saudaranya, dan beberapa kaum muslimin lainnya mendatangi Uhud setelah pasukan Quraisy meninggalkan arena pertempuran. Ia menangisi jazad ayahnya karena keadaannya yang sangat mengenaskan. Bahkan Fathimah, putri Nabi SAW sempat menjerit melihat keadaan wajah Abu Jabir. Melihat reaksi mereka ini, Nabi SAW bersabda, "Janganlah kalian menangis, sesungguhnya para malaikat terus menerus menaunginya dengan sayap-sayap mereka…!"

Beberapa hari berselang setelah perang Uhud tersebut, Jabir bin Abdullah mendatangi Nabi SAW dan mengatakan bahwa ayahnya yang telah syahid tersebut meninggalkan hutang, dan juga banyak tanggungan keluarga. Ia menyangka ayahnya akan terhalang memperoleh pahala karena tanggungan yang ditinggalkannya tersebut, sebagaimana pernah disabdakan beliau. Tetapi Nabi SAW dengan tersenyum bersabda kepadanya, "Maukah aku beritahukan kabar gembira tentang apa yang dijumpai ayahmu di sisi Allah."

"Tentu, ya Rasulullah, " Kata Jabir.

Kemudian Nabi SAW menceritakan bahwa Allah SWT menjadikan Abu Jabir hidup lagi dan mengajaknya berbicara langsung, padahal tidak ada seorangpun yang diajak berbicara oleh Allah melainkan dari balik tabir. Allah berfirman kepadanya, "Wahai hamba-Ku, apa yang engkau inginkan!!"

"Ya Allah," Kata Abu Jabir, "Kembalikanlah aku ke bumi agar aku dapat berjuang dan sekali lagi gugur syahid di jalan-Mu…!!"

Allah berfirman kepadanya, "Telah tetap ketentuan-Ku, bahwa siapapun yang telah mati, tidak akan dikembalikan lagi ke bumi…!!"

"Kalau memang demikian, Ya Allah, sampaikanlah keadaanku ini kepada orang-orang di belakangku," Kata Abu Jabir.

Maka turunlah Surah Ali Imran ayat 169-170 sebagai realisasi permintaan Abdullah bin Amr ini. Yakni Allah berfirman, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Sebagian riwayat lain menyebutkan, asbabun nuzul ayat tersebut adalah kesedihan sebagian besar sahabat karena syahidnya para sanak saudara mereka dalam Perang Uhud, dan tubuhnya dirusak oleh orang-orang kafir Quraisy. Seolah-olah Allah memberikan hiburan kepada para sahabat yang masih hidup, sekaligus memberi motivasi dan semangat untuk terus berjihad di jalan Allah.

Abu Jabir dimakamkan dalam satu lubang dengan sahabatnya yang juga syahid di Perang Uhud, yakni Amr bin Jamuh. Nabi SAW menyatakan bahwa dua orang itu bersahabat dan saling sayang menyayangi selagi hidup di dunia, sehingga sudah sepantasnya jika mereka tetap bersama dalam satu pemakaman.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Mu'adz bin Amr bin Jamuh RA dan Mu'awidz bin Afra RA
Utsman bin Mazh'un RA
Abul Haitsam at Tayyihan RA
Abdullah bin Jahsy RA
Khalid bin Sa'id bin Ash RA

Tsa'labah Bin Abdurrahman RA

Dia menuju ke sebuah gunung yg berada diantara Mekkah dan Madinah dan terus mendakinya.Selama empat puluh hari Rasulullah SAW. kehilangan dia. Lalu Jibril alaihissalam turun kepada Nabi SAW. dan berkata, "Wahai Muhammad! Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam buatmu dan berfirman kepadamu, `Sesungguhnya seorang laki-laki dari umatmu berada di gunung ini sedang memohon perlindungan kepada-Ku.'"

Maka Nabi SAW. berkata, "Wahai Umar dan Salman! Pergilah cari Tsa'laba bin Aburrahman, lalu bawa kemari."

Keduanya pun lalu pergi menyusuri perbukitan Madinah. Dalam pencariannya itu mereka bertemu dengan salah seorang penggembala Madinah yang bernama Dzufafah.

Umar bertanya kepadanya, "Apakah engkau tahu seorang pemuda di antra perbukitan ini?"

Penggembala itu menjawab, "Jangan-jangan yg engkau maksud seorang laki-laki yang lari dari neraka Jahanam?"

"Bagaimana engkau tahu bahwa dia lari dari neraka Jahanam?" tanya Umar.

Dzaufafah menjawab, "Karena, apabila malam telah tiba, dia keluar kepada kami dari perbukitan ini dengan meletakkan tangannya di atas kepalanya sambil berkata, "Mengapa tidak cabut saja nyawaku dan Engkau binasakan tubuhku, dan tidak membiarkan aku menanti keputusan!"

"Ya, dialah yang kami maksud," tegas Umar. Akhirnya mereka bertiga pergi bersama-sama.

Ketika malam menjelang, keluarlah dia dari antara perbukitan itu dengan meletakkan tangannya di atas kepalanya sambil berkata, "Wahai, seandainya saja Engkau cabut nyawaku dan Engkau binasakan tubuhku, dan tidak membiarkan aku menanti-nanti keputusan!"

Lalu Umar menghampirinya dan mendekapnya. Tsa'labah berkata, "Wahai Umar! Apakah Rasulullah telah mengetahui dosaku?"

"Aku tidak tahu, yg jelas kemarin beliau menyebut-nyebut namamu lalu mengutus aku dan Salman untuk mencarimu."

Tsa'labah berkata, "Wahai Umar! Jangan kau bawa aku menghadap beliau kecuali dia dalam keadaan shalat"

Ketika mereka menemukan Rasulullah SAW. tengah melakukan shalat, Umar dan Salman segera mengisi shaf. Tatkala Tsa'laba mendengar bacaan Nabi SAW, dia tersungkur pingsan.

Setelah Nabi mengucapkan salam, beliau bersabda, "Wahai Umar! Salman! Apakah yang telah kau lakukan Tsa'labah?"

Keduanya menjawab, "Ini dia, wahai Rasulullah SAW!" Maka Rasulullah berdiri dan menggerak-gerakkan Tsa'labah yg membuatnya tersadar.

Rasulullah SAW. berkata kepadanya, "Mengapa engkau menghilang dariku?"

Tsa'labah menjawab, "Dosaku, ya Rasulullah!"

Beliau mengatakan, "Bukankah telah kuajarkan kepadamu suatu ayat yg apat menghapus dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan?"

"Benar, wahai Rasulullah."

Rasulullah SAW. bersabda, "Katakan… Ya Tuhan kami, berilah kami sebahagiaan di dunia dan di akhirat serta peliharalah kami dari azab neraka." (QS al-Baqarah:201)

Tsa'labah berkata, "Dosaku, wahai Rasulullah, sangat besar."

Beliau bersabda,"Akan tetapi kalamullah lebih besar."

Kemudian Rasulullah menyusul agar pulang kerumahnya. Di rumah dia jatuh sakit selama delapan hari. Mendengar Tsa'labah sakit, Salman pun datang menghadap Rasulullah SAW. lalu berkata, "Wahai Rasulullah! Masihkah engkau mengingat Tsa'labah? Deia sekarang sedang sakit keras."

Maka Rasulullah SAW. datang menemuinya dan meletakkan kepala Tsa'labah di atas pangkuan beliau. Akan tetapi Tsa'labah menyingkirkan kepalanya dari pangkuan beliau." Mengapa engkau singkirkan kepalamu dari pangkuanku?" tanya Rasulullah SAW.

