Sunday, August 13, 2017

Seorang Pecinta Rasulullah Saw

Seseorang mendatangi Nabi SAW kemudian berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya saya mencinta engkau!" 

Mendengar pernyataan itu, Nabi SAW bersabda, "Pikirkanlah dahulu perkataanmu itu!"

"Saya memang mencintai engkau, ya Rasulullah!" Jawab orang itu menegaskan. Nabi SAW mengulangi pernyataan beliau, dan

sampai tiga kali orang tersebut tetap dengan keyakinannya kalau ia mencintai Nabi SAW. Maka beliau bersabda, "Baiklah, jika engkau benar-benar tulus dengan ucapanmu itu, bersiaplah menghadapi kefakiran yang akan menerjangmu dari segala arah. Karena kefakiran akan datang dengan cepat pada orang-orang yang benar-benar mencintaiku, sebagaimana air terjun yang mengalir."

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Ahnaf bin Qais RA
Dua Tawanan Musailamah al Kadzdzab
Jenazah Ahli Surga
Ummu Syarik RA (Ghazyah binti Jabir)
Asma binti Umais RA

Rib'i Bin Amir RA

Menjelang terjadinya Perang Qadisiah di masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, pemimpin pasukan Persia, Rustum meminta kepada pemimpin pasukan muslim, Sa'ad bin Abi Waqqash mengirim seorang utusan menemuinya untuk melakukan pembicaraan, maka Sa'ad mengirim Rib'i bin Amir RA.

Dengan mengendarai kudanya yang kerdil, berpakaian lusuh, berbaju besi dan bertopi baja, serta tetap menyandang senjatanya, Rib'i memasuki kastil Rustum yang dipisahkan dengan sebuah jembatan. Memasuki ruang pertemuan yang telah dihiasi dengan bantal-bantal bertahtakan emas dan beralaskan sutera, Rib'i tidak turun dari kudanya. Setelah berhadapan dengan Rustum, barulah Rib'i turun dari kudanya, dan menambatkannya pada salah satu bantal yang ada. Salah seorang pembesar Rustum berkata, "Letakkan senjatamu…!"

Rib’i menolak perintah itu dan berkata, "Bukan aku yang ingin datang menemuimu, tetapi kamu sendirilah yang memanggilku untuk menemuimu. Jika engkau membiarkanku seperti ini, aku akan menunggu. Jika tidak, aku akan kembali."

Rustum meminta pembesarnya untuk membiarkannya, kemudian ia menanyakan apa yang diinginkan orang-orang Islam mendatangi negerinya. Rib'ipun menjelaskan tentang Islam, dan menyerunya untuk memeluk Islam. Setelah terjadi beberapa

tanya jawab, akhirnya Rustum meminta tangguh beberapa hari untuk bermusyawarah dengan pembesar-pembesarnya. 

Rib'i berkata, "Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan sunnah agar kami menangguhkan lebih dari tiga hari. Oleh karena itu, bicarakanlah dengan mereka, dan pilihlah tiga hal dalam tiga hari ini : Masuk Islam, membayar jizyah (pajak), atau kita berperang…!"

Mendengar keputusan tegas yang dikatakan Rib’i tersebut, Rustum berkata, "Apakah engkau pemimpin pasukan mereka?"

"Bukan," Kata Rib'i, "Tetapi kami umat Islam seumpama satu tubuh manusia, yang di atas akan melindungi yang di bawah, yang di bawah mendukung yang di atas..!!" Setelah itu, Rib'ipun meninggalkan ruang pertemuan dengan Rustum tersebut.

Ternyata dalam tiga hari tersebut, Rustum selalu meminta kepada Sa'ad bin Abi Waqqash, komandan pasukan muslim untuk mengirimkan seorang utusan. Tetapi akhirnya Rustum tidak bisa "didakwahi" dengan baik-baik untuk memeluk Islam, atau mengijinkan Islam didakwahkan di tanah Persia dengan membayar Jizyah ke Madinah. Setelah tiga hari tersebut, pecahlah Perang Qadisiah, walau jumlah pasukan Rustum sebanyak 120.000 prajurit, tetapi bisa diporakporandakan oleh pasukan muslim yang hanya berjumlah 30.000 prajurit.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Khabbab bin Arats RA
Hushain bin Ubaid al Khuzai RA
Rubayyi binti Mu'awwidz RA
Shafiyyah Binti Abdul Muthalib RA
Lelaki Berkulit Hitam

Amr bin Anbasah RA

Amr bin Anbasah, atau dikenal dengan nama kunyahnya Abu Najih adalah seorang sahabat yang berasal dari Bani as Sulam, suatu kabilah yang tinggal agak jauh di luar kota Makkah. Ia dikenal sebagai orang ke empat dalam Islam (dari kalangan lelaki dewasa).

Ketika masih jahiliah, ia mempunyai pendapat bahwa semua manusia saat itu dalam kesesatan karena percaya kepada berhala, karenanya ia sama sekali tidak percaya kepada berhala. Ketika terdengar berita adanya seorang lelaki (yakni Rasulullah SAW) yang suka mencela berhala-berhala di Makkah, ia segera datang ke Makkah untuk menemui Rasulullah SAW, saat itu beliau masih berdakwah secara sembunyi-sembunyi.

Dalam pertemuan di rumah beliau, ia bertanya, "Siapakah engkau?"

"Aku seorang Nabi," kata Rasulullah SAW.

"Apakah Nabi itu?"

"Utusan Allah!!"

"Allah mengutus kamu??" Amr menegaskan pertanyaannya.

Untuk diketahui, masyarakat Arab ketika itu sebenarnya mempercayai Allah sebagai Pencipta dan Penguasa alam semesta, hanya saja mereka juga mempercayai berhala sebagai sembahan, di satu sisi sebagai penghubung (washilah) peribadatannya kepada Allah, di sisi lain mereka mempercayai berhala tersebut bisa mengabulkan permintaan mereka.

Setelah Nabi SAW mengiyakannya, Amr kembali bertanya, "Untuk apa Allah mengutus kamu?"

"Supaya kami kami meng-Esakan Allah dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu, menghancurkan patung berhala dan menyambung tali persaudaraan…" Nabi SAW menjelaskan.

"Siapakah yang bersama kamu?" Amr bertanya lagi. 

"Orang merdeka dan hamba sahaya." 

Orang merdeka yang dimaksudkan Nabi SAW adalah Abu Bakar, dan hamba sahaya yang dimaksudkan adalah Bilal bin Rabah.

Setelah beberapa pembicaraan lagi, akhirnya Amr memutuskan memeluk Islam mengikuti risalah yang dibawa Nabi SAW. Ia bermaksud uintuk tinggal bersama Nabi SAW di Makkah, tetapi beliau berkata, "Saat ini kamu belum bisa, kembalilah kamu ke keluargamu. Jika nanti kamu mendengar kabar aku telah berhasil, datanglah kepadaku…"

Seperti diketahui, Amr bin Anbasah tinggal di luar kota Makkah, jika ia tinggal bersama beliau, sedangkan ia tidak mempunyai kerabat yang bisa melindunginya di Makkah, beliau khawatir ia akan mengalami penyiksaan-penyiksaan seperti dialami oleh Bilal. Karena itu beliau menyuruhnya untuk tinggal di kampung halamannya saja.

Ia kembali ke kampung halamannya dalam keadaan Islam, dan terus menunggu-nunggu berita tentang Nabi SAW. Ketika terdengar kabar beliau telah hijrah ke Madinah, ia segera menyusul ke sana. Amr bin Anbasah menemui beliau dan berkata,

"Wahai Rasulullah, apakah engkau mengenali saya?"

"Ya, bukankah engkau yang datang kepadaku di Makkah??"

Sebagai seorang Nabi dan Rasul, tentu saja beliau memiliki ingatan yang tajam. Dan jawaban beliau itu amat menggembirakan bagi Amr bin Anbasah, ia berkata,

"Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku apa yang Allah ajarkan kepada engkau…"Maka Nabi SAW mengajarkan kepadanya tentang shalat, waktu-waktu shalat dan cara berwudlu sebagai persyaratan sebelum shalat. Dan ia tetap tinggal bersama Nabi SAW, ikut berjuang membela panji-panji keimanan hingga beliau wafat.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Muhayyishah & Huwayyishah R.Huma
Mu'az Al Qary RA
Ka'ab bin Umair Al Anshari RA
Ummu Hakim RA
Ummu Ziyad RA

Al Aqamah bin Harits RA

Al Aqamah bin Harits dan enam orang temannya, mewakili kaumnya yang telah memeluk Islam mendatangi Nabi SAW, dan menyatakan diri mereka sebagai ‘orang-orang yang beriman’. Nabi SAW menyambut gembira keislaman mereka dan kaumnya tersebut, tetapi mendengar ‘pengakuan’ keimanannya, Nabi SAW bersabda, “Apakah hakikat keimanan kalian?” 

Al Aqamah berkata, “Wahai Rasulullah, kami memiliki limabelas sifat/perkara, lima perkara yang engkau perintahkan kepada kami, lima perkara yang diperintahkan utusan engkau kepada kami, dan lima sifat yang kami miliki sejak jahiliah dan masih terus kami amalkan, kecuali jika nantinya engkau melarangnya.”

Ketika Nabi SAW bertanya lebih lanjut tentang hal tersebut, Al Aqamah menjelaskan :

Lima perkara yang diperintahkan Nabi SAW adalah : Beriman kepada Allah SWT, kepada malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, dan kepada takdir Allah, baik ataupun buruk. 

Lima perkara yang diperintahkan utusan Nabi SAW kepada mereka ketika menyeru kepada Islam adalah : Mengucap dua kalimah syahadat, mengerjakan shalat lima waktu, membayar zakat, puasa di Bulan Ramadhan dan berhajji ke Baitullah jika mampu. 

Lima sifat yang menjadi akhlak mereka sejak jahiliah tetapi tetap diamalkan adalah : Bersyukur ketika mendapat kesenangan, bersabar ketika ditimpa musibah, keras dan berani di medan perang, ridha atas takdir yang ditetapkan Allah, dan tidak gembira atas musibah yang menimpa musuh.

Dengan gembira Nabi SAW membenarkan dan memuji mereka ini, beliau bersabda, “Kalian adalah orang-orang yang faqih dan beradab, hampir saja kalian seperti nabi-nabi karena sifat-sifat kalian yang begitu indahnya. Dan aku tambahkan lima wasiyat, agar Allah SWT menyempurnakan bagi kalian sifat-sifat kebaikan kalian, yaitu :

1. Janganlah kalian mengumpulkan makanan, yang tidak akan kalian makan. 
2. Janganlah membangun rumah yang tidak kalian tinggali.
3. Janganlah kalian berlomba-lomba mengumpulkan sesuatu yang pasti akan kalian tinggalkan di kemudian hari. 
4. Takutlah kepada Allah, yang pada suatu hari nanti kalian akan dikumpulkan di hadapanNya.
5. Hendaklah kalian mencintai alam akhirat, yang pasti akan kalian tempati dan kalian kekal di dalamnya."

