Friday, December 9, 2016

Istri-Istri Rasulullah Saw

Secara umum, seorang lelaki muslim diperbolehkan atau diijinkan menikahi wanita muslimah lainnya hingga empat orang, tetapi bukan berarti disunnahkan. Al Qur’an sendiri menyarankan untuk menikahi hanya satu wanita saja jika tidak bisa berbuat adil, khususnya dalam hal yang bersifat lahiriah. Tetapi Rasulullah SAW diberi kekhususan, tidak hanya empat pernikahan. Bahkan tidak jarang Allah sendiri yang memerintahkan Nabi SAW untuk menikahi wanita tersebut, dan pada dasarnya Nabi SAW tidaklah menikahi seorang wanita kecuali diperintahkan atau diijinkan oleh Allah SWT.

Riwayat paling masyhur, istri-istri Rasulullah sebanyak sebelas orang, yakni :

1. Khadijah binti Khuwailid RA

2. Saudah binti Zam'ah RA

3. Aisyah binti Abu Bakar RA (Khumaira)

4. Hafshah binti Umar bin Khathhab RA

5. Zainab binti Khuzaimah RA

6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah RA

7. Zainab binti Jahsy bin Rayyab RA

8. Juwairiyah binti Harits bin Abu Dhirar RA

9. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA

10. Shafiyah binti Huyyai bin Akhthab RA

11 Maimunah binti Harits bin Hazn RA

Mereka ini adalah istri-istri Nabi SAW atau disebut juga Ummahatul Mukminin (para ibu kaum muslimin) yang dinikahi dan hidup bersama beliau, dan beliau tidak menikahi wanita lain (berpoligami) selama masih hidupnya Khadijah. Dua orang telah meninggal ketika beliau masih hidup, yakni Khadijah binti Khuwailid dan Zainab binti Khuzaimah. Beberapa riwayat menyebutkan, bahwa beliau juga pernah menikah dengan beberapa wanita lainnya, tetapi tidak sampai tinggal bersama mereka, yaitu :

1. Seorang wanita dari Bani Qilab bernama Amrah binti Yazid al Qilabiyah.

2. Seorang wanita Bani Kindah bernama Asma binti Nu'man al Kindiyyah al Juwainiyah.

Keduanya dikembalikan kepada orang tuanya, sebelum sempat dikumpuli Rasulullah SAW.

Mengenai kegagalan pernikahan beliau dengan Asma binti Nu'man, sebuah riwayat menyebutkan adalah akibat kecemburuan Aisyah. Setelah pernikahannya dengan Mariyah al Qibthiyah, beliau menikahi Asma binti Nu'man. Aisyah sangat cemburu dengan kehadiran Asma dalam jajaran Ummahatul Mukminin, karena itu bersama dua istri Nabi SAW lainnya, Saudah dan Hafshah, mereka membuat rencana untuk menjebak Asma.

Setelah matang, dipilihlah Hafshah untuk melaksanakan rencana ini, ia menemui Asma, yang saat itu belum dikunjungi Nabi SAW, dan ia berkata, "Wahai Asma, sesungguhnya Nabi SAW jika mengunjungi istri-istrinya, sangat senang disambut dengan ucapan 'A'udzubillah', kemudian berdirilah membelakangi beliau…!"

Asma yang belum mengerti seluk beluk kehidupan istri-istri Rasulullah SAW, sangat berterima kasih dengan informasi ini. Ia sama sekali tidak berprasangka buruk pada Hafshah. Maka ketika beliau mengunjunginya, Asma dengan gembira dan wajah berseri menyambut beliau. Kemudian ia melaksanakan apa yang disarankan oleh Hafshah dengan lugunya, tanpa prasangka apa-apa kepada Rasulullah SAW.

Tetapi seketika itu ia jadi terkejut melihat reaksi Nabi SAW. Ia tidak sadar bahwa ucapan dan sikapnya itu sangat menusuk perasaan beliau. Nabi SAW bersabda, "Engkau telah memohon perlindungan kepada Allah…?"

Setelah itu beliau meninggalkannya. Beliau membatalkan pernikahannya ini dan menyuruh seorang sahabat memberikan mut'ah kepada Asma, dan mengembalikannya kepada orang tuanya. Keluarga Asma sangat bersedih dengan peristiwa ini.

Setelah tahu duduk persoalannya, segera saja ayahnya, Nu'man bin Aswad menemui Nabi SAW untuk meminta maaf dan menjelaskan tentang apa yang dilakukan Hafshah atas perintah dan kesepakatan Aisyah dan Saudah. Mendengar penjelasan ini, beliau hanya tersenyum dan berkata, "Mereka memang sama saja dengan perempuan-perempuan di zaman Nabi Yusuf AS. Siasat dan tipu daya mereka memang luar biasa."

Tetapi bagaimanapun juga Nabi SAW telah mengembalikan Asma kepada orang tuanya, dan Asma telah terlanjur meminta perlidungan kepada Allah dengan ucapannya tersebut, sehingga Nabi SAW tidak mungkin memperistrinya lagi.

Kisah ini sebenarnya cukup termasyhur, tetapi sebagian ahli hadits meragukan kesahihannya, karena rasanya tidak mungkin Nabi SAW memutuskan tali pernikahannya hanya karena kesalah-pahaman semata.

Selain mereka, Rasulullah SAW juga menikah dengan beberapa orang hamba sahaya, yaitu Mariyah al Qibthiyah, hadiah dari pembesar Mesir, Muqauqis, Raihanah binti Zaid an Nadhiriyah atau al Qurzhiyah, tawanan dari Bani Quraizhah, seorang tawanan bernama Jamilah dan juga seorang jariyah hadiah dari Zainab bin Jahsy, istri beliau sendiri.

Dakwah Nabi SAW kepada Juraij bin Mata, pembesar Mesir yang lebih terkenal dengan nama Muqauqis, walaupun ia tidak menyatakan diri memeluk Islam, tetapi ia memberikan sambutan yang baik atas seruan Nabi SAW, ia tidak menghalangi penyebaran Islam di bumi Mesir. Muqauqis membalas surat Nabi SAW dan diberikan kepada utusan beliau, Hathib bin Abi Balta'ah, bersama itu pula ia mengirimkan dua orang gadis yang mempunyai kedudukan terhormat bagi masyarakat Mesir, bahkan sebagian riwayat menyatakan mereka berdua adalah putri Muqauqis sendiri, yaitu Mariyah dan Sirin. Dua bersaudara ini dipersembahkan sebagai sahaya bagi Nabi SAW, juga beberapa lembar kain dan seekor baghal, yang bernama Duldul.

Nabi SAW mengambil Mariyah dan dinikahinya walaupun dalam status sebagai sahaya, sedang Sirin diberikan kepada sahabat Hasan bin Tsabit. Tidak seperti Ummahatul Mukminin lainnya yang tinggal di rumah di sebelah Masjid Nabi SAW, Mariyah ditempatkan di luar kotaMadinah. Sebuah rumah di tengah kebun anggur di tempat bernama 'Alia. Sekarang ini dikenal dengan nama Masyraba Umm Ibrahim. Dari Mariyah inilah beliau memiliki seorang putra yang diberi nama Ibrahim, tetapi meninggal ketika masih kecil.

Saad bin Abi Waqqash RA

“Aku adalah orang ketiga yang memeluk Islam, dan orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah,”

Demikianlah Sa’ad bin Abi Waqqash mengenalkan dirinya. Ia adalah orang ketiga yang memeluk Islam, dan orang pertama yang melepaskan anak panah dari busurnya di jalan Allah.

Sa’ad bin Abi Waqqash bin Wuhaib bin Abdi Manaf hidup di tengah-tengah Bani Zahrah yang merupakan paman Rasulullah SAW. Wuhaib adalah kakek Sa’ad dan paman Aminah binti Wahab, ibunda Rasulullah.

Sa’ad dikenal orang karena ia adalah paman Rasulullah SAW. Dan beliau sangat bangga dengan keberanian dan kekuatan, serta ketulusan iman Sa'ad. Nabi bersabda, “Ini adalah pamanku, perlihatkan kepadaku paman kalian!”

Keislamannya termasuk cepat, karena ia mengenal baik pribadi Rasulullah SAW. Mengenal kejujuran dan sifat amanah beliau. Ia sudah sering bertemu Rasulullah sebelum beliau diutus menjadi nabi. Rasulullah juga mengenal Sa’ad dengan baik. Hobinya berperang dan orangnya pemberani. Sa’ad sangat jago memanah, dan selalu berlatih sendiri.

Kisah keislamannya sangatlah cepat, dan ia pun menjadi orang ketiga dalam deretan orang-orang yang pertama masuk Islam, Assabiqunal Awwalun.

Sa’ad adalah seorang pemuda yang sangat patuh dan taat kepada ibunya. Sedemikian dalam sayangnya Sa’ad pada ibunya, sehingga seolah-olah cintanya hanya untuk sang ibu yang telah memeliharanya sejak kecil hingga dewasa, dengan penuh kelembutan dan berbagai pengorbanan.

Ibu Sa’ad bernama Hamnah binti Sufyan bin Abu Umayyah adalah seorang wanita hartawan keturunan bangsawan Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan anggun. Disamping itu, Hamnah juga seorang wanita yang terkenal cerdik dan memiliki pandangan yang jauh. Hamnah sangat setia kepada agama nenek moyangnya; penyembah berhala.

Pada suatu hari, Abu Bakar Ash-Shiddiq mendatangi Sa'ad di tempat kerjanya dengan membawa berita dari langit tentang diutusnya Muhammad SAW, sebagai Rasul Allah. Ketika Sa’ad menanyakan, siapakah orang-orang yang telah beriman kepada Muhammad SAW. Abu Bakar mengatakan dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah.

Seruan ini mengetuk kalbu Sa’ad untuk menemui Rasulullah SAW, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia pun memeluk agama Allah pada saat usianya baru menginjak 17 tahun. Sa’ad termasuk dalam deretan lelaki pertama yang memeluk Islam selain Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar As Siddiq dan Zaid bin Haritsah.

Setelah memeluk Islam, keadaannya tidak jauh berbeda dengan kisah keislaman para sahabat lainnya. Ibunya sangat marah dengan keislaman Sa'ad. “Wahai Sa’ad, apakah engkau rela meninggalkan agamamu dan agama bapakmu, untuk mengikuti agama baru itu? Demi Allah, aku tidak akan makan dan minum sebelum engkau meninggalkan agama barumu itu,” ancam sang ibu.

Sa’ad menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan agamaku!”

Sang ibu tetap nekat, karena ia mengetahui persis bahwa Sa’ad sangat menyayanginya. Hamnah mengira hati Sa'ad akan luluh jika melihatnya dalam keadaan lemah dan sakit. Ia tetap mengancam akan terus melakukan mogok makan.

Namun, Sa’ad lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. “Wahai Ibunda, demi Allah, seandainya engkau memiliki 70 nyawa dan keluar satu per satu, aku tidak akan pernah mau meninggalkan agamaku selamanya!” tegas Sa'ad.

Akhirnya, sang ibu yakin bahwa anaknya tidak mungkin kembali seperti sedia kala. Dia hanya dirundung kesedihan dan kebencian.

Allah SWT mengekalkan peristiwa yang dialami Sa’ad dalam ayat Al-Qur’an, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15).

Pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW, sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba beliau menatap ke langit seolah mendengar bisikan malaikat. Kemudian Rasulullah kembali menatap mereka dengan bersabda, "Sekarang akan ada di hadapan kalian seorang laki-laki penduduk surga."

Mendengar ucapan Rasulullah SAW, para sahabat menengok ke kanan dan ke kiri pada setiap arah, untuk melihat siapakah gerangan lelaki berbahagia yang menjadi penduduk surga. Tidak lama berselang datanglah laki-laki yang ditunggu-tunggu itu, dialah Sa’ad bin Abi Waqqash.

Disamping terkenal sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Sa’ad bin Abi Waqqash juga terkenal karena keberaniannya dalam peperangan membela agama Allah. Ada dua hal penting yang dikenal orang tentang kepahlawanannya. Pertama, Sa’ad adalah orang yang pertama melepaskan anak panah dalam membela agama Allah dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Ia hampir selalu menyertai Nabi Saw dalam setiap pertempuran.

Kedua, Sa’ad adalah satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah SAW dengan jaminan kedua orang tua beliau. Dalam Perang Uhud, Rasulullah SAW bersabda, "Panahlah, wahai Sa’ad! Ayah dan ibuku menjadi jaminan bagimu."

Sa’ad bin Abi Waqqash juga dikenal sebagai seorang sahabat yang doanya senantiasa dikabulkan Allah. Qais meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Ya Allah, kabulkanlah Sa’ad jika dia berdoa.”

Sejarah mencatat, hari-hari terakhir Sa’ad bin Abi Waqqash adalah ketika ia memasuki usia 80 tahun. Dalam keadaan sakit, Sa’ad berpesan kepada para sahabatnya agar ia dikafani dengan jubah yang digunakannya dalam Perang Badar—perang kemenangan pertama untuk kaum Muslimin.

Pahlawan perkasa ini menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 55 H dengan meninggalkan kenangan indah dan nama yang harum. Ia dimakamkan di pemakaman Baqi’, makamnya para syuhada.