"Karena penuh dengan dosa." Jawabnya

Beliau bertanya lagi, "Bagaimana yang engkau rasakan?"

"Seperti dikerubuti semut pada tulang, daging, dan kulitku." Jawab Tsa'labah.

Beliau bertanya, "Apa yang kau inginkan?"

"Ampunan Tuhanku." Jawabnya.

Maka turunlah Jibril as. dan berkata, "Wahai Muhammad! Sesungguhnya Tuhanmu mengucapkan salam untukmu dan berfirman kepadamu, `Kalau saja hamba-Ku ini menemui Aku dengan membawa sepenuh bumi kesalahan, niscaya Aku akan temui dia dengan ampunan sepenuh itu pula.'

Maka segera Rasulullah SAW. membertahukan hal itu kepadanya. Mendengar berita itu, terpekiklah Tsa'labah dan langsung ia meninggal.Lalu Rasulullah SAW. memerintahkan agar Tsa'labah segera dimandikan dan dikafani. Ketika telah selesai menyalatkan, Rasulullah SAW. berjalan sambil berjingkat-jingkat. Setelah selesai pemakamannya, para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah! Kami lihat engkau berjalan sambil berjingkat-jingkat." Beliau bersabda, "Demi Zat yang telah mengutus aku sebagai seorang nabi yang sebenarnya! Karena, banyaknya malaikat yang turut melayat Tsa'labah."

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :

Sa’ad bin Ubadah RA

Setiap menyebut nama Sa’ad bin Mu’adz, pastilah disebut pula bersamanya Sa’ad bin Ubadah. Mereka berdua adalah pemuka-pemuka penduduk Madinah. Sa’ad bin Mu’adz pemuka Suku Aus, sedang Sa’ad bin Ubadah pemuka Suku Khazraj. Keduanya lebih dini masuk Islam, menyaksikan Baiat Aqabah dan hidup di samping Rasulullah sebagai prajurit yang taat dan Mukmin sejati.

Mungkin kelebihan Sa’ad bin Ubadah karena dia satu-satunya dari golongan Anshar yang menanggung siksaan Quraisy yang dialami hanya kaum Muslimin penduduk Makkah. 

Adalah suatu hal yang wajar jika Quraisy melampiaskan amarah dan kekejaman mereka kepada orang-orang yang sekampung dengan mereka yaitu warga kota Makkah. Tetapi jika siksaan itu mencapai pada laki-laki warga Madinah, padahal ia bukan laki-laki kebanyakan, tetapi seorang tokoh di antara para pemimpin dan pemukanya, maka keistimewaan itu telah ditakdirkan hanya bagi Sa’ad bin Ubadah seorang.

Begini ceritanya, setelah selesainya perjanjian Aqabah yang dilakukan secara rahasia, dan orang-orang Anshar telah bersiap-siap hendak kembali pulang, orang-orang Quraisy mengetahui janji setia orang-orang Anshar ini serta persetujuan mereka dengan Rasulullah SAW, di mana mereka akan berdiri di belakangnya dan menyokongnya menghadapi kekuatan­kekuatan musyrik dan kesesatan.

Timbullah kepanikan di kalangan Quraisy, dan mereka segera mengejar kafilah Anshar. Kebetulan mereka berhasil menangkap Sa’ad bin Ubadah. Kedua tangannya mereka ikatkan ke atas pundaknya dengan tali kendaraannya, lalu mereka bawa ke Makkah. Di Makkah, iring-iringan ini disambut beramai-ramai oleh penduduk yang memukul dan melakukan siksaan pada Sa'ad sesuka hati mereka.

Bayangkan, Sa’ad bin Ubadah, sang pemimpin Madinah, mendapat perlakuan seperti ini. Ia yang selama ini melindungi orang yang minta perlindungan, menjamin keamanan perdagangan mereka, memuliakan utusan dari pihak mana pun yang berkunjung ke Madinah, telah diikat, dipukuli, dan disiksa. Dan orang-orang yang memukulnya seolah tidak kenal padanya dan tidak mengetahui kedudukannya di kalangan kaumnya!

Sa’ad segera meninggalkan Makkah setelah menerima penganiayaan, hingga diketahuinya dengan pasti sampai di mana persiapan Quraisy untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kaum yang tersingkir, yang menyeru kepada kebaikan, kepada hak dan keselamatan. Dan permusuhan Quraisy ini telah mempertebal semangatnya hingga diputuskannya secara bulat akan membela Rasulullah saw, para sahabat dan Agama Islam secara mati-matian.

Rasulullah saw melakukan hijrah ke Madinah, dan sebelumnya itu para sahabatnya telah lebih dulu hijrah. Ketika itu demi melayani kepentingan orang-orang Muhajirin, Sa’ad membaktikan harta kekayaannya. Sa’ad adalah seorang dermawan, baik dari tabiat pembawaan, maupun dari turunan. 

Ia adalah putra Ubadah bin Dulaim bin Haritsah yang kedermawanannya di zaman jahiliyah lebih tenar dari ketenaran manapun juga. Dan memang, kepemurahan Sa’ad di zaman Islam merupakan salah satu bukti dari bukti-bukti keimanannya yang kuat lagi tangguh. Dan mengenai sifatnya ini ahli-ahli riwayat pernah berkata, “Sa’ad selalu menyiapkan perbekalan bagi Rasulullah saw dan bagi seluruh isi rumahnya."

Kata mereka pula, “Biasanya seorang laki-laki Anshar pulang ke rumahnya membawa seorang dua atau tiga orang Muhajirin, sedang Sa’ad bin Ubadah pulang dengan 80 orang!” 

Oleh sebab itu, Sa’ad selalu memohon kepada Tuhannya agar ditambahi rezki dan karunia-Nya. Dan ia pernah berkata, “Ya Allah, tiadalah yang sedikit itu memperbaiki diriku, dan tidak pula baik bagiku!” 

Wajarlah apabila Rasulullah saw mendoakannya, “Ya Allah, berilah keluarga Sa’ad bin Ubadah karunia serta rahmat-Mu!”

Sa’ad tidak hanya menyiapkan kekayaannya untuk melayani kepentingan Islam yang murni, tetapi juga ia membaktikan kekuatan dan kepandaiannya. Ia adalah seorang yang amat mahir dalam memanah. Dalam peperangannya bersama Pasulullah SAW, pengorbanannya amat penting dan menentukan. 

Ibnu Abbas RA berkata, “Di setiap peperangannya, Rasulullah SAW mempunyai dua bendera; bendera Muhajirin di tangan Ali bin Abi Thalib dan bendera Anshar di tangan Sa’ad bin Ubadah."

Pada hari-hari pertama pemerintahan Khalifah Umar bin Khathab, Sa’ad pergi menjumpai Amirul Mukminin dan dengan blak-blakan berkata kepadanya, "Demi Allah, sahabat anda, Abu Bakar, lebih kami sukai daripada anda. Dan sungguh, demi Allah, aku tidak senang tinggal berdampingan dengan anda.”

Dengan tenang Umar menjawab, “Orang yang tidak suka berdampingan dengan tetangganya, tentu akan menyingkir daripadanya." 

Sa’ad menjawab pula, "Aku akan menyingkir dan pindah ke dekat orang yang lebih baik daripada anda.”