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Khubaib bin Adi RA
Ghitrif & Ghatafan bin Sahl, Urwah bin Abdullah R.Hum
Sa’adz bin Mu’adz RA
Ibnu Nathur, Uskup Kota Iliya, Romawi
Said bin Amir RA

Asy-Syifa binti Abdullah RA

Nama lengkapnya Asy-Syifa binti Abdullah bin Abdu Syams bin Khalaf bin Saddad bin Abdullah bin Qarth bin Razzah bin Adi bin Ka’ab dari suku Quraisy Al-Adawiyah.

Ia adalah seorang sahabat wanita Nabi yang mulia, cerdas, memiliki banyak kelebihan, dan merupakan salah satu tokoh wanita Islam yang menonjol. Di dalam dirinya terhimpun pengetahuan keimanan dan keimanan. 

Asy-Syifa merupakan sedikit di antara wanita Makkah yang pandai membaca dan menulis sebelum Islam. Setelah masuk Islam, dialah yang mengajari para wanita Muslimah dengan tujuan agar mendapat balasan dan pahala dari Allah. 

Sejak itulah ia menjadi guru di zaman Rasulullah. Di antara muridnya adalah Hafshah binti Umar bin Khathab, istri Rasulullah SAW. 

Suatu ketika Asy-Syifa berkunjung ke rumah Nabi SAW. "Ajarkanlah pada Hafsah tentang sakit anesthesia (mati rasa), sebagaimana kau mengajarinya menulis!" kata Rasulullah.

Bahkan Nabi SAW mengakuinya sebagai tempat bagi dokter ahli mata (ophthalmologist), dan keahlian itu diturunkan pada anaknya. 

Asy-Syifa binti Abdullah masuk Islam sebelum hijrah, dan termasuk wanita muhajirin angkatan pertama yang berbaiat kepada Nabi SAW. 

Dia juga termasuk wanita yang disebut di dalam firman Allah, "Wahai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk berbaiat bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka, dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang makruf, maka terimalah baiat mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang." (QS: Al-Mumtahanah:12).

Asy-Syifa adalah wanita beruntung karena mendapat perhatian dari Rasulullah. Beliau memberinya sebuah rumah khusus di Madinah yang berdekatan dengan para penderita penyakit gatal. Dia menempati rumah tersebut bersama anaknya, Sulaiman. 

Ia juga banyak belajar hadits dari Rasulullah SAW untuk memahami masalah-masalah agama dan keduniaan. Dengan berbekal pengetahuan inilah, ia mendakwahkan islam dan memberi nasihat kepada masyarakat.

Umar bin Khathab sangat memuji kecerdasan dan ide-ide Asy-Syifa, dan kerap menerima pendapatnya. Umar bahkan memberinya tugas untuk mengurusi masalah pasar.

Selain itu, Asy-Syifa binti Abdullah juga termasuk salah seorang perawi hadits. Dia meriwayatkan beberapa hadits dari Nabi SAW, juga dari Umar bin Khathab. Beberapa orang ikut meriwayatkan hadits yang berasal darinya, seperti anaknya Sulaiman bin Abu Khaitsumah, kedua cucunya (Abu Bakar dan Utsman), Abu Ishaq, dan Hafshah Ummul Mukminin. Sementara Abu Daud juga meriwayatkan hadits yang berasal dari periwayatannya. 

Sepeninggal Rasulullah, Asy-Syifa tetap memerhatikan keadaan kaum Muslimin dan memuliakan mereka sampai ia wafat pada tahun ke-20 Hijriyah.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Wahab bin Qabus RA
Abu Thalhah Al Anshari RA
Ummu Umarah RA
Wahsyi Bin Harb Al Habsyi RA
Urwah bin Zubair RA

Abdullah bin Mughaffal al Muzanni RA

Abdullah bin Mughaffal bersama Abu Laila mendatangi Nabi SAW yang sedang memobilisasi pasukan ke Tabuk, mereka berdua meminta kendaraan dan perbekalan untuk bisa ikut berjihad pada pertempuran tersebut, tetapi pada Nabi SAW sudah tidak memiliki apa-apa lagi yang bisa diberikan. Mereka berdua sangat sedih tidak bisa ikut serta berjihad, pulang dengan menangis. 

Di perjalanan pulang, mereka bertemu dengan Ibnu Yamin an Nashri, seseorang yang beragama Nashrani, ia menanyakan mengapa mereka menangis. Setelah Ibnu Mughaffal menjelaskan permasalahannya, Ibnu Yamin memberikan unta dan kurma kering pada keduanya untuk bisa mengikuti pasukan jihad. Dengan berboncengan mereka menyusul Nabi SAW ke Tabuk.

Pada hari Penaklukan Makkah (Fathul Makkah), Abdullah bin Mughaffal berkendara tidak jauh dari Nabi SAW. Ia melihat dan mendengar Nabi SAW terus-menerus membaca surah al Fath sampai berulang-ulang, sehingga ia-pun menjadi hafal bacaan surat Al Fath tersebut, ia juga menegtahui berapa kali beliau mengucapkannya. Ia mendengar Nabi SAW bersabda, bahwa bermain ketepel tidak ada gunanya, tidak bisa untuk berburu dan tidak dapat mengalahkan musuh, bahkan sebaliknya bisa menyakiti mata dan melukai gigi. Suatu ketika ia melihat keponakannya yang masih kecil bermain katepel, maka ia menasehatinya untuk tidak memainkannya sebagaimana sabda Nabi SAW yang didengarnya. Tetapi keponakannya tersebut tetap melakukannya, maka ia bersumpah tidak mau berbicara dengannya dan tidak akan menghadiri jenazahnya jika ia mati lebih dahulu. Ibnu Mughaffal tidak rela kalau larangan Nabi SAW tersebut dilanggar, terutama oleh anggota keluarganya.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Sa’ad bin Ubadah RA
Abdullah bin Amr bin Haram al Anshary RA
Kultsum Bin Hikam RA
Tsa'labah Bin Abdurrahman RA
Habib Bin Zaid RA

Amr bin Uqaisy RA

Awalnya, beliau radhiyallahu ‘anhu termasuk orang yang sangat membenci Islam, sehingga meskipun semua kaumnya dari Bani Ashal sudah memeluk Islam, beliau radhiyallahu ‘anhu tetap dalam pendiriannya, tidak mau memeluk Islam. Ketika perang Uhud berkobar, dia mencari beberapa teman yang dikenalnya di tempat tinggal mereka, namun tidak dia tidak berhasil, karena para shahabat yang dicari semuanya ikut perang Uhud. Beliau radhiyallahu ‘anhu bergegas kembali ke rumah, mengenakan baju besinya lalu memacu kudanya ke arah bukit Uhud. Saat kaum Muslimin melihat kedatangannya, mereka serta merta menghalaunya, “Wahai Amr, menjauhlah dari kami!” Amr menjawab, “Aku telah beriman.” Beliau radhiyallahu ‘anhu terus maju ke medan tempur. Dalam pertempuran tersebut (ia) mengalami luka-luka. Ketika peperangan usai, para shahabat Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam mengantarkannya ke rumah keluarganya dalam keadaan tubuh penuh luka. Sa’d bin Mu’adz mendatanginya dan mengatakan kepada saudarinya,

سَلِيهِ حَمِيَّةً لِقَوْمِكَ أَوْ غَضَبًا لَهُمْ أَمْ غَضَبًا لِلَّهِ فَقَالَ بَلْ غَضَبًا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ

Tolong tanyakan kepadanya, (apakah dia melakukan ini) demi membela kaumnya, marah karena mereka ataukah marah karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala? Amr menjawab, “Marah karena Allâh dan Rasul-Nya.”

Akhirnya karena luka yang teramat parah, beliau radhiyallahu ‘anhu meninggal dan masuk surga, padahal beliau radhiyallahu ‘anhu belum pernah menunaikan shalat meskipun sekali.

(H.R. Ibnu Ishaaq dengan sanad hasan, Ibnu Hisyaam (3/131). Lihat al Ishaabah, 2/519 dan diriwayatkan oleh Abu Dâwud, no. 2537; Juga diriwayatkan oleh al Hâkim dan beliau rahimahullah menyatakan hadits ini shahih dan penilaian beliau ini dibenarkan oleh adz-Dzahabi. Syaikh al-Albâni juga menilai hadits ini hasan, dalam Shahih Sunan Abi Dâud)

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Abu Sufyan bin Harits Ra
Thariq al-Shalidalani dan Syihab Ra
Ghassan Bin Malik Al Amiri Ra
Amir bin Akwa RA
Qabishah Bin Mukhariq RA

Abu Ayyub al-Anshari RA

Siapakah Abu Ayyub al-Anshari?

Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu ‘anhu adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Anshar. Namanya adalah Khalid bin Zaid bin Kulaib bin Malik bin an-Najjar. Ia dikenal dengan nama dan kun-yahnya. Ibunya adalah Hindun binti Said bin Amr dari Bani al-Harits bin al-Khazraj. Ia adalah generasi awal memeluk Islam dari kalangan sahabat.

Abu Ayyub meriwayatkan hadits langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ubay bin Ka’ab al-Anshari radhiallahu ‘anhu. Sementara sahabat-sahabat yang meriwayatkan hadits darinya adalah al-Barra bin Azib, Zaid bin Khalid, al-Miqdam bin Ma’di Karib, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Samrah, Anas bin Malik, dll. Dan banyak tabi’in meriwayatkan hadits darinya.

Di antara yang menunjukkan Abu Ayyub adalah orang yang pertama-tama memeluk Islam adalah ia turut serta dalam Baiat Aqabah. Dengan demikian, ia memeluk Islam sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Ia juga turut serta dalam Perang Badar dan perang-perang setelahnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau tinggal di rumahnya hingga membangun rumah sendiri dan menyelesaikan pembangunan masjid.

Pengaruh Didikan Rasulullah Pada Abu Ayyub

Abdullah bin Abbas menceritakan suatu hari Abu Bakar keluar di siang hari. Saat matahari sedang panas-panasnya. Umar melihat Abu Bakar, kemudian ia bertanya, “Apa yang menyebabkanmu keluar di jam-jam seperti ini Abu Bakar?” “Tidak ada alasan lain yang membuatku keluar (rumah), kecuali aku merasa sangat lapar”, jawab Abu Bakar. Umar menanggapi, “Aku pun demikian -demi Allah- tidak ada alasan lain yang membuatku keluar kecuali itu.”

Saat keduanya dalam keadaan demikian Rasulullah keluar dan menghampiri keduanya. Beliau bersabda, “Apa yang menyebabkan kalian keluar pada waktu seperti ini?” Keduanya mengatakan, “Tidak ada yang menyebabkan kami keluar kecuali apa yang kami rasakan di perut kami. Kami merasa sangat lapar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Aku juga -demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya- tidak ada hal lain yang membuatku keluar kecuali itu. Ayo berangkat bersamaku.”