Seorang Raja Di Surga

Di dalam suatu majelis pengajaran, tiba-tiba Rasulullah SAW bersabda, "Besok pagi akan ada seorang ahli surga yang bersembahyang bersama kamu!!"

Abu Hurairah, yang meriwayatkan hadits ini, berkata dalam hati,"Aku berharap, akulah yang ditunjuk oleh beliau….!"

Waktu subuhesok harinya, Abu Hurairah shalat di belakang beliau. Ia tetap tinggal di tempatnya ketika beberapa orang pamit untuk pulang. Tiba-tiba ada seorang hamba/budak hitam berpakaian compang-camping datang mendekat dan menjabat tangan Rasulullah SAW, ia berkata, "Ya Nabiyallah, doakanlah aku semoga aku mati syahid!!"

Rasulullah SAW memenuhi permintaan orang tersebut. Sementara beliau berdoa, tercium bau kesturi dari tubuhnya yang kelihatan kumuh dan kotor.Setelah orang itu berlalu, Abu Hurairah bertanya, "Apakah orang tersebut, Ya Rasulullah?"

"Benar," Kata Nabi SAW, "Ia hamba sahaya dari Bani Fulan…"

"Mengapa tidak engkau beli dan engkau merdekakan, Ya Rasulullah!!" Kata Abu Hurairah.

"Bagaimana aku akan berbuat seperti itu, kalau karena keadaannya tersebut, Allah akan menjadikannya seorang raja di surga."

Beberapa saat kemudian, beliau bersabda lagi, "Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya di surga itu ada raja dan orang-orang terkemuka, dan dia ini salah satu raja dan orang terkemuka tersebut. Ya Abu Hurairah, sesungguhnya Allah amat kasih kepada orang yang suci hati, yang samar, yang bersih, yang terurai rambutnya, yang kempis perutnya kecuali dari hasil yang halal. Mereka ini, bila masuk menghadap penguasa tidak akan diizinkan, bila meminang wanita bangsawan tidak akan diterima, bila tidak ada ia tidak dicari, bila hadir tidak dihiraukan, bila sakit tidak dijenguk, bahkan bila mati tidak dihadiri jenazahnya."

Salah seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, tunjukkanlah kepada kami salah seorang dari mereka (selain budak hitam tadi)!"

"Uwais al Qarany," Kata Nabi SAW, "Seseorang berkulit coklat, lebar kedua bahunya, sedang tingginya dan selalu menundukkan kepalanya sambil membaca al Qur'an. Tidak terkenal di bumi, tetapi sangat terkenal di langit. Jika ia bersungguh-sungguh meminta kepada Allah, pasti dikabulkan. Di bawah bahu kirinya ada bekas belang sedikit…Wahai Umar dan Ali, jika kamu bertemu dengannya, mintalah agar ia membacakan istighfar untukmu…!" Dalam riwayat lainnya, beliau berpesan kepada Umar dan Ali, agar Uwais membacakan istrighfar untuk umat beliau.

Mu'adz bin Jabal RA

Tatkala Rasulullah mengambil baiat dari orang-orang Anshar pada perjanjian Aqabah yang kedua, diantara para utusan yang terdiri atas 70 orang itu terdapat seorang anak muda dengan wajah berseri, pandangan menarik dan gigi putih berkilat serta memikat. Perhatian dengan sikap dan ketenangannya. Dan jika bicara maka orang yang melihat akan tambah terpesona karenanya. Nah, itulah dia Mu'adz bin Jabal RA.

Dengan demikian, ia adalah seorang tokoh dari kalangan Anshar yang ikut baiat pada Perjanjian Aqabah kedua, hingga termasuk Ash-Shabiqul Awwalun—golongan yang pertama masuk Islam. Dan orang yang lebih dulu masuk Islam dengan keimanan serta keyakinannya seperti demikian, mustahil tidak akan turut bersama Rasulullah dalam setiap perjuangan.

Maka demikianlah halnya Mu'adz. Tetapi kelebihannya yang paling menonjol dan keitstimewaannnya yang utama ialah fiqih atau keahliannya dalam soal hukum. Keahliannya dalam fiqih dan ilmu pengetahuan ini mencapai taraf yang menyebabkannya berhak menerima pujian dari Rasulullah SAW dengan sabdanya: "Umatku yang paling tahu akan yang halal dan yang haram ialah Mu'adz bin Jabal."

Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu'adz hampir sama dengan Umar bin Khathab. Ketika Rasulullah SAW hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, "Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu'adz?"

"Kitabullah," jawab Mu'adz.

"Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?", tanya Rasulullah pula.

"Saya putuskan dengan Sunnah Rasul."

"Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?"

"Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia," jawab Muadz.

Maka berseri-serilah wajah Rasulullah. "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah," sabda beliau.

Dan mungkin kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan kecerdasan inilah yang menyebabkan Mu'adz berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu fiqih, mengatasi teman dan saudara-saudaranya hingga dinyatakan oleh Rasulullah sebagai "orang yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram".

Suatu hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar, A'idzullah bin Abdillah masuk masjid bersama beberapa orang sahabat. Maka ia pun duduk pada suatu majelis yang dihadiri oleh tiga puluh orang lebih. Masing-masing menyebutkan sebuah hadits yang mereka terima dari Rasulullah SAW.

Pada halaqah atau lingkaran itu ada seorang anak muda yang amat tampan, hitam manis warna kulitnya, bersih, baik tutur katanya dan termuda usianya di antara mereka. Jika pada mereka terdapat keraguan tentang suatu hadits, mereka tanyakan kepada anak muda itu yang segera memberikan fatwanya.

"Dan ia tak berbicara kecuali bila diminta. Dan tatkala majelis itu berakhir, saya dekati anak muda itu dan saya tanyakan siapa namanya, ia menjawab, saya adalah Mu'adz bin Jabal," tutur A'idzullah.

Shahar bin Hausyab tidak ketinggalan memberikan ulasan, katanya, "Bila para sahabat berbicara, sedang di antara mereka hadir Mu'adz bin Jabal, tentulah mereka akan sama-sama meminta pendapatnya karena kewibawaannya."

Dan Amirul Mukminin Umar bin Khatab RA sendiri sering meminta pendapat dan buah pikirannya. Bahkan dalam salah satu peristiwa di mana ia memanfaatkan pendapat dan keahliannya dalam hukum, Umar pernah berkata, "Kalau tidaklah berkat Mu'adz bin Jabal, akan celakalah Umar!"

Ia seorang pendiam, tak hendak bicara kecuali atas permintaan hadirin. Dan jika mereka berbeda pendapat dalam suatu hal, mereka pulangkan kepada Mu'adz untuk memutuskannya. Maka jika ia telah buka suara, adalah ia sebagaimana dilukiskan oleh salah seorang yang mengenalnya: "Seolah-olah dari mulutnya keluar cahaya dan mutiara."

Dan kedudukan yang tinggi di bidang pengetahuan ini, serta penghormatan kaum Muslimin kepadanya, baik selagi Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat, dicapai Mu'adz sewaktu ia masih muda. Ia meninggal dunia di masa pemerintahan Umar, sedang usianya belum 33 tahun!

Mu'adz adalah seorang yang murah tangan, lapang hati dan tinggi budi. Tidak sesuatu pun yang diminta kepadanya, kecuali akan diberinya secara berlimpah dan dengan hati yang ikhlas. Sungguh kemurahan Mu'adz telah menghabiskan semua hartanya.

Ketika Rasulullah SAW wafat, Mu'adz masih berada di Yaman, yakni semenjak ia dikirim Nabi ke sana untuk membimbing kaum Muslimin dan mengajari mereka tentang seluk-seluk Agama.

Di masa pemerintahan Abu Bakar, Mu'adz kembali ke Yaman. Umar tahu bahwa Mu'adz telah menjadi seorang yang kaya raya, maka ia mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar kekayaan Mu'adz itu dibagi dua. Tanpa menunggu jawaban Abu Bakar, Umar segera pergi ke rumah Mu'adz dan mengemukakan masalah tersebut.

Mu'adz adalah seorang yang bersih tangan dan suci hati. Dan seandainya sekarang ia telah menjadi kaya raya, maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, tidak pernah diperolehnya dengan berbuat dosa. Bahkan juga tak hendak menerima barang yang syubhat.

Oleh sebab itu, usul Umar ditolaknya dan alasan yang dikemukakannya dipatahkannya dengan alasan pula. Umar berpaling meninggalkannya. Pagi-pagi keesokan harinya Mu'adz pergi ke rumah Umar. Ketika sampai di sana, Mu'adz merangkul dan memeluk Umar, sementara air mata mengalir mendahului kata-katanya. "Malam tadi saya bermimpi masuk kolam yang penuh dengan air, hingga saya cemas akan tenggelam. Untunglah anda datang, hai Umar, dan menyelamatkan saya!"

Kemudian bersama-sama mereka datang kepada Abu Bakar, dan Mu'adz meminta kepada khalifah untuk mengambil seperdua hartanya. "Tidak satu pun yang akan kuambil darimu," ujar Abu Bakar.

"Sekarang harta itu telah halal dan jadi harta yang baik," kata Umar menghadapkan pembicaraannya kepada Mu'adz.

Andai diketahuinya bahwa Mu'adz memperoleh harta itu dari jalan yang tidak sah, maka tidak satu dirham pun Abu Bakar yang saleh itu akan menyisakan baginya. Namun Umar tidak pula berbuat salah dengan melemparkan tuduhan atau menaruh dugaan yang bukan-bukan terhadap Mu'adz.

Hanya saja masa itu adalah masa gemilang, penuh dengan tokoh-tokoh utama yang berpacu mencapai puncak keutamaan. Di antara mereka ada yang berjalan secara santai, tak ubah bagi burung yang terbang berputar-putar, ada yang berlari cepat, dan ada pula yang berlari lambat, namun semua berada dalam kafilah yang sama menuju kepada kebaikan.

Mu'adz pindah ke Syria (Suriah), di mana ia tinggal bersama penduduk dan orang yang berkunjung ke sana sebagi guru dan ahli hukum. Dan tatkala Abu Ubaidah bin Jarrah—amir atau gubernur militer di sana serta shahabat karib Mu'adz—meninggal dunia, ia diangkat oleh Amirul Mukminin Umar sebagai penggantinya di Syria.

Tetapi hanya beberapa bulan saja ia memegang jabatan itu, Mu'adz dipanggil Allah untuk menghadap-Nya dalam keadaan tunduk dan menyerahkan diri.

Pada suatu hari Rasulullah SAW bersabda, "Hai Mu'adz! Demi Allah, aku sungguh sayang kepadamu. Maka jangan lupa setiap habis shalat mengucapkan: 'Ya Allah, bantulah aku untuk selalu ingat dan syukur serta beribadat dengan ikhlas kepada-Mu."

Mu'adz mengerti dan memahami ajaran tersebut dan telah menerapkannya secara tepat.

Pada suatu pagi Rasulullah bertemu dengan Mu'adz, maka beliau bertanya, "Bagaimana keadaanmu di pagi hari ini, hai Mu'adz?"

"Di pagi hari ini aku benar-benar telah beriman, ya Rasulullah," jawabnya.

"Setiap kebenaran ada hakikatnya," kata Nabi pula, "maka apakah hakikat keimananmu?"

"Setiap berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Dan setiap berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai lagi waktu pagi. Dan tiada satu langkah pun yang kulangkahkan, kecuali aku menyangka tiada akan diiringi dengan langkah lainnya. Dan seolah-olah kesaksian setiap umat jatuh berlutut, dipanggil melihat buku catatannya. Dan seolah-olah kusaksikan penduduk surga menikmati kesenangan surga. Sedang penduduk neraka menderita siksa dalam neraka."

Maka sabda Rasulullah SAW, "Memang, kamu mengetahuinya, maka pegang teguhlah jangan dilepaskan!"

Menjelang akhir hayatnya, Mu'adz berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air sungai atau menanam kayu-kayuan, tetapi hanyalah untuk menutup haus di kala panas, dan menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan, keimanan dan ketaatan."

Lalu diulurkanlah tangannya seolah-olah hendak bersalaman dengan maut, dan dalam keberangkatannya ke alam gaib, ia masih sempat berujar, "Selamat datang wahai maut. Kekasih tiba di saat diperlukan..." Dan nyawa Mu'adz pun melayanglah menghadap Allah.

Khubaib bin Adi RA

Pada tahun ke-3 hijriyah, beberapa utusan dari kabilah Udal dan Qarah mendatangi Rasulullah SAW. Mereka mengabarkan bahwa mereka telah mendengar tentang Islam. Untuk itu mereka meminta Rasulullah agar mengirim utusan agar dapat mengajarkan Islam kepada mereka.

Maka Rasulullah pun mengutus 10 sahabat untuk memenuhi permintaan tersebut. Rasulullah menunjuk Ashim bin Tsabit sebagai amir (pemimpin) mereka. Namun di suatu tempat, di antara Usfan dan Makkah, kelompok kecil ini diintai oleh sekitar 100 pemanah dari Bani Lihyan. Mengetahui hal tersebut, Ashim segera memerintahkan teman-temannya agar segera berlindung ke sebuah bukit kecil di sekitar daerah tersebut.

