Wednesday, May 31, 2017

Dhimam bin Tsa’labah RA

Suatu ketika, seorang aktivis dakwah yang dikirim oleh Rasulullah SAW ke pedalaman, sampai ke perkampungan Bani Sa’d bin Bakr. Diantara warga Bani Sa’d yang ikut menghadiri majlis sang da’i itu adalah Dhimam bin Tsa’labah dan ia merasa tenteram (mak nyess) terhadap apa yang disampaikan sang da’i.

Kemudian Bani Sa’d mengutusnya untuk langsung menemui Rasulullah SAW di Madinah. Menurut satu riwayat, Dhimam datang ke Madinah pada tahun 9 H.

Sesampainya di Madinah, Dhimam menambatkan kudanya di salah satu sudut masjid nabawi. Dia pun memasuki masjid nabawi dengan membawa tongkatnya, sambil melangkahi barisan para sahabat yang sedang mengikuti majlis Rasulullah SAW dan saat dia datang, karena rambutnya panjang, ia gelung rambutnya dalam dua gelungan; sebelah kanan dan sebelah kiri.

Saat itu Rasululullah SAW sedang duduk bersandar dengan salah satu tangan beliau SAW.

Dhimam berkata: “Mana dia putra Abdul Muththalib?”. Maksudnya adalah nabi Muhammad SAW bin Abdullah bin Abdul Muththalib. Beliau SAW dipanggil demikian karena nama Abdul Muththalib sangat terkenal sebagai pemimpin Quraisy.

Rasulullah SAW menjawab: “saya”.

Perlu diketahui bahwa Dhimam itu berperangai kasar, makanya gaya kedatangan dan bicaranya seperti itu.

“Wahai putera Abdul Muththalib, aku akan bertanya kepadamu dengan pertanyaan kasar dan berat, aku mohon engkau tidak tersinggung”.

Rasulullah SAW menjawab: “Silahkan bertanya dan aku tidak pernah tersinggung oleh perilaku siapapun”.

Dhimam: “Aku bertanya kepadamu dengan nama Tuhanmu, Tuhan orang-orang sebelummu, dan Tuhan orang-orang setelahmu, BETULKAH Allah SWT mengutusmu sebagai seorang rasul kepada kami?”.

Rasulullah SAW: “Demi Allah, betul”.

Dhimam: “Aku bertanya kepadamu dengan nama Tuhanmu, Tuhan orang-orang sebelummu, dan Tuhan orang-orang setelahmu, BETULKAH Allah SWT memerintahkan kepadamu agar kami hanya menyembah Allah SWT semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun dan agar kami berlepas diri dari segala sembahan selain Allah yang telah menjadi semabahan nenek moyang kami?”.

Rasulullah SAW: “Demi Allah, betul”.

Dhimam: “Aku bertanya kepadamu dengan nama Tuhanmu, Tuhan orang-orang sebelummu, dan Tuhan orang-orang setelahmu, BETULKAH Allah SWT memerintahkan kepadamu agar kami shalat lima waktu dalam sehari semalam?”.

Rasulullah SAW: “Demi Allah, betul”.

Lalu Dhimam menanyakan dengan cara yang sama satu demi satu kewajiban Islam.

Setelah itu Dhimam berkata: “Dengan ini aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasulullah, dan aku akan laksanakan semua kewajiban tadi, dan menjauhi segala larangan, tidak aku tambahi dan tidak aku kurangi”.

Kemudian Dhimam pergi meninggalkan majlis, menaiki kembali untanya dan pulang ke Bani Sa’d.
Rasulullah SAW bersabda: “Jika apa yang disampaikan si pemilik dua gelungan tadi benar, maka ia akan masuk surga”.

Sesampainya di perkampungan Bani Sa’d, semua warga mengerubungi dia, dan kosa kata yang pertama kali dia ucapkan adalah: “Buruk sekali Latta dan Uzza”.

Maka kaumnya berkata: “Hati-hati Dhimam kalau bicara, nanti kamu kena penyakit belang dan lepra lho…”.

Dhimam: “Celaka kalian semua, Latta dan Uzza itu tidak bisa menimpakan madharat atau manfaat apa pun, dan bahwasanya Allah SWT telah mengutus rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya untuk menyelamatkan kalian, dan aku telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, dan aku telah datang darinya kepada kalian dengan membawa hal-hal yang diperintahkannya dan hal-hal yang dilarangnya”.

Belum sampai masuk waktu sore, tidak ada seorang lelaki atau perempuan Bani Sa’d kecuali mereka telah menjadi muslim.

Dan Abdullah bin Abbas RA menilai Dhimam sebagai delegasi terbaik yang pernah datang kepada Rasulullah SAW.

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Amr bin Ash RA
Abdullah bin Amr bin Al-Ash RA
Farwah bin Amr al Judzamy RA
Usamah Bin Zaid RA
Kultsum Bin Hikam RA

No comments:

Post a Comment

Said Bin Zaid RA