Ketiganya pun beranjak. Mereka menuju rumah Abu Ayyub al-Anshari

Setiap hari, Abu Ayyub senantiasa menyediakan makanan untuk Rasulullah. Jika istri-istri beliau tidak punya sesuatu untuk dimakan, beliau biasa ke rumah Abu Ayyub. Ketika ketiganya sampai di rumah Abu Ayyub, istri Abu Ayyub, Ummu Ayyub, mengatakan, “Selamat datang Nabi Allah dan orang-orang yang bersama Anda”. Rasulullah bertanya, “Dimana Abu Ayyub?” Abu Ayyub yang sedang bekerja di kebun kurma mendengar suara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia bersegera menuju rumahnya dan mengatakan, “Marhaban untuk Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya.

Abu Ayyub berkata, “Wahai Rasulullah, waktu ini bukanlah waktu kebiasaan Anda datang ke sini.” “Benar,” jawab Rasulullah.

Abu Ayyub segera memetikkan beberapa tangkai kurma kering, kurma basah, dan kurma muda. Kemudian menawarkannya kepada Rasulullah, “Rasulullah, makanlah ini. Aku juga akan menyembelihkan hewan untukmu,” kata Abu Ayyub. “Kalau engkau mau menyembelih, jangan sembelih yang memiliki susu,” kata Rasulullah.

Abu Ayyub kemudian menghidangkan masakannya. Rasulullah mengambil sepotong daging dan meletakkannya pada roti. Kemudian beliau meminta Abu Ayyub, “Wahai Abu Ayyub, tolong antarkan ini untuk Fatimah karena telah lama ia tidak makan yang seperti ini.”

Setelah kenyang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Roti, daging, kurma kering, kurma basah, dan kurma muda.” Beliau menitikkan air mata. Kemudian bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya. Ini adalah kenikmatan, yang nanti akan ditanyakan di hari kiamat.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikenal sebagai orang yang senantiasa membalas kebaikan orang lain. Usai menyantap jamuan itu, Rasulullah berkata kepada Abu Ayyub, “Temuilah aku besok.” Keesokan harinya, beliau memberikan seorang anak perempuan untuk membantu-bantu di rumah Abu Ayyub. “Berbuat baiklah engkau padanya,” pesan Rasulullah kepada Abu Ayyub.

Abu Ayyub kembali ke rumahnya. Menemui istrinya dengan membawa budak perempuan itu. “Anak perempuan ini diberikan Rasulullah untuk kita. Beliau mewasiatkan agar kita berbuat baik dan memuliakannya.” Istrinya bertanya, “Kebaikan apa yang akan kau lakukan untuk menunaikan wasiat Rasulullah itu?” “Yang paling utama adalah membebaskannya dengan mengharapkan pahala dari Allah”, kata Abu Ayyub.

Demikian kehidupan sehari-hari Abu Ayyub. Lalu bagaimana keadaannya dalam kondisi perang?

Seorang Mujahid

Abu Ayyub al-Anshari adalah seorang mujahid di jalan Allah. Dikatakan, tidak ada satu perang pun di zaman Rasulullah yang tidak ia ikuti. Setelah Rasulullah wafat, ia tetaplah seorang mujahid. Perang terakhir yang ia ikuti adalah di zaman Kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan. Yaitu saat Muawiyah menyiapkan pasukan di bawah pimpinan anaknya, Yazid, untuk menyerang Konstantinopel. Saat itu umur Abu Ayyub mencapai 80 tahun. Perang tersebut menjadi perang terakhirnya. Dan ia dimakamkan di sana.

Meriwayatkan Hadits

Di antara hadits-hadits yang diriwayatkan Abu Ayyub al-Anshari dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:

Diriwayatkan oleh az-Zuhri, dari Atha bin Yazid al-Laitsi, dari Abu Ayyub al-Anshari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلاَ يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَلاَ يُوَلِّهَا ظَهْرَهُ ، شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا

“Jika kalian hendak buang hajat, maka janganlah menghadap kiblat, jangan pula membelakanginya akan tetapi hadaplah timur dan barat.”

Dari al-Barra bin Azib, dari Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu ‘anhuma, ia berkata,

خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم بعدما غربت الشمس. فسمع صوتا. فقال “يهود تعذب في قبورها”.

“(Satu saat), Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar setelah tenggelam matahari; beliau mendengar suara,lalu bersabda, “(Mereka itu adalah orang-orang) Yahudi yang disiksa di dalam kubur mereka”

Dari Ibnu Syihab, dari Atha bin Yazid al-Laitsi, dari Abu Ayyub al-Anshari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ ، يَلْتَقِيَانِ فَيَصُدُّ هَذَا ، وَيَصُدُّ هَذَا ، وَخَيْرُهُمَا الَّذِى يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ

”Tidak halal bagi seorang muslim memboikot saudaranya lebih dari tiga hari. Jika bertemu, keduanya saling cuek. Yang terbaik di antara keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam.”

Wafat

Abu Ayyub mengisi hidupnya dengan jihad di jalan Allah. Perang terakhir yang ia ikuti adalah saat Muawiyah menyiapkan pasukan di bawah kepemimpinan anaknya, Yazid, untuk menaklukkan Konstantinopel. Saat itu, Abu Ayyub telah menginjak usia 80-an tahun. Tapi tidak membuat ia gengsi untuk berada di bawah kepemimpinan anak muda yang bernama Yazid. Di usia yang senja itu, beliau tetap bersemangat mengarungi lautan menggapai pahala jihad.

Baru saja menginjakkan kaki di sedikit wilayah musuh, ia jatuh sakit. Sehingga tak dapat turut serta lagi dalam peperangan. Yazid menjenguknya dan bertanya, ”Apakah Anda memiliki keinginan?”

”Sampaikan salamku kepada pasukan kaum muslimin. Katakan pada mereka tempuhlah wilayah musuh sejauh mungkin dan bawa jasadku bersama kalian. Agar kalian menguburkannya di bawah kaki kalian di sisi benteng konstantinopel.” Kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Dari Said bin Abdul Aziz, dari al-Walid, ia berkata, ”Muawiyah menyiapkan anaknya memimpin pasukan perang 55 H. Sebuah pasukan untuk berperang di laut dan darat. Hingga mereka menembus Teluk. Dan berperang dengan pasukan Konstantinopel di pintu bentengnya dan menguasainya.

Dari al-Ashma’i, dari ayahnya, bahwa Abu Ayyub dimakamkan di dinding benteng Konstantinopel. Di pagi harinya, orang-orang Romawi berkata, “Wahai orang-orang Arab, (kami melihat) terjadi sesuatu pada kalian semalam.” Mereka menjawab, “Telah wafat salah seorang sahabat senior dari Nabi kami.”

al-Waqidi mengatakan, “Abu Ayyub wafat pada tahun 52 H. Yazid mengimami shalat jenazahnya. Ia dimakamkan di sisi benteng Konstantinopel. Sungguh sampai kabar kepadaku bahwa orang-orang Romawi mencari makamnya. Kemudian meminta hujan dengan perantaranya.”

Khalifah mengatakan, “Abu Ayyub wafat pada tahun 50 H.” Sedangkan Yahya bin Bakri berpedapat Abu Ayyub wafat tahun 52 H. Artinya, sejarawan berbeda pendapat tentang tahun wafatnya Abu Ayyub.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Said Bin Zaid Ra
Sawad bin Ghaziyyah RA
Asma' binti Abu Bakar Ash-Shiddiq RA
Abdullah Bin Zubair Ra
Seorang yang Menginginkan Berjihad

Abdul Rahman al Harits at Taimimi RA

Abdul Rahman al Harits at Taimimi pernah berada dalam suatu pasukan (sariyah) yang dikirim Nabi SAW menuju suatu perkampungan Arab. Ketika telah dekat dengan tempat tujuan, Abdul Rahman memacu tunggangannya mendahului teman-temannya. Kedatangannya disambut dengan jeritan dan teriak ketakutan dari penduduk perkampungan itu. Abdul Rahmanpun berkata, "Masuklah Islam, ucapkanlah Laa ilaaha illallaah Muhammadar rasuulullah, maka kalian akan selamat…" 

Merekapun memenuhi anjurannya dan mengucapkan kalimah syahadat. Ketika teman-temannya datang dan mendapati penduduk perkampungan tersebut telah memeluk Islam, mereka marah kepada Abdul Rahman dan memakinya, "Kamu menyebabkan kami tidak memperoleh ghanimah, padahal harta itu hampir telah menjadi milik kami." 

Abdurrahman diam saja tanpa menanggapi kemarahan teman-temannya.

Ketika pasukan kembali ke Madinah dan mereka menceritakan kepada Rasulullah SAW apa yang terjadi, beliau justru memuji sikap yang diambil Abdul Rahman. Beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah telah menuliskan untukmu satu kebajikan, untuk setiap satu orang yang memeluk Islam dari kalangan mereka." 

Itu karena Abdul Rahman telah menjadi penyebab keislaman mereka. Tentu saja hal itu sangat menggembirakan bagi Abdul Rahman. Kemudian Nabi SAW bersabda lagi, "Aku akan menulis satu surat untukmu, sebagai wasiatku untuk orang-orang yang memimpin umat Islam sepeninggalku." 

Setelah surat itu selesai ditulis oleh juru tulis Nabi SAW, beliau memberikan kepada Abdul Rahman. Beliau juga mewasiatkan kepadanya agar ia membaca doa "Allahumma ajjirnaa minan naar," tujuh kali setelah shalat subuh dan shalat maghrib, sebelum ia berbicara dengan siapapun. Maka, jika ia meninggal pada hari itu atau malam itu, Allah akan menyelamatkannya dari api neraka.

Setelah Rasulullah wafat, Abdul Rahman membawa surat itu kepada Abu Bakar RA sebagai khalifah. Setelah membacanya, Abu Bakar memberikan sedikit harta dari zakat untuk menunjang kehidupannya, dan mengembalikan surat itu kepada Abdul Rahman. Hal inipun berulang ketika Umar bin Khaththab RA dan Utsman bin Affan RA menjadi khalifah.

Setelah Abdul Rahman wafat pada zaman khalifah Utsman, surat itu disimpan oleh putranya, Muslim bin al Harits at Taimimi. Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, ia menulis surat pada amil di tempat tinggalnya agar memberikan bagian zakat kepada Muslim at Taimimi, putra Abdul Rahman tersebut, sebagaimana Nabi SAW telah mewasiatkan agar memberikan kepada ayahnya.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Abdullah bin Mas'ud RA
Hudzaifah Ibnul Yaman RA
Muawiyah bin Abu Sufyan RA
Ubadah bin Shamit RA
Muawiyah bin Abu Sufyan RA

Abu Umamah, Shudday bin Ajlan RA

Abu Umamah, atau nama aslinya Shudday bin Ajlan datang sendirian menghadap Nabi SAW di Madinah untuk memeluk Islam. Setelah beberapa hari tinggal untuk mempelajari seluk-beluk keislaman, ia diperintah Rasulullah SAW untuk mendakwahi kaumnya, maka ia segera kembali ke perkampungannya. 

Tiba di antara kaumnya, ia sempat akan dijamu sebagaimana kebiasaan kalau mereka baru tiba dari bepergian, tetapi ia menolak karena makanan mereka terus disembelih tanpa menyebut nama Allah. Kemudian Abu Umamah menceritakan tentang keislamannya, dan menyeru mereka untuk memeluk Islam juga. Mereka menolak seruannya dengan keras, bahkan memintanya untuk kembali kepada agama jahiliahnya, tentu saja Abu Umamah bertahan dengan keislamannya.