Sebenarnya, Ashim dan kawan-kawan berhasil mengelabui pasukan pemanah musyrik tersebut. Namun Allah SWT berkehendak lain. Biji-biji kurma yang mereka bawa sebagai bekal dari Madinah, tercecer sepanjang jalan, memberi petunjuk keberadaan rombongan Ashim. Akhirnya kesepuluh sahabat itu pun terkejar.

"Kami berjanji tidak akan membunuh seorang pun di antara kalian jika kalian menyerah," teriak salah seorang musyrik yang mengepung mereka.

"Kami tidak akan menerima perlindungan orang kafir. Ya Allah, sampaikan berita kami kepada Nabi-Mu," jawab Ashim tegar.

Maka rombongan musyrik itu pun menyerang dan berhasil membunuh Ashim dan enam sahabat lain, hingga tinggallah Khubaib bin Adi, Zaid bin Datsinah dan seorang sahabat. Orang-orang musyrik itu kemudian menangkap dan mengikat ketiganya.

Namun sahabat yang tidak diketahui namanya itu kemudian memberontak sambil berteriak, "Ini adalah pengkhianatan pertama!" serunya sambil berusaha melawan. Ia pun syahid.

Selanjutnya Khubaib dan Zaid dibawa ke Makkah dan dijual sebagai budak. Sementara itu, Bani Harits yang selama ini menyimpan dendam kesumat terhadap Khubaib, mendengar berita tertangkapnya Khubaib. Rupanya nama Khubaib telah mereka hapal luar kepala, karena Khubaiblah yang membunuh Harits bin Amir, seorang pemuka Makkah, pada perang Badar. Maka dengan penuh antusias Khubaib pun mereka beli.

Maka jadilah Khubaib bulan-bulanan seluruh anggota Al-Harits. Setiap hari sahabat Anshar yang dikenal bersifat bersih, pemaaf, teguh keimanan dan taat beribadah ini harus menerima siksaan. Hingga suatu hari salah seorang putri keluarga tersebut berteriak terkejut, memberitakan bahwa budak sekaligus tawanan mereka sedang santai dan tenang-tenang memakan buah anggur. Padahal buah tersebut sedang tidak musim di Makkah dan Khubaib pun diikat tangannya dengan rantai besi.

Keluarga Al-Harits menakut-nakuti Khubaib, bahwa saudara sekaligus sahabatnya, Zaid yang juga dibeli keluarga Makkah lainnya, telah dieksekusi. Ia telah dibunuh dengan cara ditusuk tombak dari lubang dubur hingga tembus ke dadanya!

Namun berita kejam nan sadis ini ternyata tidak berhasil membuat hati Khubaib ketakutan apalagi berpaling dari keimanannya. Sebaliknya, hal ini justru membuat dirinya lebih pasrah terhadap ketentuan-Nya. Akhirnya keluarga Al-Harits pun putus asa. Mereka memutuskan untuk segera mengeksekusi tawanan yang tegar itu.

Namun sebelum eksekusi dijalankan, Khubaib memohon agar diperbolehkan melakukan shalat terlebih dahulu. Maka Khubaib mendirikan shalat dua rakaat. Usai shalat, Khubaib menoleh kepada para algojo yang mengawasinya sambil berkata, "Seandainya bukan karena dikira takut mati, maka aku akan menambah jumlah rakaat shalatku."

Inilah shalat sunnah pertama yang dilakukan seorang Muslim ketika akan menghadapi kematian. Kemudian Khubaib melantunkan sebait syair:

Mati bagiku tak menjadi masalah
Asalkan dalam ridha dan rahmat Allah
Dengan jalan apa pun kematian itu terjadi
Asalkan kerinduan kepada-Nya terpenuhi
Kuberserah kepada-Nya
Sesuai dengan takdir dan kehendak-Nya

Setelah itu, Khubaib pun disalib pada sebuah tiang. Lalu tanpa sedikit pun rasa belas kasih, pasukan pemanah menghujaninya dengan anak panah. Dalam keadaan demikian, seorang pemuka Quraisy menghampirinya dan berkata, "Sukakah engkau bila Muhammad menggantikanmu sementara kau sehat wal afiat bersama keluargamu?"

"Demi Allah," jawab Khubaib, "Tak sudi aku bersama anak istriku selamat menikmati kesenangan dunia, sementara Rasulullah terkena musibah walau oleh sepotong duri!"

"Demi Allah, belum pernah aku melihat manusia lain, seperti halnya sahabat-sahabat Muhammad terhadap Muhammad," kata Abu Sufyan suatu hari, mengenai para sahabat Rasulullah.

Maka tanpa ampun lagi, pedang sang algojo pun menghabisi Khubaib. Namun sebelum ruhnya meninggalkan raga, Khubaib sempat berucap, "Ya Allah, kami telah menyampaikan tugas dari Rasul-Mu, maka mohon disampaikan pula kepadanya esok, tindakan orang-orang itu terhadap kami."

Setelah, itu orang-orang musyrik meninggalkan tubuh Khubaib dalam keadaan tetap tersalib di tiangnya. Sementara burung-burung nazar yang sejak tadi berputar-putar menanti mangsanya, tiba-tiba juga meninggalkannya. Rupanya Sang Khalik tidak ridha hamba-Nya yang taat itu menjadi mangsa burung-burung pemakan bangkai.

Demikian pula doa yang dipanjatkan seorang hamba kepada Sang Pemilik dalam keadaan pasrah dan ridha pada ketetapan-Nya. Tampak jelas bahwa Sang Khalik tidak tega menolaknya. Itu sebabnya, Rasulullah yang ketika itu berada di Madinah secara mendadak mengutus Miqdad bin Amar dan Zubair bin Awwam untuk segera menyusul ke tempat Khubaib disalib. Padahal ketika itu tak seorang pun orang Madinah yang mengetahui peristiwa nahas tersebut.

Setiba di tempat yang dimaksud, Khubaib telah tiada. Senyum kedamaian tergurat di wajahnya. Dengan menahan kedukaan yang mendalam, kedua utusan tadi kemudian melepaskan sang mujahid dari tiang salib kemudian membawa dan memakamkannya di suatu tempat yang hingga detik ini tak seorang pun mengetahuinya.

Zaid bin Datsinah RA

Zaid bin Datsinah RA, seorang sahabat Anshar yang termasuk dalam kelompok sepuluh sahabat dibawah pimpinan Ashim bin Tsabit. Kelompok sahabat ini dikirim Nabi SAW untuk mematai-matai kaum Quraisy (atau dalam riwayat lain, atas permintaan Bani Adhal dan Qarah untuk mendakwahi kaumnya). Kemudian mereka ini dikhianati sehingga terjadi pertempuran tidak seimbang dengan 100 orang kafir, delapan orang menemui syahidnya, Zaid bin Datsinah dan Khubaib bin Adi tertawan, dan dijual kepada orang-orang Quraisy di Makkah. Zaid dibeli oleh Shafwan bin Umayyah dengan harga 50 ekor unta.

Pada waktu yang ditetapkan untuk eksekusi, Zaid dibawa ke suatu tempat di luar Masjidil Haram. Orang-orang telah berkumpul untuk melihat hukuman mati yang akan dijatuhkan kepada Zaid. Sebagian orang-orang kafir melemparinya dengan anak panah sambil membujuknya kembali murtad. Tetapi ia tidak bergeming sedikitpun dan memasrahkan dirinya kepada Allah.

Abu Sufyan bertanya kepadanya, "Maukah kau, jika kepalamu yang akan dipenggal ini digantikan dengan kepala Muhammad, dan kamu dibebaskan sehingga bisa berkumpul dan bergembira bersama keluargamu?"
Tetapi Abu Sufyan dan orang-orang kafir itu memperoleh jawaban yang mengejutkan, Zaid berkata, "Demi Allah, kehidupanku bersama keluargaku tidak akan menjadi senang, jika aku membiarkan duri sekecil apapun menusuk badan kekasihku, Muhammad."

Abu Sufyan berkata, "Kasih sayang yang ditunjukkan sahabat-sahabatnya kepada Muhammad tidak ada bandingannya."

Shafwan telah menugaskan salah satu hamba sahayanya bernama Nisthas untuk membunuh Zaid, ia menikam tubuh Zaid dengan lembing sehingga menemui syahidnya. Sebelum ajal menjemputnya, ia sempat berkata, "Ya Allah, sampaikan salamku kepada Rasulullah SAW….!"

Nabi SAW yang berada di Madinah mendengar salam yang disampaikannya lewat malaikat Jibril, dan beliau membalasnya, sambil mengabarkan pada sahabat-sahabat lainnya tentang pembunuhan Zaid dan Khubaib oleh orang kafir Quraisy

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Zainab ats Tsaqafiyah Ra
Abu Lubabah RA
Dikafani Jubah Rasulullah SAW
Harits bin Hisyam RA
Ummul Mukminin Shafiyah binti Huyyai RA

Sa’adz bin Mu’adz RA

Sa’adz bin Mu’adz adalah seorang laki-laki yang anggun, berwajah tampan berseri-seri, dengan tubuh tinggi jangkung, dan badan gemuk gempal. Ia masuk Islam pada usia 31 tahun. Dalam usia 37 tahun ia pergi menemui syahidnya. Sejak masuk Islam hingga wafatnya, Sa’adz bin Mu’adz telah mengisi umurnya dengan karya-karyanya yang gemilang dalam berbakti kepada Allah SWT.

Sa’adz bin Mu’adz pergi ke rumah As’ad bin Zurarah untuk melihat seorang pria dari Mekah bernama Mush’ab bin Umeir yang dikirim oleh Muhammad saw. sebagai utusan guna menyebarkan tauhid dan agama Islam di Madinah. Ia ke sana dengan tujuan hendak mengusir utusan dari Rasulullah saw agar membawa kembali agamanya dan membiarkan penduduk Madinah dengan agama yang sudah lama dipeluknya. Tetapi, baru saja ia bersama Useid bin Zararah sampai ke dekat majlis Mush’ab di rumah sepupunya, tiba-tiba dadanya telah terhirup udara segar yang meniupkan rasa nyaman. Belum lagi ia sampai ke hadirin dan duduk di antara mereka yang sedang memasang telinga atas uraian-uraian Mush’ab, petunjuk Allah telah menerangi jiwa dan ruhnya. Akhirnya, pemimpin golongan Anshar itu melemparkan lembingnya jauh-jauh, lalu mengulurkan tangan kanannya untuk berbai’at kepada utusan Rasulullah saw.

Sa’adz telah memeluk Islam, memikul tangung jawab itu dengan keberanian dan kesabaran. Datanglah saat Perang Badar. Rasulullah saw. mengumpulkan sahabat-sahabatnya dari golongan Muhajirin dan Anshar untuk bermusyawarah dengan mereka tentang urusan perang itu. Dihadapkannya wajah Sa’ad bin Mu’adz yang mulia ke arah orang-orang Anshar, seraya katanya, “Kemukakanlah buah fikiran kalian, wahai sahabat…!”

Maka, bangkitlah Sa’adz bin Mu’adz dan berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepada Anda, kami percaya dan mengakui bahwa apa yang Anda bawa itu adalah hal yang benar, dan telah kami berikan pula ikrar dan janji-janji kami. Maka, laksanakahlah terus ya Rasulullah apa yang Anda inginkan, dan kami akan selalu bersama Anda. Dan, demi Allah yang telah mengutus Anda membawa kebenaran, seandainya Anda mengadapkan kami ke lautan ini, lalu Anda menceburkan diri ke dalamnya, pastilah kami akan ikut mencebur, tak seorang pun yang akan mundur dan kami tidak keberatan untuk menghadapi musuh esok pagi! Sungguh kami tabah dalam pertempuran dan teguh menghadapi perjuangan? Dan, semoga Allah akan memperlihatkan kepada Anda tindakan kami yang menyenangkan hati. Maka, marilah kita berangkat dengan berkah Allah Taala.”

Mendengar perkataan Sa’adz yang mengharukan itu, Rasulullah saw bangga dan gembira, lalu kepada kaum muslimin mengatakan,

“Marilah kita berangkat dan besarkan hati kalian karena Allah telah menjanjikan kepadaku salah satu di antara dua golongan! Demi Allah, sungguh seolah-olah tampak olehku kehancuran orang-orang itu.”

Pada waktu perang Uhud, yakni ketika kaum muslimin telah tercerai-berai karena serangan mendadak dari tentara musyrikin, maka takkan sulit bagi penglihatan mata untuk menemukan kedudukan Sa’ad bin Mua’dz. Kedua kakinya seolah-olah telah dipakukannya ke bumi di dekat Rasulullah saw. untuk menjaganyanya dengan mati-matian.

Kemudian datanglah pula saat Perang Khandaq yang dengan jelas membuktikan kejantanan Sa’ad dan kepahlawanannya. Perang Khandaq ini merupakan bukti nyata atas persengkokolan dan siasat licik yang dilancarkan kaum musyrik kepada kaum muslimin tanpa ampun, yaitu dari orang-orang yang dalam pertentangan mereka tidak kenal perjanjian atau keadilan.