Dengan kata-kata yang diucapkannya kepada Amirul Mukminin Umar bin Khathab itu, tiadalah Sa’ad bermaksud hendak melampiaskan amarah atau menyatakan kebencian hatinya. Karena orang yang telah menyatakan ridhanya kepada putusan Rasulullah SAW, sekali-kali tiada akan keberatan untuk mencintai seorang tokoh seperti Umar, selama dilihatnya ia pantas untuk dimuliakan dan dicintai Rasulullah.

Maksud Sa’ad ialah bahwa ia tidak akan menunggu datangnya suasana, di mana nanti mungkin terjadi pertikaian antaranya dengan Amirul Mukminin. Pertikaian yang sekali-kali tidak diinginkan dan disukainya. Maka disiapkannyalah kendaraannya, menuju Suriah. Dan belum lagi ia sampai ke sana dan baru saja singgah di Hauran, ajalnya telah datang menjemputnya dan mengantarkannya ke sisi TuhannyaYang Maha Pengasih.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Abu Ayyub al-Anshari RA
Umair bin Hammam al Anshari RA
Asma binti Yazid al Anshari RA
Abdullah bin Abdullah bin Ubay RA
Asma binti Umais RA

Zaid al Khoir RA

Zaid al Khoil, seorang badui (dari desa atau pedalaman padang pasir Arabia) yang telah memeluk Islam datang ke Madinah untuk menemui Nabi SAW. Setelah menambatkan untanya di depan masjid dan menyampaikan salam kepada Nabi SAW, ia berkata, "Ya Rasulullah, saya telah melelahkan kendaraanku selama sembilan hari. Setelah itu saya menuntunnya lagi selama enam hari secara terus menerus. Berpuasa di siang hari dan jarang tidur di malam harinya, sehingga tungganganku sangat lelah. Semua itu saya lakukan hanya untuk menanyakan dua masalah yang merisaukan saya sehingga saya susah tidur….!!"

Nabi SAW memandang lelaki badui itu dengan kagum, seorang muslim sederhana yang telah berjuang begitu beratnya menempuh perjalanan jauh untuk memperoleh penjelasan langsung dari Nabi SAW tentang dua masalah. Beliau bersabda, "Siapakah engkau?"

"Zaid al Khoil (Zaid, sang unta)…" Kata Zaid.

Tampaknya Nabi SAW kurang berkenan dengan namanya tersebut, seolah-olah kurang jelas mendengar jawabannya, beliau bersabda, “Oh, jadi namamu Zaid al Khoir (Zaid, yang penuh kebaikan)…!!"

Jelas sekali kalau Nabi SAW ingin mengganti namanya, dan Zaid sangat senang dengan penamaan Nabi SAW tersebut. Ia berkata, “Benar, ya Rasulullah, saya Zaid al Khoir!!”

Setelah itu beliau berkata lagi, "Tanyakanlah..!! Kemungkinan sesuatu yang sukar itu sudah pernah ditanyakan kepadaku sebelumnya…"

Zaid berkata, "Saya ingin bertanya kepadamu tentang tanda orang yang disukai Allah dan tanda orang yang dimurkai-Nya..!"

"Untung…Untung…" Kata Nabi SAW, tampak sekali kegembiraan beliau atas pertanyaan tersebut, tidak salah kalau namanya memang ‘Al Khoir’. Kemudian beliau bertanya lagi, "Bagaimana keadaanmu kini, hai Zaid?"

Zaid menjawab, "Saya sekarang ini senang dengan amal kebaikan, senang dengan orang-orang yang mengamalkan kebaikan, dan senang dengan tersebarnya amal kebaikan. Saya menyesal jika tertinggal akan amal kebaikan dan rindu untuk melakukan kebaikan. Jika saya melakukan kebaikan, sedikit atau banyak, saya yakin akan pahalanya….!!"

Nabi SAW bersabda, "Ya itu, itulah dia tandanya….andaikata Allah tidak suka kepadamu, tentu engkau disiapkan untuk melakukan hal yang lain (yang berlawanan) dari yang kaukatakan itu, dan Dia tidak akan perduli di jurang mana engkau akan binasa…."

"Cukup, cukup, ya Rasulullah…!!" Kata Zaid, seolah ia tidak ingin beliau menjelaskan lebih lanjut.

Setelah mengucap terima kasih dan mengucapkan salam perpisahan, Zaid keluar dari masjid dan menaiki kendaraannya, dan memacunya pulang.

Wajah Nabi SAW makin bersinar saja tanda beliau sangat gembira. Bagaimana tidak gembira? Musafir dari jauh ini tidak setiap saat bertemu dan bergaul dengan Nabi SAW, tetapi dia bisa merasakan nuansa kasih sayang Allah begitu mendalam, sebagaimana yang dirasakan sahabat-sahabat yang selalu hadir di sekitar sosok "Rahmatan lil 'alamin" ini, Nabi Muhammad SAW.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Maisarah bin Masruq al Absi RA
Mu'az Al Qary RA
Umair bin Abi Waqqash RA
Muhayyishah & Huwayyishah R.Huma
Ummu Umarah RA

Kultsum Bin Hikam RA

Dalam suatu misi dakwah yang dikirim oleh Nabi Muhammad SAW, Kultsum bin Hikam di tugaskan beliau sebagai imam dalam melaksanakan shalat. Ia memiliki sebuah kebiasaan yang unik, yaitu setiap ia selesai membaca surat Al - Fatihah dan surat yang di pilihnya ia selalu membaca surat al ikhlas (Qul huwallahu ahad... dst) sebelum ruku, pada setiap rakaat d semua shalatnya. Beberapa orang anggota pasukan sempat memperbincangkan masalah tersebut. Mereka menganggapnya sebagai hal baru yang di buat - buat (bid'ah) karena Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukannya. Tetapi mereka juga tidak berani menegur karena ia merupakanimam pilihan Rasulullah SAW.

Ketika kembali ke Madinah, barulah mereka melaporkan hal tersebut kepada Nabi Muhammad SAW tentang kebiasaan unik Kultsum tersebut. Atas pengaduan ini, beliau bersabda, "Tanyakanlah langsung kepadanya, kenapa ia berbuat demikian...!!"

Mereka segera menemui Kultsum dan menanyakan alasannya berbuat seperti itu, sebagaimana di perintahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Kultsum berkata, "Karena di dalam ayat - ayat tersebut (Yakni surat al ikhlas) terdapat kandungan sifat Dzat Yang Maha Pemurah, maka saya senang sekali membacanya dalam shalat...!!"

Mereka membawa jawaban Kultsum ini kepada Nabi Muhammad SAW dan beliau bersabda, "Kabarkanlah kepadanya (Kultsum) bahwa Allah SWT mencintai dirinya karena kebiasaannya dalam shalat itu...!!"

Sungguh keberuntungan bagi Kultsum mungkin hanya ijtihadnya sendri membaca surat al ikhlas dalam setiap rakaat shalat, dengan dalih adanya siifat Pemurah Allah dalam surat tersebut. Tetapi ternyata itu menjadi sebab ia di cintai Allah SWT.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Amr bin Salamah RA
Abdullah Bin Rawahah RA
Harits bin Hisyam RA
Abbad bin Bisyr al Anshari RA
Ashim bin Tsabit al Anshari RA

Usamah Bin Zaid RA

Usamah bin Zaid adalah putra dari sahabat kesayangan Rasulullah SAW, Zaid bin Haritsah, yang beliau pernah menjadikannya sebagai anak angkat, dari status sebelumnya sebagai budak dan pelayan beliau. Ibunya pun adalah orang yang dekat dan disayang Rasulullah SAW, Ummu Aiman, bekas sahaya beliau. Keduanya merupakan orang-orang yang mula-mula memeluk Islam, sehingga tak heran Usamah pun menjadi kesayangan beliau seperti juga ayahnya.