Ketika ia merasa sangat haus, ia meminta kaumnya untuk memberinya air, tetapi mereka menolaknya kecuali jika ia mau kembali kepada agama jahiliahnya. Mereka juga mengancam akan membiarkannya hingga mati kehausan. Dalam keadaan lelah, lapar dan kehausan, Abu Umamah tertidur di padang pasir di bawah teriknya matahari, ia hanya menutupi kepalanya dengan sorban.

Dalam tidurnya, Abu Umamah didatangi seorang lelaki yang membawa gelas kaca, yang ia tidak pernah melihat ada manusia manapun yang pernah membawa gelas seindah itu. Di dalam gelas tersebut terdapat minuman, yang ia tidak pernah mendengar ada manusia manapun pernah menceritakan tentang kelezatan minuman seperti itu. Lelaki itu menyerahkan minuman itu kepadanya. Setelah minum dalam mimpinya tersebut sampai habis, tiba-tiba Abu Umamah terjaga dan rasa hausnya telah hilang. Dan setelah itu ia tidak pernah merasakan kehausan lagi walau tidak minum apapun.

Setelah terbangun tersebut, ada beberapa orang dari kaumnya yang merasa kasihan dan membawakan susu, tetapi Abu Umamah menolaknya dan berkata, "Aku tidak membutuhkannya!"

Tentu saja mereka heran, karena beberapa saat sebelumnya mereka tahu pasti bahwa Abu Umamah sangat membutuhkan minuman, bahkan hampir mati kehausan. Tetapi mereka juga melihat kenyataan bahwa keadaan Abu Umamah segar bugar, tidak seperti orang yang sedang kehausan. Melihat keheranan kaumnya tersebut, Abu Umamah menceritakan mimpinya, dan segera saja mereka semua memeluk Islam.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Seorang Penanya Hisab Amal
Usaid bin Hudhair RA
Hanzhalah Bin Rabi RA
Ummu Abu Hurairah RA
Zubair bin Awwam RA

Seorang Peminta Burdah Rasulullah SAW

Suatu ketika seorang wanita datang kepada Nabi SAW dengan membawa sebuah burdah yang ditenun dan berpita. Burdah adalah sebuah baju lapang yang menyelubungi seluruh tubuh. Wanita tersebut berkata, "Wahai Rasulullah, kain ini tenunanku sendiri, saya bawa untuk tuan, semoga tuan bersedia memakainya.." 

Nabi SAW menerima pemberian tersebut dengan gembira, apalagi saat itu beliau memang sedang sangat membutuhkannya. Ketika beliau datang di antara para sahabat dengan pakaian tersebut, salah seorang di antara mereka berkata dengan kagumnya, "Alangkah bagusnya pakaian itu, sudikah tuan memberikannya kepadaku…"

Orang-orangpun mencela sikap orang tersebut dengan berkata, "Permintaanmu itu tidak pantas, beliau sangat memerlukannya tetapi kamu memintanya. Padahal kamu tahu bahwa beliau tidak pernah menolak permintaan orang."

Orang yang meminta burdah itu berkata, "Demi Allah, pakaian itu saya minta bukan untuk saya pakai sekarang, tetapi untuk kafan saya nanti…"

Nabi SAW hanya tersenyum mendengar pembicaraan di antara para sahabatnya, dan menjanjikan akan memberikannya pada saatnya nanti. Dan memang, ketika orang tersebut meninggal, ia dikafani dengan burdah yang dipakai Nabi SAW tersebut. Sungguh itu suatu kemuliaan dan kebanggaan baginya.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Abdullah bin Mas'ud RA
Ja’far bin Abu Thalib RA
Perjalanan Hidup Utbah bin Rabi’ah Hingga Ajalnya
Qa'is Bin Sa'd Bin Ubadah RA
Thalhah bin Ubaidillah RA

Umair bin Hammam al Anshari RA

Umair bin Hammam adalah seorang sahabat Anshar dan seorang Ahli Badar, dan termasuk dalam sedikit sahabat yang memperoleh syahid dalam pertempuran tersebut. Ketika memacu semangat pasukan muslim, Umair mendengar Nabi SAW bersabda, “Demi diri Muhammad di tangan-Nya, tidaklah seseorang di antara mereka yang berperang pada hari ini dengan sabar, mengharap keridhaan Allah, maju terus pantang mundur, melainkan Allah akan memasukkannya ke surga…!!” 

Umair begitu terkesan dengan seruan Nabi SAW tersebut. Kemudian Nabi SAW bersabda lagi, 
“Bangkitlah menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi..!!”

"Surga luasnya seluas langit dan bumi??" Kata Umair seolah tak percaya.

Ketika Nabi SAW mengiyakan, Umair berkata, “Bakhin! Bakhin!!”

Mendengar ucapannya itu, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Umair, apa yang membuatmu berkata : Bakhin, bakhin?”

“Tidak lain, ya Rasulullah, kecuali aku ingin menjadi salah satu penghuninya."

"Engkau adalah salah satu dari penguni surga!!" Nabi SAW menandaskan.

Mendengar sabda Nabi SAW mata Umair jadi berbinar-binar penuh kegembiraan. Ia yang telah mengambil kurma dari wadahnya untuk dimakan, tiba-tiba mengembalikannya, dan berkata, "Untuk hidup hingga menghabiskan kurma-kurma ini rasanya terlalu lama."

Diletakkannya kurma itu dan Umair segera terjun ke medan pertempuran. Ia berperang dengan perkasa memporak-porandakan kaum kafir Quraisy hingga menemui syahidnya.

Sebagian riwayat lain menyebutkan, peristiwa tersebut menjadi asbabun nuzul dari Surah Al Baqarah 154. Sebagian riwayat menyebutkan, sahabat yang gugur tersebut adalah Tamim bin Hammam, bukan Umair bin Hammam.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Khadijah binti Khuwailid RA, Ummul Mukminin
Abdullah Bin Umar RA
Saad bin Abi Waqqash RA
Seorang Raja Di Surga
Khalid Bin Walid RA

Auf bin Abu Hayyah al Ahmasi RA

Auf bin Abu Hayyah al Ahmasi, atau nama kunyahnya Abu Syubail, mengikuti suatu pasukan yang dipimpin oleh Nu'man bin Muqarrin, pasukan yang dikirim oleh Khalifah Umar untuk mendukung/memperkuat pasukan muslim pimpinan Mughirah bin Syu’bah, yang sedang berperang melawan tentara Persia di Ashbahan. 

Dalam pertempuran tersebut, Auf berpuasa sebagaimana kalau ia berpuasa pada saat di rumah, yakni ia menjaga amalan istiqomah puasanya walau sedang bertempur. Ketika pertempuran usai dan kemenangan diperoleh pasukan muslim, ia ditemukan dalam keadaan luka parah dan hampir sekarat. Seseorang membawakan air untuk diminum, tetapi ia menolak dan mempertahankan puasanya hingga waktu berbuka. Tetapi sebelum waktu berbuka tiba, ia telah meninggal.

Ketika utusan Nu'man menghadap Umar untuk melaporkan pertempuran tersebut, ia menyebutkan nama-nama yang telah gugur dalam syahid dan juga adanya orang-orang yang tidak dikenalinya. Umarpun menyahut, "Tetapi Allah mengenali mereka!"

Mereka juga menyebut tentang "seorang lelaki yang telah menjual dirinya", yang dimaksud adalah Auf bin Abu Hayyah, yang juga gugur karena menolak minuman yang ditawarkan karena mempertahankan puasanya, padahal saat itu ia dalam keadaan luka parah dan hampir sekarat.

Mudrik bin Auf al Ahmasi, keponakan dari Auf bin Abu Hayyah, yang ketika itu berada di samping Umar berkata, "Wahai amirul mukminin, Demi Allah orang banyak telah mendakwa pamanku (yakni Abu Syubayl) mencampakkan dirinya dalam kebinasaan!!"

Khalifah Umar dengan tegas berkata, "Mereka keliru, akan tetapi ia telah membeli akhirat dengan dunianya!"

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Said bin Amir RA
Badzan, Abanauah dan Jadd Jamira
Ibnu Nathur, Uskup Kota Iliya, Romawi
Ghitrif & Ghatafan bin Sahl, Urwah bin Abdullah R.Hum
Ali bin Abi Thalib RA

Hilal bin Umayyah al Waqifi RA

Suatu ketika Hilal bin Umayyah datang kepada Nabi SAW sambil mengadukan bahwa istrinya telah berzina dengan Syarik bin Syahma. Dengan tegas beliau bersabda, "Apakah kamu bisa mendatangkan saksi (sebanyak empat orang)? Jika tidak kamu mendapat Had (hukuman cambuk) di punggungmu!!" 

Dengan rasa keberatan, Hilal berkata, "Wahai Rasulullah, apabila seseorang dari kami melihat seorang laki-laki di atas istrinya, haruskan mencari saksi?"

Tetapi Nabi SAW menegaskan bahwa begitulah yang diperintahkan oleh Allah, kemudian Hilal berkata, "Demi Dzat yang mengutusmu dengan benar, sesungguhnya saya benar, dan Allah akan menurunkan sesuatu yang akan membebaskan punggungku dari Had…"

Tidak berapa lama berlalu, turunlah Jibril AS sambil membawa firman Allah surah an Nur ayat 6 - 9. Nabi SAW mengirimkan utusan untuk mendatangkan Hilal dan istrinya. Beliau menjelaskan tentang ayat yang baru turun menyangkut mereka berdua. Beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah mengetahui, salah seorang di antara kamu berdusta. Apakah ada di antara kalian yang akan bertobat…"

Hilal bersaksi dan bersumpah tentang kebenarannya dirinya sebanyak empat kali, dan sumpah ke lima bahwa laknat Allah akan turun kepadanya jika memang ia berdusta. Giliran istrinya yang berdiri dan bersumpah, tetapi ketika akan bersumpah yang ke lima kalinya, ia sempat ragu dan melambat sehingga orang-orang berfikir ia akan berubah fikiran dan bertobat. Tetapi kemudian ia meneruskan sumpahnya dan berkata, "Saya tidak membuka aib kaumku pada seluruh hari…"

Dengan adanya ketentuan tersebut, yakni bersumpah sampai lima kali, Hilal terbebas dari hukuman dera karena menuduh istrinya berzina tanpa empat saksi yang melihat perbuatannya. Begitupun dengan istrinya, dengan bersumpah sebanyak lima kali, ia juga terbebas dari hukuman rajam sampai mati walau mungkin ia benar-benar telah berzina. Dan urusannya akhirnya terserah kepada Allah, apakah Allah akan menurunkan laknatnya, sesuai dengan sumpah ke lima yang diucapkan, atau Allah akan membukakan jalan taubat lain bagi dirinya.

Setelah itu wanita tersebut pergi. Nabi SAW kemudian berkata, "Perhatikanlah istri Hilal, jika ia melahirkan anak yang bercelak kedua matanya, besar pantat dan kedua betisnya, maka anak itu adalah bagi Syarik bin Sahma (artinya, istri Hilal benar-benar berzina)."