Ketika di Madinah Rasulullah saw. memerintahkan orang-orang Qurasy untuk menghentikan serangan dan peperangan, segolongan pemimpin Yahudi secara diam-diam pergi ke Mekah, lalu menghasut orang-orang Qurasy untuk menyerang Rasulullah saw. Mereka telah membuat perjanjian dengan orang-orang musyrik itu dan bersama-sama telah mengatur rencana dan siasat peperangan. Di samping itu, dalam perjalanan pulang ke Madinah, mereka berhasil pula menghasut satu suku terbesar di antara suku-suku Arab, yaitu kabilah Gathfan dan mencapai persetujuan untuk menggabungkan diri dengan tentara Qurays.

Siasat peperangan telah diatur dan tugas serta peranan telah dibagi-bagi. Qurays dan Gathfan akan menyerang Madinah dengan tentara besar, sementara orang-orang Yahudi, di waktu kaum muslimin mendapat serangan mendadak itu, akan melakukan penghancuran di dalam kota dan sekelilingnya.

Tatkala mengetahui permukafatn jahat ini, Rasulullah saw. mengambil langkah-langkah pengamanan. Dititahkannyalah menggali Khandaq atau parit perlindungan sekeliling Madinah untuk membendung serbuah musuh. Di samping itu, diutusnaya Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah kepada Ka’ab bin Asad, pemimpin Yahudi suku Quraidha, untuk menyelidiki sikap mereka yang sesungguhnya terhdap orang yang akan datang, walaupun antara mereka dengan Nabi saw. sebenarnya sudah ada beberapa perjanjian dan persetujuan damai. Alangkah terkejutnya kedua utusan Nabi. Ketika bertemu dengan pemimpin Bani Quraidha itu, keduanya memperoleh jawaban, “Tak ada persetujuan atau perjanjian antara kami dengan Muhammad!”

Melihat peta kekuatan yang ada, terasa berat bagi Rasulullah saw. untuk menghadapi kaum musyrikin itu. Oleh sebab itu, beliau memikirkan sesuatu siasat untuk memisahkan suku Gathfan dari Qurays, sehingga kekuatan musuh yang akan menyerang terbagi menjadi dua. Hal ini dapat meringankan keadaan. Siasat itu segera beliau laksankan, yaitu dengan mengadakan perundingan dengan para pemimpin Gathfan dan menawarkan mereka mengundurkan diri dari peperangan dengan imbalan akan beroleh sepertiga dari hasil pertanian Madinah. Tawaran itu disetujui oleh pemimpin Gathfan.

Rasulullah saw. kemudian menceritakan hasil perundingan itu kepada para sahabatnya, terutama kepada Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah, dua orang pemuka Madinah. Tak lupa ia menyatakan bahwa langkah itu diambilnya karena ingin menghindarkan kota dan penduduk Madinah dari serangan dan pengepungan dahsyat.

Kedua pemimpin itu tampil mengajukan pertanyaan, “Wahai Rasulullah, apakah ini pendapat Anda sendiri, ataukah wahyu yang dititahkan Allah?”

Ujar Rasulullah, “Bukan, tetapi ia adalah pendapatku yang kurasa baik untuk tuan-tuan! Demi Allah, saya tidak hendak melakukannya, kecuali karena melihat orang-orang Arab hendak memanah tuan-tuan secara serentak dan mendesak tuan-tuan dari segenap jurusan. Maka, saya bermaksud hendak membatasi kejahatan mereka sekecil mungkin.”

Sa’ad bin Mu’adz menjawab, “Wahai Rasululallah, dahulu kami dan orang-orang itu berada dalam kemusyrikan dan pemujaan berhala, tiada mengabdikan diri kepada Allah dan tidak kenal kepada-Nya, sedang mereka tak mengharapkan akan dapat makan sebutir kurma pun dari hasil bumi kami, kecuali bila disuguhkan atau dengan cara jual beli. Sekarang apakah setelah kami beroleh kehormatan dari Allah dengan memeluk Islam dan mendapat bimbingan untuk menerimanya, dan setelah kami dimuliakan-Nya dengan Anda dan dengan agama itu, lalu kami harus menyerahkan harta kekayaan kami? Demi Allah kami tidak memerlukan itu dan demi Allah kami tak hendak memberi kepada mereka, kecuali pedang?hingga Allah menjatuhkan putusan-Nya dalam mengadili kami dengan mereka!”

Akhirnya Rasululallah saw mengubah pendiriannya dan menyampaikan kepada para pemimpin suku Gathfan bahwa sahabat-sahabatnya menolak rencara perundingan. Selang beberapa hari, kota Madinah mengalami pengepungan ketat. Sebenarnya pengepungan itu lebih merupakan pilihannya sendiri daripada dipaksa orang, disebabkan adanya parit yang digali sekelilingnya untuk menjadi benteng perlindungan bagi dirinya. Kaum muslimin pun memasuki suasanan perang. Sa’ad bin Mu’adz keluar membawa pedang dan tombaknya sambil berpantun.

Berhentilah sejenak, nantikan berkecamuknya perang maut berkejaran menyambut ajal datang menjelang…!
Dalam salah satu perjalanan kelilingnya, nadi lengannya disambar anak panah yang dilepaskan oleh salah seorang musyrik. Darah menyembur dari pembuluhnya, dan segera ia dirawat secara darurat untuk menghentikan keluarnya darah. Nabi saw. menyuruhnya membawanya ke masjid, dan agar didirikan kemah untuknya agar ia berada di dekatnya selama perawatan.

Kemudian dibawanya Saadz ke masjid. Ia menunjukkan pandangan matanya ke arah langit, lalu memohon,” Ya Allah, jika dari peperangan dengan Qurays ini masih ada yang Engkau sisakan, panjangkanlah umurku untuk menghadapinya! Karena, tidak ada golongan yang diinginkan untuk menghadapi mereka daripada kaum yang telah menganiaya Rasul-Mu, telah mendustakan dan mengusrinya…! Dan seandainya Engaku telah mengakhiri perang antara kami dengan mereka, jadikanlah kiranya musibah yang telah menimpa diriku sekaran ini sebagai jalan untuk menemui syahid. Dan janganlah aku dimatikan sebelum tercapinya yang memuaskan hatiku dengan Bani Quraidha…!”

Allah yang menjadi pembimbingmu, wahai Sa’ad bin Mu’adz! Karena, siapakah yang mampu mengeluarkan ucapan seperti itu dalam suasana demikian selain dirimu?

Permohonannya dikabulkan oleh Allah. Luka yang dideritanya menjadi penyebab yang mengantarkannya ke pintu syahid, karena sebulan setelah itu, akibat luka tersebut, ia menemui Rabnya. Tetapi, peristiwa itu terjadi setelah hatinya terobati terhadap Bani Quraidha.

Kisahnya ialah setelah orang-orang Qurays merasa putus asa untuk dapat menyerbu kota Madinah, dalam barisan mereka menyelinap rasa gelisah, maka mereka kemudian mengemasi barang perlengkapan dan alat senjata, lalu kembali ke Mekah dengan tangan hampa.

Rasulullah saw. berpendapat bahwa mendiamkan perbuatan orang-orang Quraidha berarti membuka kesempatan bagi kecurangan dan penghianatan mereka terahdap kota Madinah bila mana saja mereka menghendaki, suatu hal yang tak dapat dibiarkan berlalu! Oleh sebab itulah belaiu mengerahkan sahabat-sahabatnya kepada Bani Quraidha itu. Meraka mengepung orang-orang Yahudi itu selama 25 hari. Tatkala Bani Quraidha melihat bahwa mereka tak dapat melepaskan diri dari kaum muslimin, mereka pun menyerah dan mengajukan permohonan kepada Rasululallah yang beroleh jawaban bahwa nasib mereka akan tergantung kepada putusan Sa’ad bin Mu’adz. Pada masa jahiliah dulu, Sa’adz adalah sekutu Bani Quraidha. Nabi saw. mengirim beberapa sahabat untuk membawa Sa’ad bin Mu’adz dari kemah perawatannya di masjid. Ia dinaikkan ke atas kendaraan, sementara badannya kelihatan lemah dan menderita sakit.

Kata Rasulullah saw. kepadanya, “Wahai Sa’ad, berilah keputusanmu terhadap Bani Quraidha!” Dalam bayangan Sa’ad terbayang kembali kecurangan Bani Quraidha yang berakhir dengan Perang Khandaq dan nyaris menghancurkan kota Madinah serta penduduknya. Maka ujar Sa’ad, “Menurut pertimabanganku, orang-orang yang ikut berperang di antara mereka hendaklah dihukum bunuh. Perempuan dan anak-anak mereka diambil jadi tawanan, sedang harta kekayaan mereka dibagi-bagi. Demikianlah sebelum meninggal, hati Sa’ad telah terobati dari kecurangan Bani Quraidha.

Luka yang diderita Sa’ad setiap hari bahkan setiap jam kian bertambah parah. Pada suatu hari Rasulullah saw. datang menjenguknya. Kiranya didapatinya ia dalam saat terakhir dari hayatnya. Maka, Rasululalh saw. meraih kepalanya dan menaruhnya di atas pangkuannya, lalu berdoa kepada Allah, katanya, “Ya Allah Sa’ad telah berjihad di jalan-Mu dan telah memenuhi kewajibannya. Maka, terimalah ruhnya dengan sebaik-baiknya cara Engkau menerima ruh!”

Dengan susah payah dicobanya membuka kedua matanya dengan harapan kiranya wajah Rasulullah adalah yang terakhir dilihatnya selagi hidup ini, katanya, “Salam atasmu wahai Rasulullah! Ketahuilah bahwa aku mengakui bahwa Anda adalah Rasulullah!”

Rasulullah pun memandangi wajah Sa’ad lalu katanya, “Kebahagiaan bagimu wahai Abu Amr!”

Berkata Abu Sa’id al-Khudzri, “Saya adalah salah seorang yang menggali makam untuk Sa’ad. Dan, setiap kali kami menggali satu lapisan tanah, tercium oleh kami wangi kesturi, hingga sampai ke liang lahat.” Musibah atas kematian Sa’ad yang menimpa kaum muslimin terasa berat sekali. Tetapi, mereka kemudian terhibur adanya sabda Rasulullah saw., “Sunggih, Arasy Rab Yang Rahman bergetar dengan berpulangnya Sa’ad bin Mu’adz.”

Ghitrif & Ghatafan bin Sahl, Urwah bin Abdullah R.Hum

Pada suatu musim haji, Rasulullah SAW mendatangi Bani Ka'b bin Rabiah dari kabilah Bani Amir bin Sha'sha'ah yang sedang berada di Pasar Ukazh. Kabilah ini yang mempunyai kekuatan cukup besar, dan jarang ada kabilah lain yang berani berperang dengannya. Beliau menyeru mereka kepada Islam dan menjelaskan risalahnya. Ternyata mereka belum bersedia untuk masuk Islam, tetapi bersedia untuk membela beliau dalam menyampaikan risalah Islam.

Nabi SAW mengikuti mereka ke perkemahannya dengan penyambutan yang baik. Dalam sebuah transaksi jual beli, seseorang bernama Baiharah bin Firas al Qusyairi mencela Bani Ka'b bin Rabiah ini atas perlindungannya atas Rasulullah SAW. Ia kemudian berpaling kepada Nabi SAW dan berkata, "Bangunlah, kembalilah kepada kaummu, Demi Allah, jika kau tidak sedang di antara kaumku, pasti aku akan memenggal kepalamu."

Setelah Nabi SAW naik unta, Baiharah menendang kaki unta beliau dan dua orang melemparinya. Saat itu ada seorang wanita dari Bani Amir bin Sha'sha'ah yang telah memeluk Islam, yakni Dhuba'ah binti Amir bin Qurth. Ia berseru kepada keluarganya untuk membela Nabi SAW. Muncullah satu orang memukul Baiharah, dan dua orang lagi tampil memukul dua orang yang melempar Nabi SAW. Melihat hal itu, Nabi berdoa, "Ya Allah, berkatilah tiga orang itu (yang membantu Nabi SAW) dan laknatilah orang yang membantu Baiharah."
Tiga orang tersebut adalah anak-anak paman Dhuba'ah, Ghitrif bin Sahl dan Ghatafan bin Sahl, dua anak lelaki Sahl, dan satunya lagi Urwah bin Abdullah. Dua orang yang membantu Baiharah dan kemudian mati dalam keadaan dilaknat oleh Allah SWT adalah Hazn bin Abdullah dan Muawiyah bin Ubadah. Tiga orang yang membantu Nabi SAW akhirnya mendapat berkah doa beliau, setelah beberapa waktu berlalu, mereka masuk Islam dan berjihad bersama Rasullullah SAW hingga menemui syahidnya.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Thariq al-Shalidalani dan Syihab Ra
Hanzhalah bin Rahib RA
Muawiyah bin Abu Sufyan RA
Najasyi, Raja Habasyah
Ubadah bin Shamit RA

Ibnu Nathur, Uskup Kota Iliya, Romawi

Ibnu Nathur adalah seorang uskup di kota Iliya di Syam, salah satu daerah kekuasaan Kerajaan Romawi, ia juga sahabat sang Kaisar Romawi, Hiraqla (Hiraklius). Saat Hiraqla menerima surat seruan Nabi SAW untuk masuk Islam, yang dibawa sahabat Dihyah al Kalbi RA, ia mengkonfirmasi lebih lanjut surat beliau itu dengan Ibnu Nathur. Sang Uskup membacakan ayat-ayat Injil yang membenarkan Kenabian Nabi Muhammad SAW, kemudian ia menyatakan dirinya memeluk Islam.