Usamah lahir pada tahun ketiga atau keempat dari kenabian, sehingga praktis ia tidak pernah mengalami masa jahiliah. Didikan masa kecil dan remajanya adalah akhlak kenabian, baik dari kedua orang tuanya yang adalah didikan Nabi SAW, atau bahkan terkadang beliau turun langsung dalam membentuk akhlak Usamah. Kondisi seperti inilah yang menambah rasa sayang beliau kepadanya.

Beberapa sahabat-pun sangat sayang pada remaja ini melebihi anaknya sendiri, seperti yang terjadi pada Umar bin Khathab. Saat menjadi khalifah, Umar pernah membagi-bagikan uang pada masyarakat, dan jumlahnya berbeda-beda berdasarkan kedudukan dan jasa mereka kepada Islam, dan juga penilaian Nabi SAW atas mereka. Ketika tiba giliran anaknya, Abdullah bin Umar, ia memberikan satu bagian. Giliran Usamah bin Zaid, Umar memberikannya dua bagian dari bagian anaknya.

Abdullah bin Umar jadi bertanya-tanya, bukan masalah jumlahnya karena pada dasarnya ia juga didikan Nabi SAW yang mengutamakan kehidupan zuhud dan sederhana seperti juga Umar, ayahnya. Hanya saja ia takut ada yang kurang dalam amal ketaatan dan kesalehannya, karena itu ia bertanya, “Wahai ayah, mengapa engkau mengutamakan Usamah dibanding anakmu sendiri? Bukankah saya mengikuti pertempuran yang tidak atau belum diikutinya bersama Rasulullah??”

Tetapi jawaban Umar tegas dan tidak dapat dibantah lagi, ia berkata, “Usamah lebih dicintai Rasulullah daripada dirimu, seperti juga ayahnya lebih disayang Rasulullah daripada ayahmu….!!”

Dalam usianya yang masih sangat muda, ia telah ikut menerjuni beberapa pertempuran bersama Nabi SAW. Dalam Fathul Makkah, ketika Nabi SAW akan memasuki Ka’bah, beliau membawa Bilal di sisi kanan dan Usamah bin Zaid di sisi kiri beliau. Sungguh kehormatan besar yang diberikan Nabi SAW kepada keduanya, bukan Abu Bakar atau Umar, atau delapan sahabat lainnya yang telah beliau jamin masuk surga. Dua orang itu adalah bekas budak yang secara umum, mungkin kedudukannya tampak rendah di masyarakat.

Nabi SAW pernah mengirimkan suatu pasukan di bawah kepemimpinan Usamah bin Zaid, pengalaman pertamanya memimpin suatu pasukan setelah sebelumnya hanya sebagai prajurit biasa. Pasukannya ini memperoleh kemenangan gemilang, dan sebagai orang yang disayang, Nabi SAW langsung menyambutnya dan memintanya menceritakan pengalamannya. Mulailah Usamah menceritakan jalannya pertempuran. Tampak wajah Nabi SAW berseri karena senangnya dengan apa yang dijalani “Kesayangan Rasulullah SAW, putra dari kesayangan Rasulullah SAW”, begitu kebanyakan sahabat menyebut Usamah bin Zaid ini.

Ketika Usamah menceritakan, bahwa seorang pemanggul panji musyrik yang perkasa banyak membunuh dan melukai tentera muslim sehingga pedangnya berlepotan darah dan daging para syahid masih menempel. Usamah pun mengejar dan memerangi langsung orang tersebut. Ia berhasil melumpuhkannya, tetapi ketika ia akan melakukan pukulan terakhir dengan tombaknya, orang tersebut mengucap “La ilaaha illallah”. Usamah sempat bimbang, tetapi dipikirnya, itu hanya siasat untuk menyelamatkan diri saja, karena itu ia terus menombaknya hingga tewas.

Tiba-tiba saja wajah Nabi SAW berubah merah padam tanda beliau marah, beliau berkata, “Celaka engkau wahai Usamah, begitukah tindakanmu terhadap orang yang mengucap ‘La ilaaha illallah’??”

“Wahai Rasulullah,” Kata Usamah mencoba menjelaskan dan membela diri, walau dengan ketakutan, “Dia mengatakan kalimat itu hanya untuk menyelamatkan diri saja….!!”

“Begitu!!” Kata Nabi SAW, masih dengan nada tinggi, pertanda beliau masih marah, “Mengapa tidak engkau belah dadanya dan engkau lihat apakah ia mengatakannya itu ikhlas dari hatinya atau karena pura-pura semata??”

Memang, bukanlah hak dan kewajiban kita menilai apa yang ada di dalam hati seseorang, apa yang tampil dan terlihat itu saja yang menjadi ukuran kita dalam mengambil sikap. Itulah pelajaran berharga yang ingin disampaikan Nabi SAW pada pemuda kesayangan beliau tersebut, sekaligus kepada kita semua.

Atas peristiwa tersebut, Nabi SAW menyatakan Usamah telah bersalah, tetapi tidak ditetapkan qishas (hukum bunuh, dipancung) atas dirinya, karena “pembunuhan” yang dilakukannya tidak sengaja, hanya suatu kesalahan. Nabi SAW mengumpulkan harta benda untuk membayar diyat (seratus ekor unta) kepada keluarga pemanggul panji musyrik yang mengucap “La ilaaha illallaah” tersebut.

Usamah sendiri tak henti-hentinya bertobat dan menyesali “kelancangannya” tersebut, sehingga menyebabkan Nabi SAW begitu murka kepadanya, walaupun kemudian beliau mendoakan untuk mendapat rahmat dan maghfirah Allah baginya. Tetapi setiap kali mengingat peristiwa tersebut, selalu saja ia menangis dan menyesal sambil berkata, “Amboi, andai saja ibuku tidak pernah melahirkan diriku…..!!”

Beberapa hari sebelum wafat, Nabi SAW menghimpun pasukan besar yang akan dikirim ke Syam, tepatnya di wilayah Palestina, pada tempat bernama Abna. Latar belakang pengiriman pasukan ini adalah terbunuhnya Farwah bin Amr al Judzami, bekas komandan pasukan Arab yang berpihak Romawi, yang juga gubernur Ma’an karena keputusannya memeluk Islam. Ia disalib dan dipenggal kepalanya oleh penguasa Romawi di Palestina.

Pasukan besar tersebut terdiri dari pejuang-pejuang senior dari kaum Muhajirin dan Anshar ini, termasuk Umar bin Khaththab dan para Ahlul Badr lainnya. Nabi SAW memutuskan pimpinan pasukan diserahkan kepada Usamah bin Zaid. Keputusan beliau ini ternyata menimbulkan perbincangan dan kritikan dari beberapa orang sahabat. Yang paling keras komentarnya adalah Ayyasy bin Abi Rabiah, ia berkata, “Anak kecil itu menjadi komandan dan amir dari kaum muhajirin awal??”