Ternyata wanita tersebut melahirkan anak seperti yang digambarkan Nabi SAW, dan beliau bersabda, "Seandainya tidak karena sesuatu yang telah lewat dalam Kitabullah Ta'ala (yakni ketentuan sumpah sampai limakali tersebut), niscaya ada urusan antara aku dan wanita tersebut (yakni, istri Hilal tersebut akan dihukum rajam)."

Setelah peristiwa tersebut, Hilal meminta ijin kepada Nabi SAW untuk menjatuhkan talak (menceraikan) kepada istrinya, dan beliau membolehkannya.

Hilal bin Umayyah adalah salah satu dari tiga sahabat yang tertinggal dari perang Tabuk, yang mengakui dosa-dosanya. Taubatnya ditunda sampai 50 hari hingga Allah sendiri yang mengampuninya dengan surah Taubah ayat 117 - 118. Dua orang lainnya adalah, Ka'ab bin Malik dan Murarah bin Rabi'.

Setelah 40 hari diasingkan dari pergaulan kaum muslimin lainnya, Nabi SAW memerintahkan agar Hilal menjauhi istrinya (tetapi bukan menceraikannya). Istrinya ini, yang dinikahinya setelah menceraikan istri sebelumnya yang dituduhnya berzina, datang kepada Nabi SAW meminta ijin beliau untuk tetap merawat Hilal karena ia sudah tua dan lemah, serta tidak memiliki pembantu. Beliau mengijinkannya tetapi dengan syarat tidak sampai "kumpul". Istrinya menjamin hal itu takkan terjadi, karena hari-hari Hilal sejak ketertinggalannya dalam perang Tabuk tersebut hanya dilalui dengan menangis dan penyesalan tiada henti.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Khabbab bin Arats RA
Shafiyyah Binti Abdul Muthalib RA
Anak Perempuan Hitam Bekas Budak
Lelaki Berkulit Hitam
Rubayyi binti Mu'awwidz RA

Ka'ab bin Malik al Anshari RA

Ka'ab bin Malik adalah salah seorang sahabat Anshar periode awal, karena ia telah berba'iat memeluk Islam di Aqabah, ketika Nabi SAW masih berada di Makkah. Ia tidak pernah tertinggal dalam berjihad bersama Rasulullah SAW, kecuali dalam perang Badar dan Tabuk. Tetapi ketertinggalannya dalam perang Tabuk merupakan musibah terbesar dalam hidupnya. 

Ketika Nabi SAW menyeru untuk berjuang ke Tabuk, keadaannya sebenarnya cukup lapang, kekuatan, kendaraan dan perbekalan yang mencukupi semuanya tersedia. Ketika pasukan muslim telah bersiap, ia meminta ijin kepada Nabi SAW untuk mempersiapkan perbekalannya, tetapi sesampainya di rumah, ia tidak segera melakukannya. Fikirnya, itu gampang dilakukannya karena semuanya telah tersedia.

Esok paginya, ketika Rasulullah SAW dan pasukannya telah berangkat, ia akan bersiap-siap, tetapi lagi-lagi ia menundanya. Ia fikir, kalau ia berangkat sore harinya ia akan bisa menyusul rombongan pasukan Nabi SAW. Tetapi sorenyapun ia tidak bisa melakukannya, begitu juga dengan sehari dan dua hari berikutnya, niatnya untuk menyusul ke Tabuk tidak pernah kesampaian.

Nabi SAW sendiri tidak pernah teringat akan Ka'ab kecuali ketika telah berkemah di Tabuk. Memang pasukan muslim saat itu sangat banyak, sekitar sepuluh ribu orang, sehingga kalau tertinggal satu dua orang mungkin tidak akan kelihatan. Tetapi tiba-tiba Nabi SAW bertanya, "Apa yang dilakukan Ka'ab saat ini?"

Seorang lelaki dari Bani Salimah mengomentarinya dengan negatif, tetapi Muadz bin Jabal memotongnya, "Sungguh buruk yang engkau katakan, Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui tentang dirinya kecuali hanya kebaikan saja."

Rasulullah SAW hanya diam mendengar komentar dua orang sahabat beliau yang saling berlawanan.
Ka'ab bin Malik sendiri akhirnya menyesali keteledorannya sehingga tertinggal. Di Madinah tidaklah tinggal kecuali para sahabat yang memang mempunyai udzur untuk tidak berperang, baik karena kekuatannya atau karena tidak memiliki kendaraan dan perbekalan. Dan juga mereka yang tertuduh sebagai orang-orang munafik.

Ketika rombongan Nabi SAW dalam perjalanan pulang ke Madinah, ia sempat berfikir untuk membuat alasan bohong agar terhindar dari kemarahan Rasulullah SAW, tetapi niat itu diurungkannya. Ketika Nabi SAW tiba di Madinah, seperti biasanya baliau langsung menuju masjid, shalat dua rakaat, kemudian duduk untuk menerima kunjungan. Orang-orang yang tidak menyertai beliau dalam peperangan, berdatangan untuk menyampaikan alasannya, ada yang memang benar-benar mempunyai udzur, tetapi ada juga yang dibuat-buat untuk menghindari kemarahan Nabi SAW. Yang terakhir ini ada sekitar 80 orang, termasuk orang-orang yang tertuduh sebagai munafik. Untuk mereka ini, Nabi SAW menerima alasannya secara lahirnya, dan secara batinnya diserahkan kepada Allah. Kemudian beliau memba'iat mereka dan memohonkan ampunan kepada Allah.

Ketika Ka'ab mendekat, Nabi SAW melihatnya dengan senyum, senyuman orang yang biasanya menunjukkan sikap tidak puas atau sedang marah. Beliau memanggilnya dan bersabda, "Apa yang menyebabkan engkau tertinggal? bukankah engkau telah membeli kendaraan untuk perang?"

Ka'abpun mengakui terus terang kelalaiannya sehingga tertinggal tanpa alasan yang benar. Ia juga mengatakan kalau sempat akan berbohong dengan alasan yang dibuat-buat, sekedar untuk menghindari kemarahan Nabi SAW, tetapi ia yakin hal itu akan mengundang kemurkaan Allah. Karenanya ia memilih berbicara jujur, walaupun dimarahi Allah dan RasulNya, tetapi ia masih bisa berharap untuk memperoleh ampunan Allah.

Setelah memperoleh penjelasan panjang lebar dari Ka'ab, Nabi SAW bersabda, "Engkau berkata benar, bangunlah! Tunggulah hingga Allah memberikan keputusanNya kepadamu!"

Ka'ab keluar dari masjid, beberapa orang dari Bani Salimah mengikutinya. Mereka mencelanya mengapa ia tidak membuat alasan saja sehingga tidak menimbulkan kemarahan Rasulullah SAW, apalagi selama ini ia belum pernah berbuat dosa. Karena celaan yang bertubi-tubi, sempat membuatnya menyesal telah berkata jujur, tetapi perasaan tersebut segera dibuangnya. Ia bertanya kepada mereka, "Adakah orang lain yang keadaannya sama denganku?"

Mereka menjelaskan kalau ada dua orang, yakni Murarah bin Rabi dan Hilal bin Umayyah. Dua orang ini adalah lelaki salih yang menyertai perang Badar, dan juga menjadi panutan bagi sahabat lainnya.

Hari-hari setelah itu adalah hari-hari yang menyesakkan dada bagi Ka'ab dan dua orang sahabat tersebut. Secara khusus Nabi SAW melarang orang-orang untuk berbicara dengan mereka bertiga, sehingga kaum muslimin selalu berusaha menjauhi ketiganya. Murarah dan Hilal hanya tinggal di rumah dan menangis karena merasa begitu hinanya, sementara Ka'ab masih berjamaah bersama Nabi SAW dan berkeliling di pasar walau tidak ada yang mengajak bicara.

Makin hari keadaannya makin menyesakkan dada bagi Ka’ab karena ketidak-perdulian orang-orang di sekitarnya. Bahkan kemenakan kesayangannya, Abu Qatadah tidak mau menjawabnya. Ketika Ka'ab bersumpah bahwa ia sangat mencintai Allah dan RasulNya, Abu Qatadah hanya berkata, "Allah dan RasulNya lebih mengetahui!!"

Ka'ab hanya bisa menangis mengenangkan keadaannya. Suatu ketika ia sedang berjalan di pasar, seseorang memberikan suatu surat yang terbungkus kain sutra. Surat itu ternyata dari Raja Ghassan, Jabalah bin al Aiham. Isi surat tersebut adalah sbb. : Amma ba'du, sesungguhnya telah sampai kabar kepadaku, bahwa sahabatmu telah menyakitimu, dan Allah tidak akan meletakkanmu di negeri yang hina, yang menyebabkan hilangnya hak-hakmu. Oleh karena itu, bergabunglah bersama kami, kami akan memberikan perlindungan kepadamu.

Ka'ab menangkap maksudnya, yakni memintanya untuk meninggalkan Islam dan memeluk agama kristen, agama yang dipeluk raja Ghassan tersebut. Tentunya dengan iming-iming kebebasan dan kemewahan. Tetapi Islam telah merasuk ke dalam darah dan sum-sumnya, sehingga tidak mungkin ia meninggalkannya walaupun saat itu ia sedang menghadapi ujian yang amat berat, ujian kesabaran dalam keimanan. Ka’ab membawa suratindah bersampul sutra tersebut ke tempat pembakaran, dan memasukkan ke dalamnya.

Cobaan itu ternyata belum selesai. Setelah empat puluh hari dalam suasana pengasingan, datang utusan Rasulullah SAW agar ia menjauhi istrinya, tetapi bukan menceraikannya. Iapun menyuruh istrinya kembali ke keluarganya untuk sementara waktu, sampai ada keputusan lebih lanjut. Begitu juga dengan Murarah dan Hilal, tetapi istri Hilal meminta dispensasi kepada Rasulullah SAW untuk tetap merawat Hilal karena ia sudah tua renta dan tidak memiliki pembantu. Nabi SAW mengijinkannya, dengan syarat jangan sampai mereka "kumpul". Kerabat Ka'ab menyarankannya untuk meminta dispensasi seperti Hilal, tetapi Ka'ab menolaknya.

Pada hari ke limapuluh, setelah shalat subuh di atas atap salah satu rumahnya, ia duduk dengan keadaan sangat tertekan dan dadanya terasa sesak, tiba-tiba terdengar teriakan dari atas gunung Sal’un, "Hai Ka'ab, berita gembira untukmu!!"

Ternyata setelah shalat subuh itu, Nabi SAW mengumumkan bahwa taubat ketiga sahabat tersebut telah diterima Allah. Seseorang langsung menunggangi kudanya menuju rumah Ka'ab untuk menyampaikan kabar gembira ini, dia adalah Zubair bin Awwam. Sedang seorang lelaki dari bani Aslam, yakni Hamzah bin Amr al Aslami, segera menaiki gunung Sal’un dan berteriak mengabarkan hal tersebut. Teriakan inilah yang lebih dahulu diterima dan diketahui oleh Ka’ab daripada kuda yang dipacu Zubair. Begitu Hamzah sampai di hadapannya, Ka'ab melepas dua lapis pakaian yang dikenakannya dan memakaikannya pada Hamzah sebagai tanda terima kasihnya. Padahal saat itu ia tidak mempunyai pakaian lain kecuali dua pakaian tersebut.