Hiraqla termenung cukup lama setelah mendengar pandangan dan pendapat, bahkan sikap sahabatnya tersebut untuk memeluk Islam. Ia sendiri sebenarnya juga mengakui kenabian Rasulullah SAW, sebelum meminta pendapat Ibnu Nathur. Tetapi karena beberapa alasan, termasuk takut kehilangan kekuasaan, ia tidak mengikuti jejak sahabatnya tersebut. 

Pada hari ahadnya setelah ia memeluk Islam, Ibnu Nathur tidak muncul untuk memberikan khutbah dan ceramah di gereja seperti biasanya, padahal ‘jamaahnya’ telah berkumpul. Begitu pula pada hari-hari ahad berikutnya, dengan alasan ia sedang sakit. Orang-orang Romawi akhirnya jadi geram, apalagi melihat kedekatannya dengan orang Arab yang juga sahabat Nabi SAW, Dihyah al Kalbi. Mereka akhirnya memaksa sang uskup untuk keluar dari rumahnya. 

Melihat perkembangan situasi dan kondisi yang seperti itu, Ibnu Nathur menulis surat kepada Nabi SAW dan menitipkannya pada Dihyah al Kalbi, dan berpesan agar menyaksikan apa yang akan terjadi atas dirinya. Ia minta Dihyah menyampaikan salamnya pada Nabi SAW dan menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Setelah itu Ibnu Nathur keluar dengan pakaian putih, tidak dengan pakaian kebesaran gereja seperti biasanya. Di depan orang banyak orang, yang juga adalah para jamaahnya yang selama ini selalu mendengarkan dan menaati pengajarannya, Ibnu Nathur bersyahadat untuk menunjukkan keislamannya. Walau sebelumnya telah menduga karena kedekatannya dengan Dihyah al Kalbi, mereka terperangah juga dengan sikapnya yang sangat demontratif. Mereka menjadi sangat marah dan mengerubutinya, serta memukulinya hingga akhirnya Ibnu Nathur tewas terbunuh.


Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Seorang Penanya Hisab Amal
Utbah bin Ghazwan RA
Abbas bin Abdul Muthalib RA
Zubair bin Awwam RA
Hanzhalah Bin Rabi RA

Zaid Bin Arqam RA

Zaid bin Arqam RA adalah seorang Anshar yang telah memeluk Islam ketika masih anak-anak. Ketika terjadi perang Uhud, ia bergabung dengan pasukan muslim yang siap berangkat, tetapi keberadaannya diketahui oleh Nabi SAW dan beliau memulangkannya, karena ia masih sangat muda. Ia sangat sedih dengan larangan Rasulullah ini.

Pada tahun 5 hijriah Zaid mengikuti peperangan Bani Musthaliq. Usai peperangan, ketika masih menetap di Muraisi, sempat terjadi ketegangan antara kaum Muhajirin dan Anshar, yang dipicu oleh persenggolan ketika mengambil air di mata air, antara Jahjah al Ghifary, orang upahan Umar bin Khaththab, dan Sinan bin Wabar al Juhanny, salah seorang sahabat Anshar. Perselisihan ini sendiri sebenarnya telah bisa didamaikan Rasulullah SAW. Tetapi tokoh munafiq, Abdullah bin Ubay mengomentari peristiwa itu, ia berkata kepada kaumnya, "Inilah yang kalian lakukan, andaikata kalian tidak memberikan harta kalian kepada mereka, tentu mereka akan berpindah ke tempat lain. Demi Allah, jika kita telah kembali ke Madinah, maka penduduknya yang mulia akan benar-benar mengusir penduduknya yang hina."

Zaid bin Arqam, yang memang satu kabilah dengan tokoh munafik itu, begitu mendengar ucapan Abdullah bin Ubay ini merasa tidak senang, ia menyampaikan hal itu kepada pamannya, dan pamannya mengabarkannya kepada Nabi SAW. Umar bin Khaththab yang saat itu bersama Rasulullah SAW, meminta beliau agar menyuruh Abbad bin Bisyr RA membunuh tokoh munafik ini, tetapi beliau tidak mengijinkannya.

Setelah Abdullah bin Ubay mengetahui bahwa Nabi SAW telah mendengar ucapannya ini, segera saja ia menemui beliau dan bersumpah atas nama Allah, bahwa ia tidak mengatakan seperti apa yang disampaikan Zaid. Abdullah bin Ubay adalah salah satu tokoh masyarakat Madinah, dan Zaid bin Arqam hanya seorang pemuda remaja. Karena itu ada sebagian sahabat Anshar yang lebih mempercayai ucapan tokoh munafik itu daripada Zaid. Ia berkata, "Boleh jadi ia (Zaid bin Arqam) hanya menduga-duga saja tentang apa yang dikatakan Abdullah bin Ubay."

Zaid menjadi sedih dengan perkembangan yang terjadi, apa yang dilaporkannya kepada Nabi SAW seolah-olah hanya dugaan dan rekaannya semata. Apalagi Rasulullah SAW sepertinya bisa menerima sumpah yang diucapkan Abdullah bin Ubay. Bagaimanapun juga dirinya masih anak-anak, dan tidak memiliki ketenaran dan kekuasaan seperti halnya Abdullah bin Ubay.

Dalam beberapa hari berikutnya Zaid bin Arqam mengurung diri di rumah, tidak menghadiri majelis Rasulullah SAW seperti biasanya. Pamannya sampai berkata, "Aku tidak bermaksud agar Rasulullah SAW membencimu dan tidak mempercayaimu lagi!" Beberapa waktu kemudian, Allah SWT menurunkan Surah Al Munafiqun ayat 1, yang isinya mengabarkan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang munafiq, khususnya Abdullah bin Ubay. Nabi SAW mendatangi Zaid bin Arqam dan beliau membacakan wahyu yang baru beliau terima, kemudian beliau bersabda, "Wahai Zaid, Sesungguhnya Allah telah membenarkanmu!"

Badzan, Abanauah dan Jadd Jamira

Badzan adalah wakil Kisra Persia yang membawahi wilayah Yaman. Setelah Kisra Persia merobek-robek surat Nabi SAW, dan utusan beliau, sahabat Syuja bin Wahb al Asadi meninggalkan istana Kisra, Kisra memerintahkan Badzan untuk mengirimkan surat dengan dua utusan untuk menemui Nabi SAW. Isi surat itu antara lain memerintahkan beliau untuk menghadap Kisra Persia dengan segera. Dua orang itu adalah Abanauah, seorang menteri urusan khusus kerajaan Romawi, dan seorang lelaki dari al Furs yang dikenal dengan nama Jadd Jamirah.

Mereka berdua sempat singgah di Thaif, dan mencari informasi dari orang-orang Quraisy yang sedang berdagang di sana. Orang Quraisy ini sempat gembira karena Kisra Persia menunjukkan sikap bermusuhan dengan Nabi SAW, yang artinya berada di pihak yang sama dengan mereka. Kedua utusan Badzan ini meneruskan perjalanan ke Madinah.

Sesampainya di Madinah dan menghadap Nabi SAW, Abanauah menyampaikan surat dari Badzan, dan berkata, "Sesungguhnya Kisra telah menulis surat kepada Badzan agar mengirim utusan kepadamu yang dapat membawamu menghadap kepada Kisra, dan Badzan menyuruhku agar engkau ikut bersamaku."

Rasulullah SAW hanya tersenyum dan menyuruh dua utusan tersebut beristirahat terlebih dahulu, dan meminta mereka menemui beliau lagi keesokan harinya. Ketika Abanauah dan Jadd Jamirah menemui Nabi SAW keesokan harinya, Beliau memberitakan bahwa Kisra Persia akan dibinasakan oleh Allah, dan putranya, Shiruyah akan mengalahkannya pada tanggal, bulan dan tahun yang disebutkan beliau.

Tentu saja kedua orang utusan ini terkejut dan setengah tak percaya, mereka berkata, "Apakah engkau tahu benar apa yang engkau katakan? Dan bolehkah kami menulis mengenai hal ini untuk pimpinan kami, Badzan?"

"Silahkan engkau tulis," Kata Nabi SAW, "Dan katakan juga kepadanya : Jika kamu masuk Islam, maka Nabi SAW akan mengaruniakan kepadamu apa yang ada dalam kekuasaanmu saat ini."

Mereka menulis secara lengkap pembicaraan Rasulullah SAW, yang bisa dikatakan sebagai ramalan atas kerajaan Persia, setelah itu berpamitan. Beliau memberikan hadiah pada Jadd Jamirah, sebuah ikat pinggang yang di dalamnya berisi emas dan perak. Kedua orang ini kembali ke Yaman, dan ketika diceritakan apa yang dialami bersama Nabi SAW, Badzan hanya berkata, "Demi Allah ucapan itu bukanlah ucapan seorang raja. Kita akan menunggu apakah ucapannya itu benar atau tidak?"

Tak lama berselang, datanglah utusan dari Persia yang membawa surat Shiruyah untuk Badzan, surat itu berisi sebagai berikut : "Amma Ba'du, sesungguhnya aku telah membunuh Kisra sebagai bentuk kemarahan rakyat Persia, karena ia telah membolehkan pembunuhan tokoh-tokoh mereka. Hendaklah engkau menaatiku, dan janganlah engkau mencaci ‘seorang lelaki’ (yakni Nabi SAW) yang karena dia, Kisra telah menulis surat kepadamu."

Setelah membaca surat Shiruyah tersebut, Badzan merasa yakin bahwa Muhammad adalah benar-benar utusan Allah, ia pun memeluk Islam beserta orang-orang Persia yang berada di Yaman, termasuk Abanauah dan Jadd Jamirah.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Imran bin Hushain Al Khauzi RA
Cucu-Cucu Rasulullah SAW
Asma binti Yazid al Anshari RA
Auf bin Abu Hayyah al Ahmasi RA
Tsumamah bin Utsal RA

Ali bin Abi Thalib RA

Dia adalah khalifah pertama dari kalangan Bani Hasyim. Ayahnya adalah Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf, dan ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdu Manaf.

Ali dilahirkan di dalam Ka'bah dan mempunyai nama kecil Haidarah. Untuk meringankan beban Abu Thalib yang mempunyai anak banyak, Rasulullah SAW merawat Ali. Selanjutnya Ali tinggal bersama Rasulullah di rumahnya dan mendapatkan pengajaran langsung dari beliau. Ia baru menginjak usia sepuluh tahun ketika Rasulullah menerima wahyu yang pertama.

Sejak kecil Ali telah menunjukkan pemikirannya yang kritis dan brilian. Kesederhanaan, kerendah-hatian, ketenangan dan kecerdasannya yang bersumber dari Al-Qur'an dan wawasan yang luas, membuatnya menempati posisi istimewa di antara para sahabat Rasulullah SAW lainnya. Kedekatan Ali dengan keluarga Rasulullah SAW kian erat, ketika ia menikahi Fathimah, anak perempuan Rasulullah yang paling bungsu.

Dari segi agama, Ali bin Abi Thalib adalah seorang ahli agama yang faqih di samping ahli sastra yang terkenal, antara lain lewat bukunya "Nahjul Balaghah".

Syahidnya Utsman bin Affan membuat kursi kekhalifahan kosong selama dua atau tiga hari. Banyak orang, khususnya para pemberontak, mendesak Ali untuk menggantikan posisi Utsman. Para sahabat Rasulullah SAW juga memintanya, akhirnya dengan sangat terpaksa Ali menerima jabatan sebagai khalifah keempat.

Mungkin karena suasana peralihan kekhalifahan kini penuh dengan kekacauan, para pemberontak yang menyebabkan syahidnya usman masih bercokol dan membuat onar. Sementara ada banyak orang yang menuntut ditegakkannya hukum bagi pembunuh Utsman. Situasi saat itu membuat Ali sulit untuk memulai penataan pemerintahan baru yang bermasa depan cerah. Usahanya membuat penyegaran dalam pemerintahan dengan memberhentikan seluruh gubernur yang pernah diangkat Utsman, malah memicu konflik dengan Muawiyah.

Di sisi lain, muncul konflik antara Ali dan beberapa orang sahabat yang dikomandani oleh Aisyah, Ummul Mukminin. Puncak konflik ini menyebabkan meletusnya Perang Jamal (Perang Unta). Dinamakan demikian karena Aisyah mengendarai unta. Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang berada di pihak Aisyah gugur, sedangkan Aisyah tertawan.

Pertentangan politik antara Ali dan Muawiyah mengakibatkan pecahnya Perang Shiffin pada 37 H. Pasukan Ali yang berjumlah sekitar 95.000 orang melawan 85.000 orang pasukan Muawiyah. Ketika peperangan hampir berakhir, pasukan Ali berhasil mendesak pasukan Muawiyah. Namun sebelum peperangan dimenangkan, muncul Amr bin Ash mengangkat mushaf Al-Qur'an menyatakan damai.

Terpaksa Ali memerintahkan pasukannya untuk menghentikan peperangan, dan terjadilah gencatan senjata. Akibat kebijakan Ali itu, pasukannya pecah menjadi tiga bagian. Kelompok Syiah dengan segala resiko dan pemahaman mereka tetap mendukungnya. Kelompok Murjiah yang menyatakan mengundurkan diri. Dan kelompok Khawarij yang memisahkan diri serta menyatakan tidak senang dengan tindakan Ali.