Saat itu Nabi SAW telah sakit cukup parah dan beliau tidak mengetahui secara langsung perbincangan pro-kontra yang terjadi dan berkembang di masyarakat Madinah. Ketika Umar mengabarkan hal tersebut, beliau bangkit dan mengikat kepala beliau dengan sorban untuk mengurangi rasa sakit. Sambil memakai selimut, beliau naik ke atas mimbar di mana orang-orang sedang berkumpul. Setelah memuji Allah, beliau bersabda, “Telah kudengar sebagian dari kalian mengecam kepemimpinan Usamah. Demi Allah, jika kalian mengecamdirinya, berarti kalian mengecam bapaknya. Demi Allah, sungguh ia (Zaid bin Haritsah) layak sebagai pemimpin, dan sepeninggal bapaknya, putranya sangat layak sebagai pemimpin. Dan sungguh, Zaid adalah orang yang sangat aku kasihi, demikian juga Usamah. Keduanya layak untuk mendapat semua kebajikan, karena itu, berwasiatlah kalian dalam kebajikan karena ia adalah sebaik-baiknya orang di tengah kalian…!!”

Peristiwa tersebut terjadi pada hari sabtu tanggal 10 Rabi’ul Awal. Setelah khutbah beliau itu, para sahabat yang ikut dalam pasukan tersebut berpamitan kepada Nabi SAW, termasuk Umar bin Khaththab. Hari Ahadnya, Usamah menemui Nabi SAW, keadaan sakit beliau makin parah dan sempat pingsan. Setelah siuman, Usamah membungkuk dan mencium beliau sambil matanya berkaca-kaca. Tetapi Nabi SAW hanya mengangkat tangannya, seakan-akan berdoa, kemudian beliau mengusapkannya ke wajah Usamah. Usamah menangkap isyarat tersebut sebagai doa restu untuk keberangkatannya, ia pun berangkat menuju tempat pasukan berkumpul di Jurf, sebuah tempat tidak jauh di luar Madinah, sekitar tiga mil.

Senin pagi tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 hijriah, seharusnya ia memberangkatkan pasukannya ke Palestina, tetapi Usamah merasa tidak tenang dengan kondisi Nabi SAW yang ditinggalkannya kemarin. Karena itu ia kembali ke rumah Nabi SAW, dan setibanya disana, beliau tampak sehat, Usamah-pun gembira. Beliau sekali lagi mendoakan Usamah, kemudian bersabda, “Berangkatlah engkau dengan berkat dari Allah…!!”

Usamah kembali ke pasukannya di Jurf, ia segera mempersiapkan diri untuk segera berangkat. Tetapi belum sempat bergerak, datang utusan dari ibunya, Ummu Aiman, yang memberi kabar bahwa Nabi SAW telah wafat. Usamah memerintahkan pasukan untuk kembali ke Madinah. Buraidah bin Hushaib, sahabat yang diperintahkan Nabi SAW membawa dan menyerahkan panji ke rumah Usamah, membawanya kembali dan menancapkannya di sebelah rumah beliau.

Setelah wafatnya Nabi SAW dan Abu Bakar terpilih jadi khalifah, wacana pasukan yang dipimpin Usamah kembali mengemuka. Sebagian sahabat yang dipimpin Umar bin Khaththab berpendapat bahwa pengiriman pasukan tersebut harus dibatalkan, karena banyak sekali kabilah yang murtad dan bersiap menyusun kekuatan kembali untuk lepas dari pemerintahan Islam di Madinah. Mereka ini khawatir jika kabilah-kabilah tersebut menyerang Madinah. Usamah sendiri berada dalam kelompok ini, karena pendapat tersebut yang paling masuk akal. Tetapi bukan Ash-Shiddiq namanya kalau Abu Bakar hanya menuruti pendapat yang hanya berdasar logika semata, karena itu ia berkeras mengirim pasukan tersebut sesuai perintah Nabi SAW.

Setelah gagal mempengaruhi Khalifah baru untuk membatalkan keberangkatan pasukan ke Palestina, muncullah wacana kedua, yakni penggantian pimpinan pasukan karena Usamah hanya seorang pemuda 20 tahunan. Di antara personal pasukan tersebut terdapat sahabat-sahabat utama yang ikut terjun dalam pertempuran bersama Nabi SAW di dalam perang Badar, Uhud dan peperangan lainnya yang cukup terkenal kepahlawanannya, misalnya saja Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Jarrah, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan lain-lainnya termasuk Umar sendiri, mereka itu yang lebih pantas menjadi komandan. Sekali lagi, tokoh pengusul ini adalah Umar bin Khaththab, dan kali ini reaksi Abu Bakar cukup keras, “Celaka engkau wahai Ibnu Khaththab!! Pantaskah saya memecat seseorang sebagai komandan pasukan (yakni Usamah bin Zaid), padahal Rasulullah SAW sendiri yang telah mengangkatnya??”

Dengan reaksi yang begitu keras dan tegas ini, para sahabat tidak ada lagi yang berani mengemukakan pendapat. Abu Bakar yang biasanya mereka kenal lemah lembut dan gampang menangis, tiba-tiba menjadi begitu keras dan tegas. Tetapi sikap seperti itulah yang memang diperlukan di saat kondisi kaum muslimin sedang labil karena wafatnya Rasulullah SAW.

Abu Bakar berkata, “Berangkatkanlah pasukan Usamah, sesungguhnya aku tidak perduli jika binatang-binanang buas akan menerkam dan mencabik-cabikku di Madinah karena berangkatnya pasukan tersebut. Sesungguhnya telah turun wahyu kepada Nabi SAW, ‘Berangkatkan pasukan Usamah!!’, dan aku tidak akan mengubah keputusan beliau. Hanya saja aku meminta kepada Usamah agar mengijinkan Umar tinggal di Madinah karena aku memerlukan buah pikirannya untuk membantuku di sini. Tetapi jika Usamah tidak mengijinkan aku tidak akan memaksanya lagi…..!!”

Tentu saja dengan senang hati Usamah ‘mengijinkan’, atau lebih tepatnya memenuhi permintaan Abu Bakar tersebut agar Umar tetap tinggal di Madinah.

Pasukan Usamah kembali bergerak ke arah Jurf, tempat dimana Nabi SAW telah menetapkan untuk berkumpul. Abu Bakar mengiring keberangkatan pasukan dengan berjalan kaki dan menuntun tunggangan Usamah, sedang tunggangan Abu Bakar dituntun oleh Abdurrahman bin Auf. Abu Bakar juga sempat berkata, “Siapapun mereka yang pernah ditunjuk Rasulullah untuk berangkat bersama Usamah, janganlah sampai tertinggal. Demi Allah, tidaklah didatangkan kepadaku orang yang tertinggal tersebut, kecuali aku akan memerintahkan dirinya menyusul Usamah dengan berjalan kaki…..!!!!”

Usamah merasa tidak enak dengan Abu Bakar yang berjalan kaki, apalagi menuntun tunggangannya layaknya seorang budak atau penunjuk jalan saja. Ia berkata, “Wahai khalifah Rasulullah, naikilah tungganganmu, atau aku akan turun saja berjalan kaki bersamamu…!!”

“Jangan…!!” Kata Abu Bakar, “Tetaplah engkau di tungganganmu, aku ingin kakiku berdebu di jalan Allah, karena menurut Nabi SAW, untuk setiap langkah di jalan Allah itu akan dituliskan tujuhratus kebaikan, dinaikkan tujuhratus derajad, dan akan dihapuskan tujuhratus kesalahan…”

Usamah membawa pasukannya menyusuri kabilah demi kabilah, baik yang tetap memeluk Islam, atau yang ragu-ragu dan bersiap-siap untuk murtad. Rombongan besar pasukan Usamah ini ternyata memunculkan logika tersendiri pada mereka sehingga mereka berteguh memeluk Islam. Sebelumnya mereka mengira dengan wafatnya Nabi SAW, Madinah akan menjadi lemah dan tak mampu lagi memerangi musuh-musuhnya. Tetapi melihat besarnya pasukan yang dikirim ke perbatasan Romawi di Abna, Palestina ini, mereka berfikir, pasukan yang mempertahankan Madinah tentunya akan lebih besar lagi. Apalagi, ternyata Abu Bakar juga mengirim beberapa pasukan dari personal yang tertinggal di Madinah untuk memerangi kabilah-kabilah yang murtad dan yang menolak membayar zakat.

