Monday, October 9, 2017

Ukasyah bin Mihshan RA

Dikisahkan oleh Abdullah bin Abbas bahwa menjelang wafat Baginda Nabi SAW, Bilal diperintahkan oleh beliau untuk mengumandangkan azan. Para sahabat pun datang berduyun-duyun ke Masjid Nabawi untuk memenuhi seruan azan, meski waktu shalat belum tiba. Baginda Nabi SAW masuk ke dalam masjid dan melaksanakan shalat sunah dua rakaat. Kemudian beliau naik ke atas mimbar untuk membacakan khutbah yang panjang.

“Wahai kaum muslimin… Aku adalah Nabi utusan Allah, pemberi nasihat dan pembawa kebenaran kepada kalian. Kedudukanku di antara kalian bagaikan saudara atau ayah yang penuh kasih terhadap anak-anaknya. Apabila ada di antara kalian yang merasa pernah aku zalimi, aku harap ia bersedia menuntutku di dunia ini sebelum datang tuntutan yang amat dahsyat di akhirat kelak.”

Berulang-kali beliau mengucapkan sabda itu, akan tetapi tidak ada satu sahabat pun yang menanggapi. Siapa gerangan yang rela menuntut Baginda Nabi SAW? Seluruh sahabat diam terpaku hingga menangis terisak-isak menyaksikan ketulusan pemimpin mereka. Mereka tidak dapat membayangkan, betapa seorang pemimpin yang telah mengorbankan segala-galanya demi umat tiba-tiba ingin menegakkan keadilan terhadap dirinya sendiri yang sudah lemah.

Dalam suasana yang hening dan haru-biru itu, tiba-tiba Ukasyah bin Mihshan berdiri sambil berkata, “Ya Rasulullah, aku yang akan mengajukan tuntutan kepada anda.” Mendengar kata-kata Ukasyah, para sahabat yang duduk di sekitar Baginda Nabi SAW kaget seakan-akan disambar petir menggelegar. Mereka geram, marah dan sangat keheranan oleh sikap Ukasyah yang tak terduga itu.

“Biarkan Ukasyah mengajukan tuntutannya kepadaku, “ kata Baginda Nabi SAW menenangkan hadirin. “Aku lebih bahagia apabila menunaikannya di dunia ini sebelum tiba Hari Kiamat kelak. Wahai Ukasyah, katakanlah apa yang pernah kulakukan terhadap dirimu sehingga engkau berhak membalasnya dariku.”

“Ya Rasulullah, peristiwa ini terjadi pada perang Badar,” kata Ukasyah. “Waktu itu untaku berada di samping unta anda. Aku turun dari untaku karena ingin menghampiri anda. Tiba-tiba anda mengangkat kayu pengendali unta anda dan kayu itu mengenai bagian tubuh belakangku. Aku tidak tahu apakah anda melakukan itu dengan sengaja atau hanya ingin mengendalikan unta anda.”

“Wahai Ukasyah, Rasulullah tidak mungkin melakukan perbuatan seperti itu dengan sengaja. Walau demikian engkau mempunyai hak untuk membalasnya,” sabda Baginda Nabi SAW. “Wahai Bilal, pergilah ke rumah Fatimah puteriku dan ambil kayu itu di sana,” perintah beliau.

Bilal keluar dari masjid sambil menarik nafas panjang. Ia tidak tahu apa yang mesti dikatakannya kepada putri kesayangan Nabi, yang tentu akan terkejut apabila tahu bahwa ayahnya dituntut oleh salah seorang sahabatnya. Bukan menuntut harta, melainkan menuntut qishas dengan membalas pukulan ke tubuh Baginda Nabi SAW yang mulai sakit-sakitan.

“Wahai Fatimah putri Penghulu alam semesta,” kata Bilal setelah mengetuk pintu dan memberi salam kepada Fatimah. “Nabi meminta sebatang kayu yang dahulu sering digunakannya untuk mengendalikan untanya.”

“Untuk apa wahai Bilal?” tanya Fatimah ingin tahu.

“Nabi hendak memberikan kayu itu kepada seseorang yang ingin membalasnya,” jawab Bilal

“Wahai Bilal, adakah orang yang sanggup memukul Nabi dengan kayu itu?”

Tanpa menjawab, Bilal meninggalkan rumah Fatimah sambil membawa kayu itu. Sesampainya di masjid, Bilal memberikan kayu itu kepada Baginda Nabi SAW yang kemudian menyerahkannya kepada Ukasyah. Abubakar dan Umar yang menyaksikan kejadian itu dengan perasaan geram berkata, “Wahai Ukasyah, kami mau menjadi tebusan Nabi. Balaslah kami asal jangan engkau pukul jasad Nabi.”

“Biarkanlah Ukasyah wahai Abu Bakar dan Umar. Sungguh Allah mengetahui kedudukan kalian,” kata Nabi meyakinkan dua sahabat ini.

“Wahai Ukasyah, jiwa ini tebusan untuk Nabi. Hatiku tidak dapat menerima atas apa yang akan engkau lakukan terhadap Nabi yang mulia ini. Ini punggungku dan tubuhku. Pukullah aku dengan tanganmu dan cambuklah aku dengan seluruh kekuatanmu,” kata Ali penuh kepiluan.