Kelompok ketiga inilah yang akhirnya memberontak, dan menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap Ali sebagai khalifah, Muawiyah sebagai penguasa Suriah dan Amr bin Ash sebagai penguasa Mesir. Mereka berencana membunuh ketiga pemimpin itu.

Untuk mewujudkan rencana tersebut, mereka menyuruh Abdurrahman bin Muljam untuk membunuh Ali bin Abi Thalib di Kufah; Amr bin Bakar bertugas membunuh Amr bin Ash di Mesir; dan Hujaj bin Abdullah ditugaskan membunuh Muawiyah di Damaskus.

Hujaj tidak berhasil membunuh Muawiyah lantara dijaga ketat oleh pengawal. Sedangkan Amr bin Bakar tanpa sengaja membunuh Kharijah bin Habitat yang dikiranya Amr bin Ash. Saat itu Amr bin Ash sedang sakit sehingga yang menggantikannya sebagai imam shalat adalah Kharijah. Akibat perbuatannya, Kharijah pun dibunuh pula.

Sedangkan Abdurrahman bin Muljam berhasil membunuh Ali yang saat itu tengah menuju masjid. Khalifah Ali wafat pada tanggal 19 Ramadhan 40 H dalam usia 63 tahun. Syahidnya Ali bin Abi Thalib menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin.

Said bin Amir RA

“Said bin Amir, seorang laki-laki yang membeli akhirat dengan dunia dan mementingkan Allah dan Rasul-Nya di atas selain keduanya.” (Ahli Sejarah)

Anak muda ini, Said bin Amir, adalah satu dari ribuan orang yang keluar ke daerah Tan’im di luar Mekah atas undangan para pemuka Quraisy untuk menyakikan pelaksanaan hukum mati atas khubaib bin Adi, salah seorang sahabat Muhammad setelah mereka menangkapnya dengan cara licik.

Sebagai pemuda yang kuat dan tangguh, Said mampu bersaing dengan orang-orang yang lebih tua umurnya untuk berebut tempat di depan, sehingga dia mampu duduk sejajar di antara para pemuka Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, dan lain-lainya yang menyelenggarakan acara tersebut.

Semua ini membuka jalan baginya untuk menyaksikan tawanan Quraisy yang terikat dengan tambang itu. Sementara tangan anak-anak, para pemuda, dan kaum wanita mendorongnya ke pelataran kematian dengan kuatnya, mereka ingin melampiaskan dendam kesumat terhadap Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, membalas kematian orang-orang mereka yang terbunuh di Badar dengan membunuh Khubaib.

Manakala rombongan besar dengan seorang tawanan tersebut telah tiba di tempat yang sudah disiapkan untuk membunuhnya, si anak muda Said bin Amir al-Jumahi berdiri tegak memandang Khubaib yang sedang digiring ke tiang salib. Said mendengar suara Khubaib di antara teriakan kaum wanita dan anak-anak, dia mendengarnya berkata, “Bila kalian berkenan membiarkanku shalat dua rakaat sebelum aku kalian bunuh?”

Said melihat Khubaib menghadap kiblat, shalat dua rakaat, dua rakaat yang sangat baik dan sangat sempurna.

Said melihat Khubaib menghadap para pembesar Quraisy dan berkata, “Demi Allah, kalau aku tidak khawatir kalian menyangka bahwa aku memperlama shalat karena takut mati, niscaya aku akan memperlama shalatku.”

Kemudia Said melihat kaumnya dengan kedua mata kepalanya mencincang jasad Khubaib sepotong demi sepotong padahal Khubaib masih hidup, sambil berkata, “Apakah kamu ingin Muhammad ada di tempatmu ini sedangkan kamu selamat?

Khubaib menjawab sementara darah menetes dari jasadnya, “Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara keluarga dan anak-anakku dalam keadaan aman dan tenang sementara Muhammad tertusuk oleh sebuah duri.”

Maka orang banyak pun mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi ke udara, teriakan mereka gegap gempita menggema di langit.

Di saat itu Said bin Amir melihat Khubaib mengangkat pandangannya ke langit dari atas tiang salib dan berkata, “Ya Allah, balaslah mereka satu persatu, bunuhlah mereka sampai habis, dan jangan biarkan seorang pun dari mereka hidup dengan aman.”

Akhirnya Khubaib pun menghembuskan nafas terakhirnya, dan tidak ada seorang pun yang mampu melindunginya dari tebasan pedang dan tusukan tombak orang-orang kafir.

Orang-orang Quraisy kembali ke Mekah, mereka melupakan Khubaib dan kematiannya bersama dengan datangya peristiwa demi peristiwa besar yang mereka hadapi.

Namun tiak dengan anak muda yang baru tumbuh ini, Said bin Amir, Khubaib tidak pernah terbenam dari benaknya sesaat pun.

Said melihatnya dalam mimpinya ketika dia tidur, membayangkannya dalam khayalannya ketika dia terjaga, berdiri di depannya ketika dia shalat dua rakaat dengan tenang dan tenteram di depan kayu salib, Said mendengar bisikan suaranya di keua telinganya ketika dia berdoa atas orang-orang Quraisy, maka dia khawatir sebuah halilintar akan menyambar atau sebuah batu dari langit akan jatuh menimpanya.

Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan sesuatu kepada Said tentang persoalan besar yang belum dia ketahui selama ini.

Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan kepadanya bahwa kehidupan sejati adalah jihad di jalan akidah yang diyakininya sampai mati.

Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan kepadanya bahwa iman yang terpancang kuat bisa melahirkan dan menciptakan keajaiban-keajaiban.

Khubaib mengajarkan kepadanya perkara lainnya, yaitu seorang laki-laki yang dicintai sedemikian rupa oleh para sahabatnya adalah seorang nabi yang di dukung oleh kekuatan dan pertolongan langit.

Pada saat itu Allah Ta’ala membuka dada Said bin Amir kepada Islam, maka dia berdiri di hadapan sekumpulan orang banyak, mengumumkan bahwa dirinya berlepas diri dari dosa-dosa dan kejahatan-kejahatan orang Quraisy, menanggalkan berhala-berhala dan patung-patung menyatakan diri sebagai seorang muslim.

Said bin Amir al-Jumahi berhijrah ke Madinah tinggal bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ikut bersama beliau dalam perang khaibar dan peperangan lain sesudahnya.

Manakala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dipanggil menghadap keharibaan Rabbbnya alam keadaan ridha, Said bin Amir tetap menjadi sebilah pedang yang terhunus di tangan para khalifah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar. Said bin Amir hidup sebagai contoh menawan lagi mengagumkan bagi setiap mukmin yang telah membeli akhirat dengan dunia, mementingkan ridha Allah dan pahalaNya di atas segala keinginan jiwa dan hawa nafsu.

Dua orang khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenal kejujuran Said dan ketakwaannya, keduanya mendengar nasihatnya dan mencamkan kata-katanya.

Said datang kepada Umar bin al-Khatthab di awal khilafahnya, dia berkata, “Wahai Umar, aku berpesan kepadamu agar kamu bertakwa kepada Allah dalam bermuamalah dengan manusiadan jangan takut kepada manusia dengan melakukan kemaksiatan kepada Allah. Janganlah kata-katamu menyelisihi perbuatanmu, karena kata-kata yang baik adalah yang dibenarkan oleh perbuatan. Wahai Umar, perhatikanlah orang-orang yang Allah Ta’ala telah menyerahkan perkara mereka kepadamu, baik mereka dari kalangan kaum muslimin yang dekat maupun yang jauh, cintailah sesuatu yang bermanfaat untuk dirimu dan keluargamu, bencilah sesuatu yang mereka alami, yang kamu pun benci apabila hal itu terjadi kepada dirimu dan keluargamu, hadapilah kesulitan-kesulitan untuk menuju pada kebenaran dan jangan takut celaan orang-orang yang mencela ketika engkau berbuat ketaatan kepada Allah.”

Maka Umar menjawab, “Siapa yang mampu melakukannya wahai Said?”

Said berkata, “Hal itu bisa dilakukan oleh orang-orang sepertimu yang Allah Ta’ala serahi perkara umat Muhammad dan di antara dia dengan Allah tidak terdapat seorang pun.”

Pada saat itu Umar mengundang Said untuk mendukungnya, Umar berkata, “Wahai Said, aku menyerahkan kota Himsh kepadamu.” Maka Said menjawab, “Wahai Umar, dengan nama Allah aku memohon kepadamu agar mencoret namaku.”

Maka Umar marah, dia berkata, “Celaka kalian, kalian meletakkan perkara ini di pundakku kemudian kalian berlari dariku. Demi Allah, aku tidak akan membiarkanmu.”

Umar mengangkat Said sebagai gubernur Himsh, Umar bertanya kepadanya, “Aku akan mentapkan gaji untukmu.”

Said menjawab, “Apa yang aku lakukan dengan gaji itu wahai Amirul Mukminin? Pemberian dari baitul maal kepadaku melebihi kebutuhanku.” Said pun berangkat ke Himsh menunaikan tugasnya.

Tidak lama berselang, Amirul Mukminin Umar bin Khatthab didatangi oleh orang-orang yang bisa dipercaya dari penduduk Himsh, Umar berkata kepada mereka, “Tulislah nama penduduk miskin dari Himsh agar aku bisa membantu mereka.”

Mereka menulis dalam sebuah lembaran, di dalamnya tercantum nama fulan dan fulan serta Said bin Amir.

Umar bertanya, “Siapa Said bin Amir?”

Mereka menjawab, “Gubernur kami.”

Umar menegaskan, “Gubernur kalian miskin?”

Mereka menjawab, “Benar di rumahnya tidak pernah dinyalakan api dalam waktu yang cukup lama.”

Maka Umar menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, kemudia dia mengambil seribu dinar dan memasukkannya ke dalam sebuah kantong. Umar berkata, “Sampaikan salamku kepadanya dan katakana kepadanya bahwa Amirul Mukminin mengirimkan harta ini agar kamu bisa menggunakannya untuk memenuhi kebutuhanmu.”

Delegasi pun pulang dan mendatangi rumah Said dengan menyerahkan kantong dari Umar bin Khatthab. Said melihatnya dan ternyata isinya adalah dinar, maka dia menyingkirkannya seraya berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Seolah-olah Said sedang ditimpa musibah besar atau perkara berat.

Istrinya datang tergopoh-gopoh dengan penuh kecemasan, dia berkata, “Apa yang terjadi wahai Said? Apakah Amirul Mukimin wafat?”

Said menjawab, “Lebih besar dari itu.”

Istrinya bertanya, “Aa yang lebih besar ?”

Said menjawab, “Dunia datang kepadaku untuk merusak akhiratku, sebuat fitnah telah menerpa rumahku.”

Istrinya berkata, “Engkau harus berlepas diri darinya,” Dia belum mengerti apa pun terkait dengan perkara dinar tersebut.

Said bertanya, “Kamu bersedia membantuku?”

Istrinya menjawab, “Ya”

Maka Said mengambil dinar itu, memasukkannya ke dalam kantong-kantong dan membagi-baginya kepada kaum muslimin yang miskin.

Tidak berselang lama setelah itu, Umar bin al-Khatthab datang ke negeri Syam untuk mengetahui keadaannya. Ketika Umar tiba di Himsh, kota ini juga dikenal dengan Kuwaifah, bentuk kecil dari Kufah, kota Himsh disamakan dengan Kufah karena banyaknya keluhan penduduknya terhadap para gubernurnya seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kufah, ketika Umar tiba di sana, orang-orang Himsh bertemu dengan Umar untuk memberi salam kepadanya. Umar bertanya, “Bagaimana dengan gubernur kalian?”

Maka mereka mengadukannya dan menyebutkan empat hal dari sikapnya, yang satu lebih besar daripada yang lain.

Umar berkata, “Maka aku mengumpulkan mereka dengan pribadi Sa’id sebagai gubernur mereka dalam sebuah majelis, aku memohon kepada Allah agar dugaanku kepadanya selama ini tidak salah, aku sangat percaya kepadanya. Ketika mereka dengan gubernur mereka berada di hadapanku, aku berkata, “Apa keluhan kalian terhadap gubernur kalian?”

Mereka menjawab, “Dia tidak keluar kepada kami kecuali ketika siang sudah naik.”

Aku berkata, “Apa jawabanmu wahai Said?”

Said diam sesaat kemudian berkata, “Demi Allah, aku sebenarnya tidak suka mengatakan hal ini, akan tetapi memang harus dikatakan. Keluargaku tidak mempunyai pembantu. Setiap pagi aku menyiapkan adonan mereka, kemudian aku menunggunya beberapa saat sampai ia mengembang, kemudian aku membuat roti untuk mereka, kemudian aku berwudhu dan keluar untuk masyarakat.”

Umar berkata, aku pun berkata kepada mereka, “Apa yang kalian keluhkan darinya juga?”

Mereka menjawab, “Dia tidak menerima seorang pun di malam hari.”

Said berkata, “Demi Allah, aku juga malu mengatakan hal ini. Aku telah memberikan siang bagi mereka, sedangkan malam maka aku memberikannya kepada Allah Ta’ala.

Aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”

Mereka menjawab, “Dia tidak keluar menemui kami satu hari dalam sebulan.”