Kedatangan pasukan Usamah ternyata mengejutkan pasukan Romawi di Palestina yang telah mengeksekusi Farwah bin Amr al Judzami. Mereka sama sekali tidak menyangka kedatangan pasukan sebesar itu setelah wafatnya Nabi SAW. Mereka telah begitu mengenal bagaimana sikap heroik dan semangat tempur pasukan muslim dan tidak mau beresiko menghadapi pasukan muslim pimpinan Usamah. Karena itu mereka memilih melarikan diri dan meninggalkan barang ghanimah yang banyak bagi pasukan Usamah.

Kemenangan pasukan Usamah memberikan dukungan psikologis yang positif terhadap kelangsungan Islam ketika Nabi SAW wafat. Mungkin beliau telah menerima isyarat bagaimana suasana masyarakat Islam ketika beliau wafat, dan kekacauan yang akan terjadi. Karena itu, tampak sekali beliau “memaksakan” untuk membentuk dan mengirim pasukan Usamah, walau saat itu keadaan beliau sakit parah. Dan terbukti kemudian nubuwah ini, bahwa perintah beliau memberikan manfaat besar bagi umat Islam di masa kritis pergantian pimpinan pemerintahan Islam ke khalifah Abu Bakar.

Karena pengalamannya mendapat celaan Rasulullah SAW, Usamah jadi sangat berhati-hati dalam urusan jiwa manusia. Ketika terjadi pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, ia mengurung diri di rumahnya. Sebenarnya ia mengetahui kalau Ali dalam jalan kebenaran, tetapi ia memilih untuk tidak berpihak kepada keduanya. Ia mengirim surat kepada Ali, yang ia ikut memba’iatnya sebagai khalifah, sebagai berikut, “Demi Allah wahai Amirul Mukminin, seandainya anda meminta saya untuk menemani anda memasuki kandang harimau, saya pasti akan melakukannya. Tetapi sekali-kali saya tidak akan menyentuh kulit seorang muslim dengan ujung pedang saya….”

Ketika beberapa sahabat yang memihak Ali juga berusaha untuk mengubah pendiriannya, Usamah berkata tegas, “Saya tidak akan pernah memerangi orang-orang yang mengucapkan La ilaaha illallaah selama-lamanya…!!”

Salah satu dari mereka sempat mendebatnya, “Bukankah Allah telah berfirman : Dan perangilah mereka hingga tidak ada lagi fitnah, dan agama seluruhnya adalah milik Allah…!!”

Usamah-pun menjawab, “Ayat itu ditujukan untuk memerangi orang-orang musyrik, dan kita telah memerangi mereka hingga fitnah telah lenyap dan agama seluruhnya menjadi milik Allah…!!”

Bagaimana tidak, dalam suatu pertempuran melawan kaum musyrik, dimana berlaku hukum “membunuh atau dibunuh (kill or to be kill)”, ia telah dicela dengan keras oleh Rasulullah SAW karena membunuh seorang kafir yang membaca “La ilaaha illallaah”, yang menurut pemahaman (ijtihad)-nya hanyalah untuk menyelamatkan diri saja. Sangat mungkin terjadi si kafir itu akan balik membunuhnya jika ia melepaskannya saat itu, apalagi pedangnya-pun masih terhunus. Tetapi itupun bukan alasan yang bisa diterima Rasullullah SAW. Bagaimana lagi ia akan mempertanggung-jawabkan kepada Nabi SAW jika ia membunuh seseorang yang jelas-jelas beriman kepada Allah dan Rasul-Nya? Jelas-jelas orang yang beragama Islam dan menjalankan shalat seperti dirinya dan kaum muslimin lainnya?

Seorang sahabat lainnya memang pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, atas suatu peristiwa dalam pertempuran, yang lebih kurang sama dengan peristiwa Usamah tersebut. Nabi SAW bersabda, “Kalau itu terjadi, si kafir akan akan memperoleh balasan seperti keadaan engkau sebelum membunuhnya,dan engkau akan memperoleh balasan seperti keadaan si kafir sebelum ia terbunuh…..!!”

Maksudnya, orang kafir tersebut, yang membaca ‘Laa ilaaha illallaah’ ketika akan terbunuh akan memperoleh pahala syahid, sedang sang sahabat yang membunuh bisa jatuh dalam kemusyrikan dan kekafiran, kalau ia tidak bertaubat.

Usamah terus menyendiri di tengah pergolakan kaum muslimin, dan ia tidak mau terlibat dengan pertentangan mereka. Saat itu terdapat dua kutub kekuatan Islam, Muawiyah yang menjabat sebagai khalifah berkedudukan di Syam, sedang kelompok oposisi, yang merasa keturunan Ali bin Abi Thalib lebih berhak atas jabatan khalifah bermarkas di Kufah, Irak, tetapi tanpa pimpinan (atau khalifah) yang jelas. Di saat itulah, di Tahun 54 hijriah Usamah bin Zaid meninggal dunia.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Saudah binti Zam'ah RA, Ummul Mukminin
Muhammad bin Maslamah RA
Hafshah binti Umar bin Al Khattab RA
Malik Bin Sinan RA
Abdullah bin Jahsy RA

Farwah bin Amr al Judzamy RA

Farwah bin Amr al Judzamy RA adalah seorang Arab yang menjadi gubernur di bawah kekuasaan Romawi di Mu'an, sebuah wilayah di Syam. Ia juga menjadi komandan dari pasukan Arab yang tunduk di bawah kekaisaran Romawi. Dalam perang Mu'tah, dimana tiga komandan dari 3.000 pasukan muslimin gugur secara berturutan, Farwah menjadi salah satu komandan dari 200.000 tentara Romawi, khususnya yang berkebangsaan Arab.

Walau pasukannya boleh dibilang menang, tetapi timbul kekaguman pada diri Farwah atas kehebatan dan sikap heroik pasukan muslim, yang notabene pasukan Arab seperti dirinya. Mereka mampu lolos dari kehancuran total walaupun hanya berjumlah tiga ribu pejuang. Padahal 200.000 personal pasukan Romawi mengepung mereka dari segala arah. Saat itu yang mengambil alih tampuk pimpinan pasukan muslimin adalah Khalid bin Walid.

Setelah beberapa waktu berlalu, Farwah bin Amr menyatakan dirinya masuk Islam dan ia mengirim utusan kepada Nabi SAW di Madinah untuk mengabarkan keislamannya, sambil menghadiahkan seekor baghal berwarna putih kepada beliau. Tetapi keputusannya ini harus dibayar mahal, penguasa Romawi menangkap dan memenjarakannya. Ia diberi dua pilihan, keluar dari Islam atau mati. Walau diberi waktu yang cukup untuk memikirkan pilihannya, ternyata pilihan Islam adalah harga mati bagi Farwah, karena itu penguasa Romawi menyalibnya di dekat mata air Afra' di Palestina, setelah itu mereka memenggal lehernya.