“Tidak Ali,” sela Nabi. “Sungguh Allah mengetahui niat dan kedudukanmu.”

Hasan dan Husin, dua cucu Nabi yang sangat disayangi Baginda Nabi SAW kemudian berdiri dan berkata dengan suara pilu, “Wahai Ukasyah, bukankah engkau tahu bahwa kami adalah cucu Rasulullah, darah dagingnya dan pelipur matanya. Mengambil qishas dari kami adalah sama dengan mengambil qishas dari Rasulullah.”

“Tidak Hasan dan Husin. Kalian adalah pelipur mata hatiku. Biarkanlah Ukasyah melakukan apa yang ingin dilakukannya,” kata Nabi.

“Wahai Ukasyah, pukullah aku apabila benar bahwa aku pernah memukulmu!” perintah Baginda Nabi SAW kepada Ukasyah.

Baginda Nabi SAW membuka bajunya dan bersiap untuk diqishas oleh Ukasyah. Para sahabat menangis menyaksikan pemandangan itu. Tiba-tiba Ukasyah membuang kayu yang digenggamnya, lalu memeluk dan meletakkan tubuhnya pada tubuh Rasulullah SAW. “Wahai junjunganku Rasulullah, jiwa ini adalah tebusan anda. Hati siapa yang akan sudi mengambil qishas dari anda. Aku melakukan ini semata-mata karena ingin tubuhku dapat bersentuhan dengan tubuh anda yang mulia. Dengannya aku berharap Allah SWT akan menjauhkan diriku dari api neraka,” kata Ukasyah.

Baginda Nabi SAW kemudian bersabda, “Ketahuilah, bahwa siapa yang ingin melihat penghuni surga, maka hendaknya ia melihat Ukasyah!”

Ranting Pohon

Ukasyah bin Mihshan al-Asadi adalah sahabat Muhajirin yang berasal dari Bani Abdi Syams. Ia memeluk Islam pada masa-masa awal sehingga masuk dalam kelompok As-Sabiqunal Awwalun. Dikisahkan, suatu ketika Baginda Nabi SAW bercerita di hadapan para sahabat bahwa kelak di Hari Kiamat beliau akan memamerkan umat beliau di hadapan para nabi. Dengan bangga beliau akan memperlihatkan umat beliau yang begitu banyak hingga memenuhi dataran dan bukit. Lalu Allah SWT berfirman kepada beliau, “Puaskah engkau wahai Muhammad?”

Maka beliau akan menjawab, “Aku puas, wahai Tuhanku!”

Kemudian Allah SWT berfirman lagi, “Sesungguhnya ada tujuh-puluh ribu orang dari umatmu yang masuk surga tanpa hisab dengan wajah seperti bulan purnama.” Para sahabat pun terkagum-kagum dengan cerita Baginda Nabi SAW. Tiba-tiba Ukasyah mendekati beliau dan berkata, “Ya Rasulullah, doakanlah aku supaya termasuk golongan itu.”

“Engkau termasuk golongan mereka!” tegas Baginda Nabi SAW.

Melihat aksi Ukasyah, beberapa sahabat mendekati beliau dan meminta didoakan seperti Ukasyah. Beliau tersenyum melihat reaksi para sahabat dan bersabda, “Kalian sudah didahului Ukasyah.”

Dalam perang Badar Ukasyah bin Mihshan mengalami peristiwa yang luar biasa. Dahsyatnya pertempuran melawan kaum kafir Quraisy waktu itu membuat pedang Ukasyah patah. Menyaksikan hal demikian, Baginda Rasul SAW langsung menghampiri Ukasyah sambil membawa sepotong ranting pohon dan bersabda, “Berperanglah dengan ini wahai Ukasyah!”

Ukasyah menerima ranting pemberian Baginda Nabi SAW itu lalu menggerak-gerakkannya. Dengan ajaib ranting pohon itu pun berubah menjadi sebilah pedang yang panjang, kuat, mengkilat dan tajam. Ukasyah meneruskan pertempurannya hingga Allah memberikan kemenangan kepada pasukan Muslimin.

Pedang yang kemudian diberi nama “Al ‘Aun” menjadi senjata andalan Ukasyah dalam setiap pertempuran yang diikutinya, baik bersama atau tanpa Baginda Rasul SAW. Begitu pun ketika Ukasyah gugur sebagai syahid di Perang Riddah. Pembunuh Ukasyah adalah Thulaihah al-Asadi yang saat itu mengaku sebagai nabi, namun kemudian sadar dan kembali kepada Islam. Ketika Umar bin Al-Khattab bertemu Thulaihah, ia bertanya, “Benarkah kamu yang telah membunuh orang yang shaleh, Ukasyah bin Mihshan?”

Thulaihah menjawab, “Ukasyah menjadi orang yang bahagia (menjadi syahid) karena diriku, dan aku menjadi orang celaka karena dirinya. Tetapi aku memohon ampun kepada Allah.”

Baca Juga Kisah Sahabat Nabi :
Ummu Walad RA
Maisarah bin Masruq al Absi RA
Ummu Haram binti Malhan RA
Wanita Tua dari Bani Adi bin Najjar
Ummu Abdullah Ra (Laila Binti Abu Hatsmah)

No comments:

Post a Comment

Said Bin Zaid RA