Dengan meminjam pakaian pada orang lain, Ka'ab menuju ke masjid untuk menemui Nabi SAW. Sepanjang perjalanan orang-orang menyalaminya dan mengucapkan selamat padanya, iapun menyambutnya dengan sangat gembira. Begitu memasuki masjid, Thalhah bin Ubaidillah segera bangkit dan berlari kecil menyambutnya, memberi salam dan mengucapkan selamat. Sikap Abu Thalhah yang sangat antusias ini begitu mengesankan di hati Ka'ab sehingga ia tidak akan pernah melupakannya.

Sampai di hadapan Rasulullah SAW, Ka'ab mengucapkan salam dan beliau membalasnya dengan wajah berbinar seperti bulan purnama, yang menandakan kegembiraan hati beliau. Nabi SAW bersabda, "Bergembiralah dengan sebaik-baiknya hari yang melewatimu sejak engkau dilahirkan ibumu!"

Ka'ab menanyakan tentang penerimaan taubatnya tersebut, dari Allah atau keputusan Nabi SAW sendiri. Beliau menyatakan kalau semua itu langsung dari Allah, yakni dengan turunnya Surah at Taubah ayat 117-119. Makin gembiralah hati Ka’ab, dan sebagai bentuk syukur atas diterima taubatnya, Ka'ab menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah dan RasulNya. Tetapi Nabi SAW menyarankan agar ia menyimpan sebagiannya untuk keperluannya, dan Ka'ab hanya menyisakan bagiannya dari perang Khaibar.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Umair bin Abi Waqqash RA
Salman Al Farisi RA
Ka'ab bin Umair Al Anshari RA
Abu Sa'id Al Khudri RA
Hushain bin Ubaid al Khuzai RA

Tuesday, August 8, 2017

Tsumamah bin Utsal RA

Tsumamah bin Utsal al Hanafi adalah pemuka dari Bani Hanifah dan salah seorang Raja Yamamah yang diakui kepemimpinanya oleh masyarakat jahiliah. Pada tahun 6 hijriah, Nabi SAW mengirim surat kepadanya untuk diseru kepada Islam. Tsumamah menerima suratNabi SAW dengan sombong dan menghinakan, bahkan ia sesumbar akan membunuh beliau untuk menghentikan dakwah Islamiyah. Ia selalu mencari peluang dan kesempatan untuk bisa membunuh Nabi SAW dan para sahabatnya, karena itu beliau menghalalkan darahnya (yakni, kaum muslimin diperbolehkan membunuhnya) dan beliau mengumumkan hal itu secara luas.

Suatu ketika Tsumamah berniat umrah ke Makkah, di perjalanan di dekat Madinah ia bertemu serombongan sahabat yang memang ditugaskan Nabi SAW untuk berjaga-jaga. Kedua pasukan terjadi bentrok, dan para sahabat tidak tahu kalau mereka adalah rombongan Tsumamah dari Yamamah. Pasukan Tsumamah dapat dikalahkan dan ditawan, kemudian diikat di tiang-tiang masjid untuk menunggu keputusan dari Nabi SAW.

Ketika beliau datang ke masjid, beliau mengamati para tawanan, beliau bertanya kepada para sahabat, "Tahukah kalian, siapakah para tawanan ini?"

Para sahabat menjawab kalau mereka tidak tahu. Maka Nabi SAW berkata, "Dia adalah Tsumamah bin Utsal al Hanafi, Raja Yamamah. Layanilah dia dengan baik…!"

Walaupun sebelumnya Nabi SAW telah menghalalkan darah Tsumamah, tetapi beliau tidak memerintahkan para sahabat membunuhnya, bahkan memerintahkan untuk melayani diri dan pasukannya dengan baik. Sungguh cerminan akhlak yang mulia dan sifat Rahmatan lil ‘Alamin. Sepulang dari Masjid, Nabi SAW menemui para istrinya dan memerintahkan untuk mengumpulkan makanan yang dimiliki untuk melayani Tsumamah dan tawanan lainnya. Beliau juga memerintahkan beberapa sahabat untuk memerah susu untuk minuman mereka.

Setelah para tawanan selesai menikmati suguhan yang diberikan, Rasulullah SAW mendatangi Tsumamah, dan beliau menanyakan keadaannya. Tsumamah berkata, "Keadaanku baik saja, wahai Muhammad, sekiranya engkau ingin membunuh, bunuhlah mereka yang telah melukai dan membunuh orang-orangmu. Dan sekiranya engkau ingin mengampuni, maka ampunilah orang yang tahu bersyukur. Dan sekiranya engkau ingin harta, kami akan memberikan sebanyak apa yang kau minta."

Nabi SAW hanya tersenyum mendengar jawaban itu tanpa berkata apapun, kemudian meninggalkannya. Beliau membiarkannya dalam keadaan seperti itu selama dua hari, tetapi tetap memberikan hidangan dan minuman yang mereka butuhkan.

Setelah dua hari itu, Nabi SAW menemui Tsumamah lagi dan bertanya, “Hai Tsumamah, bagaimana keadaanmu?"

"Wahai Muhammad," Kata Tsumamah, "Aku tidak mempunyai keputusan lain, selain apa yang kusampaikan padamu tempo hari."

Kemudian ia mengulang apa yang ia ucapkan sebelumnya, dan Nabi SAW meninggalkannya. Keesokan harinya, beliau mendatanginya lagi dan menanyakan keadaan dan keputusannya, tetapi Tsumamah tetap teguh dengan apa yang disampaikannya sebelumnya. Nabi SAW bersabda pada para sahabatnya, "Bebaskanlah Tsumamah dan berikanlah tunggangannya..!"

Tsumamah-pun dilepaskan, ia berjalan ke luar kotaMadinah. Di suatu tempat dekat Baqi’ dimana banyak ditanami pohon kurma dan terdapat mata air, ia beristirahat dan membersihkan diri di mata air tersebut. Ia duduk merenung. Masih jelas tergambar di fikirannya, bagaimana aktivitas Nabi SAW dan para sahabat dalam tiga hari tersebut. Ia juga menyadari bagaimana beliau tidak membunuh atau menyuruh membunuhnya walaupun sebelumnya telah menghalalkan darahnya. Bahkan walaupun tertawan, beliau masih melayani kebutuhan makan minumnya dengan baik. Terbukalah pintu hatinya, dan hidayahpun menghampirinya.

Ia kembali ke masjid, di depan para sahabat yang sedang berkumpul, ia dengan lantang mengucapkan dua kalimah syahadat untuk menyatakan keislamannya. Kemudian ia menghadap Nabi SAW dan berkata, "Ya Muhammad, Demi Allah, dahulu tidak ada wajah yang paling aku benci kecuali wajahmu, tetapi hari ini, wajahmu menjadi wajah yang paling aku cintai. Demi Allah, dahulu tidak ada agama yang paling aku benci kecuali agamamu, tetapi hari ini, agamamu menjadi agama yang paling aku cintai. Demi Allah, dulu tidak ada tempat yang paling aku benci kecuali tempatmu, tetapi hari ini, tempatmu adalah menjadi tempat yang paling aku cintai."

Nabi SAW menyambut gembira keislaman Tsumamah. Ketika ia menanyakan tentang apa yang harus dilakukannya untuk menebus dosa-dosanya karena menyebabkan banyak musibah yang menimpa sahabat-sahabat Nabi SAW, beliau bersabda, "Tidak ada cercaan bagimu, hai Tsumamah, keislamanmu telah menghapuskan dosa-dosamu yang kau lakukan dalam masa jahiliah."

Kemudian Nabi SAW memerintahkan para sahabatnya membebaskan tawanan lainnya, yang merupakan anggota pasukan dan kawan-kawan Tsumamah. Mereka semua akhirnya mengikuti jejak Tsumamah memeluk Islam. Tsumamah berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, selama ini aku banyak memberikan kesusahan kepada sahabat-sahabatmu, jauh lebih hebat daripada yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy, karena itu sejak saat ini, aku akan menyerahkan diriku, pedangku, dan orang-orang yang bersamaku untuk membantumu dan membantu agamamu."

Nabi SAW menerima ikrar (ba’iat) yang disampaikan oleh Tsumamah dan pasukannya tersebut, dan beliau mendoakan mereka dengan kebaikan.

Kemudian Tsumamah berkata lagi, "Wahai Rasulullah, aku dan pasukanku berniat untuk umrah ke Makkah ketika pasukanmu menangkapku, apakah aku harus mengurungkan niatku itu?"

Nabi SAW melarangnya untuk membatalkan niat pelaksanaan umrah tersebut, hanya saja mereka harus melakukannya dengan tata cara yang sesuai tuntunan Allah dan RasulNya, dan Nabi SAW mengajarkan tata cara umrah menurut syariat Islam.

Segera setelah itu Tsumamah dan pasukannya bertolak ke Makkah, dengan niat yang sama tetapi dengan jiwa dan semangat yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Sampai di Makkah, rombongan umrah Tsumamah melantunkan talbiah sebagaimana diajarkan Nabi SAW dengan gegap gempita, dengan pedang dan persenjataan tersandang siap digunakan. Inilah pertama kalinya talbiah bergema menggetarkan kota Makkah.

Tentu saja hal itu menarik perhatian rombongan umrah lainnya, dan kaum Quraisypun sebagai pengelola tanah suci menjadi marah. Mereka datang dengan pedang terhunus dan panah menghambur ke rombongan Tsumamah. Ketika hampir saja Tsumamah dan pasukannya yang siap siaga itu diserang dan ditangkap, tiba-tiba terdengar teriakan salah seorang Quraisy, "Celaka kalian! Tahukah kalian siapa dia? Dia adalah Tsumamah bin Utsal, Raja Yamamah. Demi Allah, jika kalian menangkap dan membunuhnya, kaumnya akan menghentikan bantuan makanan kepada kita, dan kita akan mati kelaparan."

Mendengar peringatan tersebut, mereka batal menyerang, dan menghampiri Tsumamah dengan pedang masih terhunus, kemudian bertanya, "Apa yang terjadi denganmu, wahai Tsumamah, apakah engkau murtad dari agama nenek moyangmu?"

"Tidak, aku tidak murtad, tetapi aku telah mengikuti sebaik-baiknya agama, yakni agama Muhammad," Kata Tsumamah dengan tegas, lalu melanjutkan, "Aku bersumpah Demi Tuhannya Ka'bah, setelah aku pulang ke Yamamah, tidak akan ada satu butir gandum yang sampai ke Makkah, sebelum kalian mengikuti agama Muhammad."

Kaum Quraisy tak berkutik dengan ancaman tersebut, dan mereka membiarkan rombongan Tsumamah berumrah secara Islami.