Karena kecongkakan dan sikap sewenang-wenang penguasa Romawi tersebut, Nabi SAW menghimpun pasukan besar di bawah pimpinan Usamah bin Zaid untuk mengamankan wilayah perbatasan dan menyerang pasukan Romawi jika mereka melanggar batas dan kehormatan orang-orang muslim. Tetapi pasukan ini sempat tertunda karena Nabi SAW wafat, dan diteruskan oleh khalifah Abu Bakar.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Zaid bin Datsinah RA
Abdullah bin Abu Hadrad al Aslamy RA
Al Aqamah bin Harits RA
Seorang Peminta Burdah Rasulullah SAW
Abu Huzaifah bin Utbah RA

Abdullah bin Amr bin Al-Ash RA

Suatu saat, Rasulullah menegur Abdullah bin Amr bin Al-Ash, “Wahai Abdullah bin Amr, apa benar berita bahwa engkau memaksakan dirimu untuk shalat malam dan puasa ketika siangnya (setiap hari)?”

“Ya.” jawab Abdullah bin Amr.

“Sebenarnya, cukup bagimu puasa setiap bulan tiga hari. Satu kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali. Sehingga, seakan-akan engkau puasa selamanya.” bimbing Rasulullah.

“Aku punya kekuatan untuk melakukan lebih dari itu.”

“Cukup bagimu untuk berpuasa setiap pekan tiga hari.”

“Aku punya kekuatan untuk melakukan lebih dari itu.”

“Sesungguhnya puasa yang paling adil di sisi Allah adalah puasa Nabi Dawud. Beliau dulu puasa setengah masa (sehari puasa sehari tidak). Sesungguhnya matamu, tamumu, dan keluargamu memiliki hak yang wajib engkau tunaikan.”

Kisah teladan Abdullah bin Amr yang kita baca di atas merupakan kisah yang disampaikan oleh Ibnu ‘Asakir dalam kitab Mu’jam. Dan beliau mengomentari derajatnya, “Ini adalah hadits hasan shahih.”

Kisah ini menunjukkan semangat beliau dalam beribadah. Dan inilah salah satu keutamaan Abdullah bin Amr. Ahli ibadah dari kalangan sahabat.

Bukan berarti Abdullah seorang figur yang suka menyanggah perintah Rasulullah . Tidak. Rasulullah tidak memerintahnya. Beliau hanya berusaha untuk memberikan keringanan kepada Abdullah bin Amr bin Al-Ash.

Sebaliknya, Abdullah justru seorang yang sangat patuh kepada perintah Rasulullah. Terbukti, ketika Rasulullah memerintahkan,“Taatilah ayahmu!” beliau pun melaksanakannya dengan sepenuh hati. Tak pernah satu kali pun beliau durhaka terhadap perintah ayahnya. Bahkan, ketika ayahnya memerintahkan untuk mengikuti perang Shiffin, perang saudara antara kaum muslimin, beliau pun ikut. Meskipun sebenarnya beliau sangat membenci hal itu.

Hal itu tercermin dalam ucapannya, “Ada apa denganku dan dengan perang Shiffin?! Ada apa denganku dan memerangi kaum muslimin?! Demi Allah, aku berharap mati sepuluh tahun sebelumnya.”

“Demi Allah, aku tidak pernah sekali pun menebas dengan pedangku, menusuk dengan tombakku, atau melempar panahku. Aku sangat berharap tidak pernah mendatanginya sedikit pun. Aku istighfar dan bertobat kepada Allah dari hal itu.” Ya, itulah ungkapan yang menunjukkan penyesalan karena ikut dalam perang yang berkecamuk antara kaum muslimin. Padahal, beliau sama sekali tidak pernah menebaskan pedang atau alat peperangan lainnya. Tidak pernah! Beliau waktu itu hanya membawa bendera perang. Itu pun membuatnya sangat menyesal.

Ya, demikianlah kualitas dari seorang ahli ibadah dari kalangan sahabat. Banyak ibadahnya, namun masih merasa berdosa dengan hal kecil yang diperbuatnya. Tidak seperti ahli ibadah pada umumnya, yang waktunya dihabiskan untuk ibadah, tanpa mau merenungi dosa yang telah diperbuatnya. Mereka merasa telah melakukan ibadah yang banyak, padahal pahalanya telah gugur dengan riya’ dan sum’ah yang dilakukannya. Ya, Abdullah bin Amr bin Al-Ash bukan tipe ahli ibadah yang demikian. Ibadah sesuai dengan sunnah, tanpa merasa dirinya aman dari salah.

Penulis Sabda Rasulullah n

Tak hanya ibadah, Abdullah bin Amr juga sangat menonjol dalam periwayatan hadits. Sampai-sampai, Abu Hurairah mengakui banyaknya riwayat hadits beliau. Abu Hurairah pernah mengatakan:

مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّي إِلَّا مَا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلَا أَكْتُبُ

“Tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi yang memiliki lebih banyak hadits Rasulullah dariku, kecuali Abdullah bin Amr. Karena, dia menulis hadits namun aku tidak menulis.” [riwayat Al-Bukhari]

Rasulullah sendiri pun telah mengizinkan Abdullah bin Amr untuk menulis hadits beliau. Abdullah bin Amr sendiri yang bercerita, “Dahulu aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah untuk kuhafal. Maka, orang Quraisy pun melarangku. Mereka mengatakan, ‘Kenapa engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah ? Padahal beliau adalah manusia yang berbicara saat marah maupun saat senang?’ Aku pun tidak melanjutkan untuk menulisnya. Lalu aku menyebutkan hal tersebut kepada Rasulullah. Rasulullah pun mengisyaratkan pada mulutnya dan mengatakan, ‘Tulislah! Demi Dzat Yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidak ada yang keluar dari mulut ini kecuali kebenaran.’” [H.R. Abu Dawud dishahihkan oleh Syaikh Al Albani]

Abdullah bin Amr bin Al Ash pun kemudian menamai lembaran yang tertulis hadits dari Rasulullah ini dengan nama Ash Shadiqah. Di dalam lembaran ini, Abdullah bin Amr menuliskan hadits yang beliau dengar langsung dari Rasulullah n tanpa perantara.

Nah pembaca, sudah terbayang ‘kan semangat Abdullah bin Amr? Namun, mungkin masih tersisa tanya, kenapa justru riwayat hadits Abu Hurairah yang sampai kepada kita lebih banyak daripada hadits Abdullah bin Amr? Padahal, Abu Hurairah sendiri telah menegaskan bahwa Abdullah bin Amr memiliki hadits yang lebih banyak. Jawabnya, hal ini disebabkan kesibukan beliau dalam beribadah, sehingga sedikit waktu beliau untuk meriwayatkan hadits.

Menurut Ibnu Sa’ad, sejarawan terkemuka, Abdullah bin Amr bin Al Ash wafat di Syam pada tahun 65 H. Beliau berumur 72 tahun waktu itu.

Demikianlah pembaca, sekelumit cermin dari seorang sahabat yang mulia. Semoga biografi yang ringkas ini bisa kita teladani dan melecutkan semangat kita dalam beribadah dan menuntut ilmu.Allahu a’lam bish shawab

Sumber: tashfiyah .com

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :

Amr bin Ash RA

Ada tiga orang pemuka Quraisy yang sangat menyusahkan Rasulullah SAW disebabkan sengitnya perlawanan mereka terhadap dawah beliau dan siksaan mereka terhadap sahabatnya.

Oleh sebab itu, Rasulullah SAW selalu berdoa dan memohon kepada Allah agar menurunkan azabnya pada mereka. Tiba-tiba, tatkala beliau berdoa dan memohon, turunlah firman Allah: "Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim." (QS Ali Imran: 128)

Rasulullah SAW memahami bahwa maksud ayat itu ialah menyuruhnya agar menghentikan doa permohonan azab dan menyerahkan urusan mereka kepada Allah semata. Kemungkinan, mereka tetap berada dalam keaniayaan hingga akan menerima azab-Nya. Atau mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka hingga akan memperoleh rahmat karunia-Nya.