Aku bertanya, “Bagaimana penjelasanmu wahai Said?”

Said menjawab, “Aku tidak mempunyai wahai Amirul Mukminin, aku pun tidak mempunyai pakaian selain yang melekat di tubuhku ini. Aku mencucinya sekali dalam sebulan, dan menunggu sampai kering, baru kemudian aku keluar di sore hari.”

Kemudian aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”

Mereka menjawab, “Terkadang ia jatuh pingsan sehingga tidak ingat terhadap orang-orang di sekitarnya.”

Aku bertanya, “Bagaimana penjelasanmu wahai Said?”

Said menjawab, “Aku menyaksikan kematian Khubaib bin Adi ketika aku masih musyrik, aku melihat orang-orang Quraisy mencincang jasadnya sambil berkata kepadanya, ‘Apakah kamu ingin Muhammad ada di tempatmu ini?’ Lalu dia menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara keluarga dan anak-anakku dalam keadaan tenang sedangkan Muhammad tertusuk oleh sebuah duri.’ Demi Allah setiap aku teringat hari itu, yakni ketika aku membiarkannya dan tidak menolongnya sehingga aku senantiasa dikejar ketakutan bahwa Allah tidak akan mengampuniku, maka aku pun pingsan.”

Saat itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang membenarkan dugaanku kepadamu.”

Kemudian Umar memberinya seribu dinar agar dia gunakan untuk memenuhi kebutuhannya.

Istrinya melihatnya, dia pun berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mencukupkan kami dari pelayananmu, belilah kebutuhan kami dan ambillah seorang pelayan.”

Said berkata kepadanya, “Apakah kamu mau aku tunjukkan kepada yang lebih baik dari itu? Istrinya balik bertanya, “Apa itu?”

Said berkata, “Kita memberikan hatra tersebut kepada yang memberikannya kepada kita, kita lebih memerlukan hal (amalan) itu.”

Istrinya bertanya, “Apa maksudmu?”

Said menjawab, “Kita berikan kepada Allah dengan cara yang baik.”

Istrinya berkata, “Setuju dan semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”

Said tidak meninggalkan majelisnya hingga dia membagi dinar tersebut di beberapa kantong, lalu dia berkata kepada salah seorang anggota keluarganya, “Berikanlah ini kepada janda fulan, berikanlah ini kepada anak-anak yatim fulan, berikanlah ini kepada keluarga fulan, berikanlah ini kepada orang-orang miskin dari keluarga fulan.”

Semoga Allah meridhai Said bin Amir al-Jumahi, dia termasuk orang-orang yang mementingkan saudaranya sekalipun dia sendiri memerlukan.

Sumber:: kisahmuslim.com

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Tsa'labah Bin Abdurrahman RA
Sa’ad bin Ubadah RA
Usamah Bin Zaid RA
Habib Bin Zaid RA
Abdullah bin Amr bin Haram al Anshary RA

Abdullah bin Mas'ud RA

Tak berapa lama setelah memeluk Islam, Abdullah bin Mas'ud mendatangi Rasulullah dan memohon kepada beliau agar diterima menjadi pelayan beliau. Rasulullah pun menyetujuinya.

Sejak hari itu, Abdullah bin Mas'ud tinggal di rumah Rasulullah. Dia beralih pekerjaan dari penggembala domba menjadi pelayan utusan Allah dan pemimpin umat. Abdullah bin Mas'ud senantiasa mendampingi Rasulullah bagaikan layang-layang dan benangnya. Dia selalu menyertai kemana pun beliau pergi.

Dia membangunkan Rasulullah untuk shalat bila beliau tertidur, menyediakan air untuk mandi, mengambilkan terompah apabila beliau hendak pergi dan membenahinya apabila beliau pulang. Dia membawakan tongkat dan siwak Rasulullah, menutupkan pintu kamar apabila beliau hendak tidur.

Bahkan Rasulullah mengizinkan Abdullah memasuki kamar beliau jika perlu. Beliau memercayakan kepadanya hal-hal yang rahasia, tanpa khawatir rahasia tersebut akan terbuka. Karenanya, Abdullah bin Mas'ud dijuluki orang dengan sebutan "Shahibus Sirri Rasulullah" (pemegang rahasia Rasulullah).

Abdullah bin Mas'ud dibesarkan dan dididik dengan sempurna dalam rumah tangga Rasulullah. Karena itu tidak kalau dia menjadi seorang yang terpelajar, berakhlak tinggi, sesuai dengan karakter dan sifat-sifat yang dicontohkan Rasulullah kepadanya. Sampai-sampai orang mengatakan, karakter dan akhlak Abdullah bin Mas'ud paling mirip dengan akhlak Rasulullah.

Abdullah bin Mas'ud pernah berkata tentang pengetahuannya mengenai Kitabullah (Al-Qur'an) sebagai berikut, "Demi Allah, yang tiada Tuhan selain Dia. Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur'an, melainkan aku tahu di mana dan dalam situasi bagaimana diturunkan. Seandainya ada orang yang lebih tahu daripada aku, niscaya aku datang belajar kepadanya."

Abdullah bin Mas'ud tidak berlebihan dengan ucapannya itu. Kisah Umar bin Al-Khathab berikut memperkuat ucapannya. Pada suatu malam, Khalifah Umar sedang dalam perjalanan, ia bertemu dengan sebuah kabilah. Malam sangat gelap bagai tertutup tenda, menutupi pandangan setiap pengendara. Abdullah bin Mas'ud berada dalam kabilah tersebut. Khalifah Umar memerintahkan seorang pengawal agar menanyai kabilah.

"Hai kabilah, dari mana kalian?" teriak pengawal.

"Min fajjil 'amiq (dari lembah nan dalam)," jawab Abdullah.

"Hendak kemana kalian?"

"Ke Baitu Atiq (rumah tua, Ka'bah)," jawab Abdullah.

"Di antara mereka pasti ada orang alim," kata Umar.

Kemudian diperintahkannya pula menanyakan, "Ayat Al-Qur'an manakah yang paling ampuh?"

Abdullah menjawab, "Allah, tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya) tidak mengantuk dan tidak pula tidur..." (QS Al-Baqarah: 255).

"Tanyakan pula kepada mereka, ayat Al-Qur'an manakah yang lebih kuat hukumnya?" kata Umar memerintah.

Abdullah menjawab, "Sesungguhnya Allah memerintah kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang kamu dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (QS An-Nahl: 9).

"Tanyakan kepada mereka, ayat Al-Qur'an manakah yang mencakup semuanya!" perintah Umar.

Abdullah menjawab, "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan walaupun seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan walaupun sebesar dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya pula." (QS Al-Zalzalah: 8).

Demikian seterusnya, ketika Umar memerintahkan pengawal untuk bertanya tentang Al-Qur'an, Abdullah bin Mas'ud langsung menjawabnya dengan tegas dan tepat. Hingga pada akhirnya Khalifah Umar bertanya, "Adakah dalam kabilah kalian Abdullah bin Mas'ud?"

Jawab mereka, "Ya, ada!"

Abdullah bin Mas'ud bukan hanya sekedar qari' (ahli baca Al-Qur'an) terbaik, atau seorang yang sangat alim atau zuhud, namun ia juga seorang pemberani, kuat dan teliti. Bahkan dia seorang pejuang (mujahid) terkemuka. Dia tercatat sebagai Muslim pertama yang mengumandangkan Al-Qur'an dengan suara merdu dan lantang.

Pada suatu hari para sahabat Rasulullah berkumpul di Makkah. Mereka berkata, "Demi Allah, kaum Quraisy belum pernah mendengar ayat-ayat Al-Qur'an yang kita baca di hadapan mereka dengan suara keras. Siapa kira-kira yang dapat membacakannya kepada mereka?"

"Aku sanggup membacakannya kepada mereka dengan suara keras," kata Abdullah.

"Tidak, jangan kamu! Kami khawatir kalau kamu membacakannya. Hendaknya seseorang yang punya keluarga yang dapat membela dan melindunginya dari penganiayaan kaum Quraisy," jawab mereka.

"Biarlah, aku saja. Allah pasti melindungiku," kata Abdullah tak gentar.

Keesokan harinya, kira-kira waktu Dhuha, ketika kaum Quraisy sedang duduk-duduk di sekitar Ka'Baha Ad-Daulah. Abdullah bin Mas'ud berdiri di Maqam Ibrahim, lalu dengan suara lantang dan merdu dibacanya surah Ar-Rahman ayat 1-4.

Bacaan Abdullah yang merdu dan lantang itu kedengaran oleh kaum Quraisy di sekitar Ka'bah. Mereka terkesima saat mendengar dan merenungkan ayat-ayat Allah yang dibaca Abdullah. Kemudian mereka bertanya, "Apakah yang dibaca oleh Ibnu Ummi Abd (Abdullah bin Mas'ud)?"

"Sialan, dia membaca ayat-ayat yang dibawa Muhammad!" kata mereka begitu tersadar. Lalu mereka berdiri serentak dan memukuli Abdullah. Namun Abdullah bin Mas'ud meneruskan bacaannya hingga akhir surah. Ia lalu pulang menemui para sahabat dengan muka babak belur dan berdarah.

"Inilah yang kami khawatirkan terhadapmu," kata mereka.

"Demi Allah, kata Abdullah, "Bahkan sekarang musuh-musuh Allah itu semakin kecil di mataku. Jika kalian menghendaki, besok pagi aku akan baca lagi di hadapan mereka."

Abdullah bin Mas'ud hidup hingga masa Khalifah Utsman bin Affan memerintah. Ketika ia hampir meninggal dunia, Khalifah Utsman datang menjenguknya. "Sakit apakah yang kau rasakan, wahai Abdullah?" tanya khalifah.

"Dosa-dosaku," jawab Abdullah.

"Apa yang kau inginkan?"

"Rahmat Tuhanku."

"Tidakkah kau ingin supaya kusuruh orang membawa gaji-gajimu yang tidak pernah kau ambil selama beberapa tahun?" tanya Khalifah.

"Aku tidak membutuhkannya," kata Abdullah.

"Bukankah kau mempunyai anak-anak yang harus hidup layak sepeninggalmu?" tanya Utsman.

"Aku tidak khawatir, jawab Abdullah, "Aku menyuruh mereka membaca surah Al-Waqi'ah setiap malam. Karena aku mendengar Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang membaca surah Al-Waqi'ah setiap malam, dia tidak akan ditimpa kemiskinan selama-lamanya!"

Pada suatu malam yang hening, Abdullah bin Mas'ud pun berangkat menghadap Tuhannya dengan tenang.

Najasyi, Raja Habasyah

Najasyi, yang nama aslinya Ashamah bin Abjar, adalah raja Habasyah, sebuah negeri di Afrika yang mayoritas penduduknya beragama Nashrani. Ketika tekanan dan siksaan kaum kafir Quraisy terhadap orang-orang Islam makin meningkat, Nabi SAW memerintahkan sekelompok sahabat yang dipimpin oleh Ja'far bin Abi Thalib berhijrah ke negeri tersebut. Nabi SAW bersabda kepada mereka, "Sesungguhnya di Habasyah terdapat seorang raja, siapa saja yang berada di sisinya tidak akan didzalimi. Maka pergilah kalian ke sana hingga Allah memberikan kelapangan dan jalan keluar dari kondisi yang sedang kalian hadapi sekarang ini."

Ternyata memang benar, mereka mendapat perlakuan yang baik dan tidak dihalangi untuk menjalankan ibadah, walaupun berbeda dengan agama yang dianut penduduk Habasyah, Nashrani. Sebaliknya, kaum kafir Quraisy merasa iri dan marah, karena itu mereka bersepakat untuk mengirimkan utusan pada Najasyi sambil memberikan hadiah-hadiah, sekaligus meminta agar ia mengusir para muhajirin muslim tersebut dari negerinya, mengembalikan lagi ke Makkah.

Utusan kaum Quraisy yang dipimpin oleh Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah (dalam riwayat lain, Umarah bin Walid) memberikan hadiah kepada Najasyi dan para panglimanya, kemudian meminta agar orang-orang muslim yang berlindung di negeri tersebut dikembalikan kepada sanak keluarganya di Makkah. Dengan tegas Najasyi berkata, "Tidak, demi Allah, aku tidak akan mengembalikan mereka sebelum aku berbicara dengan mereka, dan akan kupertimbangkan dengan matang urusan ini. Sungguh mereka telah datang ke negeriku dan memilih perlindunganku daripada perlindungan orang lain, termasuk kalian…."

Begitulah Najasyi panjang lebar berbicara kepada dua orang Quraisy tersebut, yang intinya menolak mengabulkan permintaan mereka tanpa konfirmasi dengan kaum muslimin tersebut. Setelah itu ia memerintahkan para pengawalnya untuk mendatangkan utusan kaum muslimin.

Ketika Ja'far bin Abu Thalib dan beberapa sahabat didatangkan menghadap Najasyi, ia menjawab dan menjelaskan panjang lebar tentang Islam. Najasyi meminta agar dibacakan beberapa wahyu yang diturunkan, Ja'far-pun membacakan permulaan Surah Maryam. Najasyi dan beberapa uskup di sebelahnya menangis hingga air mata membasahi janggutnya, kemudian ia berkata, "Demi Allah, ini dan apa yang dibawa Musa muncul dari misykah yang sama. Pergilah kalian berdua!! Aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian..!"