Ancaman Tsumamah ternyata bukan hanya gertak sambal, ia melakukan embargo makanan untuk kaum Quraisy, sehingga mengakibatkan penderitaan dan kesulitan makanan di Makkah, bahkan bencana kelaparan mulai menjadi-jadi. Tentu mereka amat berat untuk memeluk Islam seperti “persyaratan” yang diminta Tsumamah. Tetapi mereka menemukan pilihan lain, para pimpinan Quraisy datang ke Madinah, meminta tolong kepada Nabi SAW agar Tsumamah menghentikan embargo makanannya ke Makkah. Mereka meminta atas nama kekerabatan dan kemuliaan akhlak beliau, yang suka menolong dan menyambung silaturahmi. Nabi SAW pun menulis surat kepada Tsumamah untuk mengirimkan bantuan makanan lagi bagi penduduk Makkah.

Setelah menerima surat Nabi SAW, Tsumamahpun langsung mematuhinya. Padahal sebenarnya ia menginginkan agar mereka memeluk Islam dahulu baru ia memberikan bantuan makanan itu. Tetapi kecintaan dan ketaatannya kepada Rasulullah SAW mengalahkan keinginannya sendiri. Makkahpun selamat dari bencana kelaparan.

Ketika Musailamah al Kadzdzab mendakwahkan dirinya sebagai nabi di Yamamah, saat itu Nabi SAW masih hidup, Tsumamah menentangnya dengan keras. Musailamah yang juga pembesar Bani Hanifah itu akhirnya menjadi pemimpin dari orang-orang yang murtad sekaligus menjadi nabinya.

Ketika Nabi SAW wafat, semakin banyak orang menjadi pengikutnya dan kekuatannya makin besar, Tsumamah-pun berseru lantang kepada kaumnya, "Hai Bani Hanifah, ini adalah perbuatan orang-orang yang dzalim. Kecelakaan besar dari Allah bagi orang-orang yang mengikuti Musailamah, dan ujian bagi orang yang tidak mengikutinya. Hai Bani Hanifah, tidak akan ada dua nabi dalam masa yang sama, dan tidak ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad SAW." 

Kemudian Tsumamah bersama orang-orang yang masih teguh dengan keislamannya memerangi pasukan Musailamah, sehingga akhirnya ia syahid dalam memerangi nabi palsu yang masih kerabatnya tersebut.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Mu'adz bin Amr bin Jamuh RA dan Mu'awidz bin Afra RA
Abu Bakar ash Shiddiq RA
Umar bin Khaththab RA
Harits bin Hisyam RA
Seorang Lelaki Ahli Surga

Abdullah Bin Ummi Maktum RA

Sang sahabat yang mulia dan agung ini tidak berakhir hayatnya sebelum Allah mengabulkan hasrat
hatinya tersebut. Pada saat Perang Qadisiyah, ia turut berperang sebagai pembawa panji pasukan berwarna hitam. Dialah seorang buta pertama yang turut berperang dalam sejarah peperangan Islam.

Menjadi buta tidak lantas menjadi alasan bagi Abdullah Ibnu Ummi Maktum untuk mendapatkan kemudahan dalam melaksanakan perintah Allah.

Dia tidak pernah mengemis kasihan atas matanya yang telah buta sejak kecil. Keterbatasan yang dimilikinya hanya menambah keimanannya pada Allah dan kesetiaannya dalam Islam. Dia tetap berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah, menghafalkan Alquran dan hadis, bahkan berjihad. Tak ayal, Allah memuliakannya. Bahkan, dua surat Alquran secara istimewa turun atas peristiwa yang terjadi padanya.

Setiap menjelang waktu fajar, dia keluar rumah dan bergegas ke masjid. Tak ada yang mampu menghalanginya. Dia akan bertopang pada tongkat atau bersandar pada lengan salah seorang Muslim.

Bahkan, bila cara terakhir yang bisa dilakukannya untuk sampai ke masjid adalah dengan merangkak, Ibnu Ummi Maktum tak akan ragu melakukannya.

Pernah pula suatu kali di tengah jalan kakinya tersandung batu hingga akhirnya mengeluarkan darah. Tetapi, tekadnya bulat. Dia tetap melaksanakan shalat berjamaah pergi ke masjid tanpa memedulikan luka di kakinya.

Ibnu Ummi Maktum terkenal peka dengan waktu. Dia bisa mengetahui waktu shalat dengan tepat. Atas keistimewaan itu, dia dipercaya untuk mengumandangkan azan bila Bilal Ibnu Rabah berhalangan.

Bahkan, saat Nabi Muhammad dan rombongannya hijrah ke Madinah, Ibnu Ummi Maktum bertanggungjawab atas hal yang sama di Makkah untuk memastikan kaum Quraisy tegak telinganya mendengarkan perintah shalat.

Ketekunannya untuk shalat di masjid membuat iblis tak rela. Pada suatu Subuh ia bertemu dengan seorang pemuda yang menuntunnya ke masjid selama berhari-hari. Tetapi, ketika Ibnu Ummi Maktum hendak berterima kasih kepadanya dengan mendoakannya, si pemuda menolaknya.

“Apa untungnya bagi Anda mengetahui namaku dan aku tak mau engkau doakan,” jawab sang pemuda.

“Jika demikian, cukuplah sampai di sini saja engkau membantuku. Aku tak mau engkau menolongku lagi sebab engkau tak mau didoakan,” tutur Ibnu Ummi Maktum kepada pemuda itu.

Maka, sang pemuda inipun akhirnya mengenalkan diri. “Wahai Ibnu Ummi Maktum, ketahuilah sesungguhnya aku adalah iblis,” ujarnya.

“Lalu, mengapa engkau menolongku dan selalu mengantarkanku ke masjid? Bukankah engkau semestinya mencegahku untuk ke masjid?” tanya Ibnu Ummi Maktum lagi.

Sang pemuda itu kemudian membuka rahasia. “Wahai Ibnu Ummi Maktum, masih ingatkah engkau beberapa hari yang lalu tatkala engkau hendak ke masjid dan engkau terjatuh? Aku tidak ingin hal itu terulang lagi.”

“Sebab, karena engkau terjatuh, Allah telah mengampuni dosamu yang separuh. Aku takut kalau engkau jatuh lagi Allah akan menghapuskan dosamu yang separuhnya lagi sehingga terhapuslah dosamu seluruhnya. Maka, sia-sialah kami menggodamu selama ini,” jawabnya.

Ibnu Ummi Maktum tak hanya taat melaksanakan shalat, tetapi juga rajin menghafalkan Alquran. Dia adalah sahabat nabi yang paling banyak menghafalkan Alquran. Dia sangat rajin mendatangi majelis Rasulullah dan menyimak setiap surat yang diturunkan Allah kepada Nabi.

Tak sekali dua kali dia meminta Rasullah mengulang sebuah surah atau firman Allah yang baru saja diterimanya agar dia dapat menghafalkannya. Tetapi, sikap rewelnya ini tak pernah sekalipun membuat Rasullulah kesal. Hingga suatu ketika, Rasulullah sedang gencar-gencarnya berdakwah kepada para pemuka Quraisy. Nabi sangat berambisi untuk mengislamkan mereka.

Pada suatu hari Rasulullah mengadakan pertemuan dengan Utbah bin Rabi’ah, saudara kandung Syaibah bin Rabi’ah, yaitu Amr bin Hisyam atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Jahal dan Walid bin Mughirah atau ayah Khalid bin Walid. Di tengah pertemuan tersebut, Ibnu Ummi Maktum datang menghadap Nabi yang sedang bercengkerama dengan para pembesar Quraisy itu.

“Wahai Rasulullah, ajarkan padaku ayat yang diajarkan Allah kepadamu,” kata Ibnu Ummi Maktum.

Tetapi, kali ini Rasulullah justru memalingkan wajahnya dari sahabat yang buta itu. Allah lalu mengingatkan Rasullullah dengan turunnya surah Abasa sebanyak 16 ayat langsung.

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?”

“Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup maka kamu melayaninya. Padahal, tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan, adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera.”

“Sedang ia takut kepada (Allah) maka kamu mengabaikannya, sekali-kali jangan! Sesungguhnya ajaranajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan. Maka, barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memerhatikannya…”

Sejak saat itu, Rasulullah memuliakan Ibnu Ummi Maktum. Bahkan, Nabi memercayakan sejumlah posisi penting untuk diduduki Ibnu Ummi Maktum. Ketika Nabi pergi berperang, sekitar 10 kali beliau meminta Ibnu Ummi Maktum untuk menggantikannya menjadi pemimpin Kota Madinah. Kecintaan Ibnu Ummi Maktum akan Islam tak sampai di sana saja. Satu hal yang begitu dinginkannnya adalah bisa berjihad. Dia tidak peduli dirinya buta. Dia bahkan percaya bahwa dia bisa bermanfaat dalam medan perang. Tetapi, kesempatan untuk membuktikan hal tersebut tak juga didapatkannya.

Setelah Perang Badar, Allah memerintahkan Rasulullah untuk meningkatkan status para mujahidin dan menyindir mereka yang tidak ikut berperang. “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk atau tidak turun berperang.”

Ibnu Ummi Maktum terkenal peka dengan waktu. Dia bisa mengetahui waktu shalat dengan tepat. Atas keistimewaan itu, dia dipercaya untuk mengumandangkan azan bila Bilal Ibnu Rabah berhalangan.

Dispensasi dari Tuhan 

Ibnu Ummi Maktum merespons surat tersebut dengan berdo’a pada Allah.

Dia menyatakan keinginannya yang besar untuk berjihad, tetapi keterbatasan yang dimilikinya tak memungkinkan hal tersebut. “Ya Tuhanku, Engkau memberikan ujian begini, bagaimana saya dapat berbuat?”

Ia tak menunggu lama hingga Allah menjawab lewat turunnya surah an-Nisaa ayat 95. Dalam ayat itu dijelaskan bahwa mereka yang memiliki keterbatasan fisik diberikan dispensasi untuk tak ikut berperang.

Keteguhan Ibnu Ummi Maktum menjalankan ajaran agama ternyata mampu menggugah langit. Para malaikat pun memuji keteguhan Ibnu Ummi Maktum.

Sahabat Anas Ibnu Malik menuturkan bahwa pada suatu hari Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah.

Saat itu, ada Ibnu Ummi Maktum. Jibril lalu bertanya, “Sejak kapan kau tidak dapat melihat?” Yang kemudian dijawab Ibnu Ummi Maktum, “Sejak kanak-kanak.”

Lalu, Jibril berkata, “Allah berfirman, ‘Apabila Aku mengambil indra penglihatan hamba-Ku, tiada imbalan baginya selain surga’.”

Atas kalimat Jibril ini, Rasulullah pun memberi selamat kepada Ibnu Ummi Maktum. “Engkau telah mendapat berita gembira masuk surga, langsung dari malaikat Jibril.”

Bila Rasulullah menjumpainya maka beliau akan mengucapkan, “Selamat datang wahai orang yang dititipkan Tuhanku untuk diperlakukan dengan baik.”