Amr bin Ash adalah salah satu dari ketiga orang tersebut. Allah memilihkan bagi mereka jalan untuk bertaubat dan menerima rahmat, maka ditunjuki-Nya mereka jalan untuk menganut Islam. Dan Amr bin Ash pun beralih rupa menjadi seorang Muslim pejuang, dan salah seorang panglima yang gagah berani.

Para ahli sejarah biasa menggelari Amr bin Ash sebagai “Penakluk Mesir”. Namun gelar ini tidaklah tepat, yang paling tepat untuk Amr adalah “Pembebas Mesir”. Islam membuka negeri itu bukanlah menurut pengertian yang lazim digunakan di masa modern ini, tetapi maksudnya ialah membebaskannya dari cengkraman dua kerajaan besar yang menjajah negeri ini serta rakyatnya dari perbudakan dan penindasan yang dahsyat, yaitu imperium Persi dan Romawi.

Mesir sendiri, ketika pasukan perintis tentara Islam memasuki wilayahnya, merupakan jajahan dari Romawi, sementara perjuangan penduduk untuk menentangnya tidak membuahkan hasil apa-apa. Maka tatkala dari tapal batas kerajaan-kerajaan itu bergema suara takbir dari pasukan-pasukan yang beriman: “Allahu Akbar, Allahu Akbar“, mereka pun dengan berduyun-duyun segera menuju fajar yang baru terbit itu lalu memeluk Agama Islam yang dengannya mereka menemukan kebebasan mereka dari kekuasaan kisra maupun kaisar.

Jika demikian halnya, Amr bin Ash bersama anak buahnya tidaklah menaklukkan Mesir. Mereka hanyalah merintis serta membuka jalan bagi Mesir agar dapat mencapai tujuannya dengan kebenaran dan mengikat norma dan peraturan-peraturannya dengan keadilan, serta menempatkan diri dan hakikatnya dalam cahaya kalimat-kalimat Ilahi dan dalam prinsip-prinsip Islami.

Amr bin Ash tidaklah termasuk angkatan pertama yang masuk Islam. Ia baru masuk Islam bersama Khalid bin Walid tidak lama sebelum dibebaskannya kota Makkah.

Anehnya keislamannya itu diawali dengan bimbingan Negus raja Habsyi. Sebabnya ialah karena Negus ini kenal dan menaruh rasa hormat terhadap Amr yang sering bolak-balik ke Habsyi dan mempersembahkan barang-barang berharga sebagai hadiah bagi raja. Di waktu kunjungannya yang terakhir ke negeri itu, tersebutlah berita munculnya Rasul yang menyebarkan tauhid dan akhlak mulia di tanah Arab.

Raja Habsyi itu menanyakan kepada Amr kenapa ia tak hendak beriman dan mengikutinya, padahal orang itu benar-benar utusan Allah?

“Benarkah begitu?” tanya Amr kepada Negus. 

“Benar,” jawab Negus. “Turutilah petunjukku, hai Amr dan ikutilah dia! Sungguh dan demi Allah, ia adalah di atas kebenaran dan akan mengalahkan orang-orang yang menentangnya.”

Secepatnya Amr ia mengarungi lautan kembali ke kampung halamannya, lalu mengarahkan langkahnya menuju Madinah untuk menyerahkan diri kepada Allah. Dalam perjalanan ke Madinah itu ia bertemu dengan Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah, yang juga datang dari Makkah dengan maksud hendak baiat kepada Rasulullah SAW.

Ketika Rasulullah melihat ketiga orang itu datang, wajahnya pun berseri-seri, lalu berkata kepada para sahabat, “Makkah telah melepas jantung-jantung hatinya kepada kita.” 

Mula-mula tampil Khalid dan mengangkat baiaat. Kemudian majulah Amr dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan baiat kepada anda, asal saja Allah mengampuni dosa-dosaku yang terdahulu.”

Maka Rasulullah menjawab, “Hai Amr, berbaiatlah, karena Islam menghapus dosa-dosa yang sebelumnya.”

Tatkala Rasulullah SAW wafat, Amr bin Ash sedang berada di Oman menjadi gubernurnya. Dan di masa pemerintahan Umar bin Al-Khathab, jasa-jasanya dapat disaksikan dalam peperangan-peperangan di Suriah, kemudian dalam membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi.

Amr tidak hanya seorang panglima perang tangguh sebagaimana Ali bin Abi Thalib dan beberapa sahabat lain. Ia tidak hanya seorang diplomat ulung sebagaimana Muawiyah. Tapi juga seorang negarawan yang pintar memerintah. Bahkan bentuk tubuh, cara berjalan dan bercakapnya, memberi isyarat bahwa ia diciptakan untuk menjadi amir atau penguasa. Hingga pernah diriwayatkan bahwa pada suatu hari Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab melihatnya datang. Ia tersenyum melihat caranya berjalan itu, lalu berkata, “Tidak pantas bagi Abu Abdillah untuk berjalan di muka bumi kecuali sebagai amir.”

Tetapi di samping itu ia juga memiliki sifat amanat, menyebabkan Umar bin Al-Khathab—seorang yang terkenal amat teliti dalam memilih gubernur-gubernurnya—menetapkannya sebagai gubernur di Palestina dan Yordania, kemudian di Mesir selama hayatnya Al-Faruq.

Amr bin Ash adalah seorang yang berpikiran tajam, cepat tanggap dan berpandangan jauh ke depan. Di samping itu ia juga seorang yang amat berani dan berkemauan keras dan cerdik.

Pada tahun ke-43 Hijriyah, Amr bin Ash wafat di Mesir ketika menjadi gubernur di sana. Di saat-saat kepergiannya itu, ia mengemukakan riwayat hidupnya. “Pada mulanya aku ini seorang kafir, dan orang yang amat keras sekali terhadap Rasulullah SAW hingga seandainya aku meninggal pada saat itu, pastilah masuk neraka. Kemudian aku membaiat kepada Rasulullah SAW, maka tak seorang pun di antara manusia yang lebih kucintai, dan lebih mulia dalam pandangan mataku, daripada beliau. Dan seandainya aku diminta untuk melukiskannya, maka aku tidak sanggup karena disebabkan hormatku kepadanya, aku tak kuasa menatapnya sepenuh mataku. Maka seandainya aku meninggal pada saat itu, besar harapan akan menjadi penduduk surga. Kemudian setelah itu, aku diberi ujian dengan beroleh kekuasaan begitu pun dengan hal-hal lain. Aku tidak tahu, apakah ujian itu akan membawa keuntungan bagi diriku ataukah kerugian.”

Lalu diangkatnya kepalanya ke arah langit dengan hati yang tunduk, sambil bermunajat kepada Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Pengasih, seraya berdoa, “Ya Allah, daku ini orang yang tak luput dari kesalahan, maka mohon dimaafkan. Daku tak sunyi dari kelemahan, maka mohon diberi pertolongan. Sekiranya daku tidak beroleh rahmat karunia-Mu, pasti celakalah nasibku.”

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Farwah bin Amr al Judzamy RA
Ibnu Abil Auja' as Sulami RA
Jenazah Ahli Surga
Huwaithib bin Abdul Uzza RA
Abdullah bin Zaid al Anshari RA

Said Bin Zaid RA