Misykah adalah lubang tempat diletakkannya lampu penerangan, sehingga dari tempat itu cahaya memancar menerangi tempat sekitarnya. Dengan perkataannya tersebut, sedikit banyak Najasyi telah memberikan pengakuan bahwa Islam adalah agama wahyu, sama seperti halnya agama Nashrani yang dipeluknya.

Ternyata dua orang Quraisy itu tidak mau menyerah begitu saja. Keesokan harinya, mereka menghadap Najasyi, meminta agar mempertanyakan tentang Isa bin Maryam. Najasyi memenuhi permintaannya, sekali lagi para sahabat itu didatangkan lagi dan diminta menjelaskan pandangan mereka tentang Isa bin Maryam. Ja'far menjawab, "Kami berkata tentang dirinya, sebagaimana diajarkan oleh Nabi SAW, yakni Isa adalah seorang hamba Allah, RasulNya dan RuhNya, sekaligus kalimahNya yang diletakkanNya pada Maryam, seorang perawan suci yang tidak mempunyai syahwat kepada lelaki."

Mendengar jawaban tersebut, Najasyi memukul tanah dengan tangannya dan mengambil sepotong ranting, kemudian berkata, "Demi Allah, Isa bin Maryam tidak melebihi apa yang kamu katakan, walaupun hanya sepanjang ranting ini. Kalian aman di sini, jika ada orang yang menghina dan mencerca kalian, dia akan menanggung denda. Aku tidak suka seandainya memiliki gunung emas, sedangkan aku menyakiti salah satu dari kalian."

Sebagian pembesar dan panglimanya tampak tidak senang dengan perkataan Najasyi, mereka mendengus marah. Najasyipun berkata, "Aku tidak perduli jika kalian marah, kembalikan hadiah yang diberikan oleh kedua orang itu (yakni utusan Quraisy), Demi Allah, Allah tidak menerima suap dariku ketika Dia memberikan amanat kerajaan ini, karena itu aku tidak perlu menerima suap dalam urusanNya. Tidak juga Allah menuruti kemauan orang banyak dalam urusanku, sehingga aku tidak perlu menuruti kemauan kalian dalam urusanNya."

Dengan terpaksa mereka mengembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada dua utusan Quraisy, dan keduanya keluar dari majelis Najasyi dengan perasaan terhina terhina.

Sikap tegas Najasyi ini ternyata harus dibayar mahal, beberapa orang panglima dan pembesar bersekongkol untuk merebut kekuasaan Najasyi, sehingga terjadi pertempuran antara dua kubu. Para sahabat sedih dan khawatir, kalau Najasyi kalah pastilah mereka tidak bisa lagi beribadah dengan tenang. Merekapun berdoa untuk keselamatan dan kemenangan Najasyi. Zubair bin Awwam dikirim untuk mengamati pertempuran tersebut, dan ia harus berenang menyeberangi sungai Nil. Setelah menunggu dengan harap-harap cemas, Zubair datang mengabarkan kemenangan pasukan Najasyi, para sahabatpun menjadi tenang.

Pada Dzulhijjah tahun 6 hijriah atau Muharam tahun 7 hijriah, Rasulullah SAW mengirim seorang utusan, yaitu Amr bin Umayyah adh Dhamry untuk menemui Najasyi. Amr membawa tiga missi,
1. Menyampaikan surat ajakan Nabi SAW kepada Najasyi untuk memeluk Islam.
2. Menyampaikan lamaran Nabi SAW kepada Ummu Habibah, janda Ubaidillah bin Jahsy yang murtad dan meninggal dalam agama Nashrani.
3. Mengajak para sahabat yang berada di Habasyah untuk berhijrah ke Madinah.

Ketiga missi ini berjalan sukses. Setelah membaca surat Nabi SAW, Najasyi meletakkan surat tersebut di depan matanya sambil menangis, kemudian turun dari singgasananya dan bersyahadat di depan Ja'far bin Abu Thalib. Najasyi juga mewakili Nabi SAW menyampaikan lamaran kepada Ummu Habibah, sekaligus menikahkan mereka berdua. Ketika rombongan para sahabat akan kembali ke Madinah, Najasyi menyiapkan dua buah perahu dan perbekalan lengkap untuk perjalanan tersebut. Ia juga menyertakan seorang utusan menemui Nabi SAW, untuk mengabarkan keislamannya, dan juga meminta Nabi SAW memohonkan ampunan bagi dirinya.

Rombongan dari Habasyah ini bertemu dengan Nabi SAW ketika di Khaibar. Ja'far menceritakan tentang pelayanan dan perlakuan Najasyi kepada para sahabat, tentang keislaman Najasyi dan permintaan doanya. Setelah mendengar penuturan tersebut, Nabi SAW mengambil wudlu dan mendoakan ampunan untuk Najasyi, beliau mengulangnya sampai tiga kali dengan diamini oleh para sahabat.

Najasyi wafat pada bulan Rajab tahun 7 hijriah, Nabi SAW sangat bersedih dan melakukan shalat ghaib untuk kewafatannya tersebut.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy RA
Sa’ad bin Mu’adz RA
Salman Al Farisi RA
Umair bin Abi Waqqash RA
Ummu Hakim RA

Hudzaifah Ibnul Yaman RA

Hudzaifah Ibnul Yaman lahir di rumah tangga Muslim, dipelihara dan dibesarkan dalam pangkuan kedua orang tuanya yang telah memeluk agama Allah, sebagai rombongan pertama.

Oleh sebab itu, Hudzaifah telah Islam sebelum dia bertemu muka dengan Rasulullah. Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, Hudzaifah selalu mendampingi beliau bagaikan seorang kekasih. Hudzaifah turut bersama-sama dalam setiap peperangan yang dipimpinnya, kecuali dalam Perang Badar.

Dalam Perang Uhud, Hudzaifah ikut memerangi kaum kafir bersama dengan ayahnya, Al-Yaman. Dalam perang itu, Hudzaifah mendapat cobaan besar. Dia pulang dengan selamat, tetapi bapaknya syahid oleh pedang kaum Muslimin sendiri, bukan kaum musyrikin. Kaum Muslimin tidak mengetahui jika Al-Yaman adalah bagian dari mereka, sehingga mereka membunuhnya dalam perang.

Rasulullah menilai dalam pribadi Hudzaifah Ibnul Yaman terdapat tiga keistimewaan yang menonjol. Pertama, cerdas, sehingga dia dapat meloloskan diri dalam situasi yang serba sulit. Kedua, cepat tanggap, berpikir cepat, tepat dan jitu, yang dapat dilakukannya setiap diperlukan. Ketiga, cermat memegang rahasia, dan berdisiplin tinggi, sehingga tidak seorang pun dapat mengorek yang dirahasiakannya.

Kesulitan terbesar yang dihadapi kaum Muslimin di Madinah ialah kehadiran kaum Yahudi munafik dan sekutu mereka, yang selalu membuat isu-isu dan muslihat jahat. Untuk menghadapi kesulitan ini, Rasulullah memercayakan suatu yang sangat rahasia kepada Hudzaifah Ibnul Yaman—dengan memberikan daftar nama orang munafik itu kepadanya. Itulah suatu rahasia yang tidak pernah bocor kepada siapa pun hingga sekarang.

Dengan memercayakan hal yang sangat rahasia itu, Rasulullah menugaskan Hudzaifah memonitor setiap gerak-gerik dan kegiatan mereka, untuk mencegah bahaya yang mungkin dilontarkan mereka terhadap Islam dan kaum Muslimin. Karena inilah, Hudzaifah Ibnul Yaman digelari oleh para sahabat dengan "Shahibu Sirri Rasulullah (Pemegang Rahasia Rasulullah).

Pada puncak Perang Khandaq, Rasulullah memerintahkan Hudzaifah melaksanakan suatu tugas yang amat berbahaya. Beliau mengutus Hudzaifah ke jantung pertahanan musuh, dalam kegelapan malam yang hitam pekat.

"Ada beberapa peristiwa yang dialami musuh. Pergilah engkau ke sana dengan sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan data-data yang pasti. Dan laporkan kepadaku segera!" perintah beliau.

Hudzaifah pun bangun dan berangkat dengan takutan dan menahan dingin yang sangat menusuk. Maka, Rasulullah berdoa, "Ya Allah, lindungilah dia, dari depan, dari belakang, kanan, kiri, atas, dan dari bawah."

"Demi Allah, sesudah Rasulullah selesai berdoa, ketakutan yang menghantui dalam dadaku dan kedinginan yang menusuk-nusuk tubuhku hilang seketika, sehingga aku merasa segar dan perkasa," tutur Hudzaifah.

Tatkala ia memalingkan diri dari Rasulullah, beliau memanggilnya dan berkata, "Hai Hudzaifah, sekali-kali jangan melakukan tindakan yang mencurigakan mereka sampai tugasmu selesai, dan kembali kepadaku!"

"Saya siap, ya Rasulullah," jawab Hudzaifah.

Hudzaifah pun pergi dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali, dalam kegelapan malam yang hitam kelam. Ia berhasil menyusup ke jantung pertahanan musuh dengan berlagak seolah-olah anggota pasukan mereka. Belum lama berada di tengah-tengah mereka, tiba-tiba terdengar Abu Sufyan memberi komando.

"Hai, pasukan Quraisy, dengarkan aku berbicara kepada kamu sekalian. Aku sangat khawatir, hendaknya pembicaraanku ini jangan sampai terdengar oleh Muhammad. Karena itu, telitilah lebih dahulu setiap orang yang berada di samping kalian masing-masing!"

Mendengar ucapan Abu Sufyan, Hudzaifah segera memegang tangan orang yang di sampingnya seraya bertanya, "Siapa kamu?"

Jawabnya, "Aku si Fulan, anak si Fulan."

Sesudah dirasanya aman, Abu Sufyan melanjutkan bicaranya, "Hai, pasukan Quraisy. Demi Tuhan, sesungguhnya kita tidak dapat bertahan di sini lebih lama lagi. Hewan-hewan kendaraan kita telah banyak yang mati. Bani Quraizhah berkhianat meninggalkan kita. Angin topan menyerang kita dengan ganas seperti kalian rasakan. Karena itu, berangkatlah kalian sekarang dan tinggalkan tempat ini. Sesungguhnya aku sendiri akan berangkat."

Selesai berkata demikian, Abu Sufyan kemudian mendekati untanya, melepaskan tali penambat, lalu dinaiki dan dipukulnya. Unta itu bangun dan Abu Sufyan langsung berangkat. Seandainya Rasulullah tidak melarangnya melakukan suatu tindakan di luar perintah sebelum datang melapor kepada beliau, tentu ia akan membunuh Abu Sufyan dengan pedangnya.

Hudzaifah Ibnul Yaman sangat cermat dan teguh memegang segala rahasia mengenai orang-orang munafik selama hidupnya, sampai kepada seorang khalifah sekali pun. Bahkan Khalifah Umar bin Khathtab, jika ada orang Muslim yang meninggal, dia bertanya, "Apakah Hudzaifah turut menyalatkan jenazah orang itu?" Jika mereka menjawab, "Ada," Umar turut menyalatkannya.

Suatu ketika, Khalifah Umar pernah bertanya kepada Hudzaifah dengan cerdik, "Adakah di antara pegawai-pegawaiku orang munafik?"

"Ada seorang," jawab Hudzaifah.

"Tolong tunjukkan kepadaku siapa?" kata Umar.

Hudzaifah menjawab, "Maaf Khalifah, saya dilarang Rasulullah mengatakannya."

Walau demikian, amat sedikit orang yang mengetahui bahwa Hudzaifah Ibnul Yaman sesungguhnya adalah pahlawan penakluk Nahawand, Dainawar, Hamadzan, dan Rai. Dia membebaskan kota-kota tersebut bagi kaum Muslimin dari genggaman kekuasaan Persia. Hudzaifah juga termasuk tokoh yang memprakarsai keseragaman mushaf Alquran, sesudah kitabullah itu beraneka ragam coraknya di tangan kaum Muslimin.

Ketika Hudzaifah sakit keras menjelang ajalnya tiba, beberapa orang sahabat datang mengunjunginya pada tengah malam. Hudzaifah bertanya kepada mereka,"Pukul berapa sekarang?"

Mereka menjawab, "Sudah dekat Subuh."

Hudzaifah berkata, "Aku berlindung kepada Allah dari Subuh yang menyebabkan aku masuk neraka."

Ia bertanya kembali, "Adakah kalian membawa kafan?"

Mereka menjawab, "Ada."

Hudzaifah berkata, "Tidak perlu kafan yang mahal. Jika diriku baik dalam penilaian Allah, Dia akan menggantinya untukku dengan kafan yang lebih baik. Dan jika aku tidak baik dalam pandangan Allah, Dia akan menanggalkan kafan itu dari tubuhku."

Sesudah itu dia berdoa kepada Allah, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu, aku lebih suka fakir daripada kaya, aku lebih suka sederhana daripada mewah, aku lebih suka mati daripada hidup."

Sesudah berdoa demikian, ruhnya pun pergi menghadap Ilahi. Seorang kekasih Allah kembali kepada Allah dalam kerinduan. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya.

Said Bin Zaid RA