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Harits bin Hisyam RA
Ummul Mukminin Ummu Salamah RA
Dikafani Jubah Rasulullah SAW
Mush'ab bin Umair RA
Ziad bin Harits ash Shada'i RA

Abul Haitsam at Tayyihan RA

Abul Haitsam at Tayyihan adalah seorang sahabat Anshar yang berasal dari Bani Abdul Asyhal, suku Aus di Madinah, dan salah satu dari duabelas orang yang berba'iat pada Nabi SAW di Aqabah yang pertama. Pada tahun berikutnya, ia juga mengikuti rombongan 70 orang lebih yang akan menemui Nabi SAW di Makkah. Dalam pertemuan dengan Rasulullah SAW yang dikenal dengan Ba'iatul Aqabah kedua itu, Abul Haitsam berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya antara kami dan orang Yahudi ada kesepakatan perjanjian. Jika kami telah memutuskannya, dan tuan kembali kepada kaum tuan dan memerangi orang banyak, bagaimana dengan keamanan kami nantinya?" 

Nabi SAW tertawa mendengar penuturan ini, kemudian bersabda, "Darahmu adalah darahku, dan kehancuranmu adalah kehancuranku….!"

Abul Haitsam sangat puas dengan pernyataan Nabi SAW yang singkat padat tersebut. Dan ini dibuktikan beliau setelah penaklukan (Fathul) Makkah dan perang Hunain, ketika saat itu orang-orang Anshar merasa khawatir karena mayoritas penduduk Makkah telah memeluk Islam, termasuk sebagian besar kerabat beliau, dan beliau sangat diterima untuk tinggal di Makkah. Beliau dengan tegas berkata kepada orang-orang Anshar, "Tempat hidupku adalah tempat hidup kalian, tempat matiku adalah tempat mati kalian…."

Dan beliau bersabda juga, "…., kalau tidak karena hijrah, tentulah aku termasuk golongan orang-orang Anshar,….." 

Kembali pada Ba’iatul Aqabah ke dua tersebut, Abul Haitsam berpaling kepada kaumnya dan berkata, "Wahai kaumku, ini adalah Rasulullah, beliau berada dalam lindungan Allah SWT walaupun tinggal di antara kaum keluarganya. Jika kalian membawa beliau, maka orang-orang Arab akan bersatu untuk memerangi kalian. Jika kalian suka berperang di jalan Allah, rela kehilangan harta dan sanak keluarga karenanya, ajak beliau ke tempat tinggalmu karena sungguh beliau adalah Rasul yang sebenarnya. Tetapi jika kalian takut untuk memberikan pertolongan kepada beliau, sekarang saja kalian meninggalkannya…"

Berdirilah seorang dari suku Khazraj, yakni Abbas bin Ubadah, dan berpidato kepada kaumnya seperti halnya Abul Haitsam. Mereka semua menyatakan kesediaannya untuk menerima dan mengorbankan apapun demi keselamatan dan perjuangan Nabi SAW dalam mendakwahkan Islam.

Satu persatu mereka berba'iat kepada Nabi SAW. kepada 73 orang lelaki beliau menjabat tangan mereka, dan kepada 2 wanita hanya dengan perkataan.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Abu Sufyan bin Harb RA
Abdullah bin Zaid al Anshari RA
Ahnaf bin Qais RA
Dua Tawanan Musailamah al Kadzdzab
Asma binti Umais RA

Abu Huzaifah bin Utbah RA

Pada awal Rasulullah berdakwah, Abu Huzaifah telah mengakui kebenaran agama Islam. Namun, ayah Abu Huzaifah, yaitu Utbah belum menerima ajaran Rasulullah. Begitu juga dengan saudara-saudara Abu Huzaifah.

Sebenarnya Utbah dan saudara-saudara Abu Huzaifah mengetahui kebenaran ajaran Islam. Namun ancaman dan siksaan dari kaum Quraisy membuat mereka ragu-ragu untuk memeluk agama Islam. Mereka pun masih menyembah berhala – berhala.

Pada suatu masa, kaum Quraisy semakin meningkatkan penganiayaannya terhadap pengikut Rasulullah. Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan kaum muslim untuk berhijrah ke Habsyah. Di antara kaum muslim yang berhijrah ke Habsyah terdapat Abu Huzaifah dan keluarganya. Setelah beberapa lama di Habsyah, Abu Huzaifah berhijrah ke Madinah. Saat itu, penduduk Madinah telah banyak yang memeluk agama Islam.

Abu Huzaifah turut serta berjuang bersama Rasulullah banyak peperangan yang ia ikut. Namun, yang paling berkesan bagi Abu Huzaifah adalah Perang Badar. Pada saat itu bapak Abu Huzaifah, Utbah, ikut serta dalam barisan tentara Quraisy. Utbah berkata pada tentara Quraisy, “Demi Tuhan, kalian tidak dapat membinasakan Muhammad. Kalau kalian berhasil, akan terjadi hal-hal yang buruk.” Sebenarnya Utbah meyakini ajaran agama Islam. Namun ia takut meninggalkan agama nenek moyangnya. Ia berperang.

Utbah pun tidak mendapat petunjuk dari Allah. Hal itu dikarenakan ia tetap kafir sekali pun telah mengetahui kebenaran agama Islam. Itu semua sesuai dengan dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 86.

Abu Huzaifah sedih melihat ayah dan saudaranya mati dalam keadaan kafir. Pada akhirnya, Abu Huzaifah mati syahid ketika menantang Musailamah, si nabi palsu.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Abdullah bin Unais RA
Bujair bin Zuhair dan Ka'ab bin Zuhair RA
Qa’is bin Sala’ RA
Basyir bin Sa'id RA
Amr bin Salamah RA

Abu Jandal bin Suhail RA

Ketika Abu Jandal bin Suhail bin Amr memeluk Islam, kaum keluarganya membelenggu dan menyiksanya sehingga ia tidak bisa menyusul Nabi SAW ke Madinah sebagaimana orang Islam lainnya. Suatu saat ia berhasil meloloskan diri melalui bagian bawah kotaMakkah, dan menemui orang-orang Islam yang saat itu sedang berada di Hudaibiyah, kedua tangannya dalam keadaan terbelenggu.

Saat itu utusan kaum Quraisy, Suhail bin Amr, yang tidak lain adalah ayah Abu Jandal sendiri, sedang mengadakan pembicaraan dengan Nabi SAW tentang butir-butir Perjanjian Hudaibiyah. Salah satu butir tersebut adalah : Jika seorang lelaki dari Makkah datang kepadamu (Nabi SAW), walaupun ia telah memeluk Islam, maka engkau harus mengembalikannya kepada kami (Kaum Quraisy). 

Ketika Suhail melihat kehadiran Abu Jandal, Suhail berkata kepada Nabi SAW, "Hai Muhammad, dia ini adalah orang pertama yang harus engkau kembalikan kepada kami."

Nabi SAW sebenarnya berusaha mempertahankan Abu Jandal dengan dalih perjanjian tersebut belum sampai tahap disepakati, tetapi masih dalam perundingan. Tetapi Suhail tetap berkeras, sehingga akhirnya Nabi SAW merelakan Abu Jandal dibawa kembali ke Makkah. Abu Jandal sempat berkata, "Hai orang-orang Islam, apakah aku akan dikembalikan kepada kaum musyrik, sedangkan aku telah datang kepada kalian sebagai muslim? Apakah kalian tidak melihat apa yang kuderita?"

Tentu saja kaum muslimin sangat tersentuh dengan keadaan tsb. tetapi apa yang telah diputuskan oleh Nabi SAW, itulah hukum yang harus ditaati. Hanya Umar bin Khaththab yang sempat mempertanyakan kepada Nabi SAW, tetapi ia pun akhirnya bisa menerimanya setelah dijelaskan Abu Bakar RA. Nabi SAW hanya bisa menasehati Abu Jandal untuk bersabar.

Berlalulah waktu, seorang muslim lagi, yakni Abu Bashir, lepas dari kungkungan dan siksaan kamu Quraisy dan berlari ke Madinah. Kaum Quraisy mengirim dua utusan ke Madinah untuk menjemput Abu Bashir, dan tidak bisa tidak, karena masih terikat Perjanjian Hudaibiyah, Nabi SAW SAW harus merelakan Abu Bashir dibawa kembali ke Makkah.

Dalam perjalanan tersebut, dengan suatu muslihat Abu Bashir berhasil membunuh salah satu utusan, dan utusan lainnya berhasil lari ke Madinah meminta perlindungan Nabi SAW. Ketika Abu Bashir menghadap Nabi SAW di Madinah, beliau menjelaskan tentang Perjanjian Hudaibiyah dan beliau tidak mungkin mempertahankannya di Madinah. Abu Bashir bisa memahami kesulitan yang dihadapi Nabi SAW, karena itu ia lari ke pesisir menyembunyikan diri.

Beberapa waktu kemudian Abu Jandal juga berhasil lolos dari kaum Quraisy, dan ia mengikuti jejak Abu Bashir menyembunyikan diri di pesisir. Begitulah, setiap ada orang muslim yang lolos dari kaum Quraisy, mereka bergabung dengan Abu Bashir dan Abu Jandal hingga mencapai jumlah satu isbahah (10 - 40 orang). Kelompok yang dipimpin oleh Abu Bashir dan Abu Jandal ini selalu menghadang dan membunuh kafilah dagang Quraiys yang menuju Syam, dan merampas hartanya.

Keadaan itu ternyata menjadi “bumerang” bagi kaum Quraisy, yang akhirnya memaksa orang-orang Quraisy menemui Nabi SAW agar kelompok Abu Bashir dan Abu Jandal ditarik ke Madinah dan tidak mengganggu kafilah-kafilah dagang orang Quraisy ke Syam. Itu artinya mereka sendiri yang berinisiatif membatalkan Perjanjian Hudaibiyah. Dan kelompok Abu Bashir dan Abu Jandal ini akhirnya bergabung dengan Nabi SAW di Madinah.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Ummu Habibah Ra, Ummul Mukminin
Umair bin Wahab al-Jumahi RA
Samurah bin Jundub RA
Utsman bin Affan RA
Abdullah bin Abdullah bin Ubay RA

Syaddad Bin Aus RA

Syaddad bin Aus pernah melihat Nabi SAW begitu murung dan gundah, ketika Syaddad menanyakan kegundahan beliau, beliau menyatakan kalau mengkhawatirkan akan umatnya yang akan berbuat syirik dan mengikuti syahwat. Dengan melihat keadaan sahabat-sahabat saat itu, kekhawatiran Nabi SAW tersebut agak mengherankan bagi Syaddad, karena itu ia bertanya lebih lanjut, "Apakah umatmu akan berbuat kemusyrikan lagi sepeninggal engkau, ya Rasullullah?" 

Nabi SAW menjawab, "Wahai Syaddad,

mereka tidak akan menyembah matahari, patung ataupun batu, tetapi mereka memamerkan amalannya pada orang lain."

Syaddad berkata, "Riya, syirikkah itu, ya Rasullullah?" Nabi SAW bersabda, "Ya, seseorang berpuasa, kemudian dipamerkan kepadanya salah satu syahwat dunia, maka diapun berbuka. Allah berfirman tentang mereka, : 'Kebanyakan mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan mereka ini adalah orang-orang musyrik.'Wahai manusia, jauhilah syirik jenis ini, karena ia lebih lembut dari butiran pasir."


Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Nu'man bin Muqarrin RA
Shuhaib bin Sinan RA
Nudhair bin Harits al Abdari RA
Hathib bin Abi Balta'ah RA
Hakim bin Hizam RA

Said Bin Zaid RA